MOJOK.CO – Redmi 4X saya sudah resmi pensiun. Ponsel ini adalah ponsel saya ke-19. Jasamu tidak akan pernah saya lupakan. Sayonara!
Bagi saya, Redmi 4X ini memberikan memori yang berbeda dibandingkan ponsel-ponsel saya sebelumnya dan jelas saya harus mengucapkan banyak arigatou gozaimasu kepadanya.
Redmi 4X saya miliki dari kondisi baru ketika masih menjalani masa orientasi perkuliahan. Daily driver saya sebelumnya, Samsung Galaxy S7, kurang memiliki daya tahan baterai yang baik. Untuk penggunaan dasar saja hanya cukup tujuh jam.
Terinspirasi dari teman masa orientasi
Selama orientasi, saya sempat memenangkan hadiah Oppo A37 dari lomba review ponsel. Namun, saya menemukan bahwa banyak teman saya menggunakan Redmi 4X. Untuk harganya yang sama dengan Oppo A37, ia jelas lebih unggul dengan RAM 3GB, ROM 32GB, dan baterai 4000mAh. Pengalaman teman lain menggunakan Redmi Note 4G generasi pertama dan Redmi 2 juga sangat mengesankan sehingga saya coba bertanya kepada para pengguna Redmi 4X ini untuk memastikan bahwa mereka puas dengan pilihan mereka.
Sambil menunggu penyelenggara lomba mengirimkan Oppo A37, saya sepakat dengan seorang penjual ponsel untuk barter ponsel baru itu dengan Redmi 4X berwarna hitam. Kebetulan, keduanya sama-sama memiliki harga resmi Rp2 juta.
Penjual ini memiliki stok dari berbagai merek, tetapi penjualan Oppo di sana memang lebih menjanjikan. Karena keterbatasan waktu dan sulitnya mencari aksesoris ponsel ini, ia menjadi perangkat Android pertama saya yang hanya menggunakan jelly case bening setelah tiga sebelumnya (Galaxy Tab 2 7.0, Galaxy S4, dan Galaxy S7) menggunakan flip book cover.
Redmi 4X saya menjadi bahan cemoohan
Seminggu setelah digunakan, kamera belakang ponsel ini berhenti bekerja. Factory reset dan software upgrade tidak mempan jadi mau tidak mau, harus diservis. Masalahnya, saya sudah kadung bergantung kepada baterainya yang luar biasa itu.
Jadi, selama kurang lebih empat bulan perkuliahan, mengambil digital note (alias foto papan tulis) dilakukan dengan kamera depan. Hal ini memaksa saya untuk mencatatnya juga secara manual dengan menjadikan si digital note sebagai pelengkap jika ada catatan yang kurang.
Bisa dibayangkan kualitas hasil fotonya, mengingat resolusi lensa Redmi 4X hanya 5 MP (dan ini lebih buruk dari lensa 5 MP milik kamera selfie Galaxy S7, juga kamera belakang milik Blackberry Onyx atau Nokia E72). Saya juga tidak bisa melakukan preview sebelum mengambil foto. Teman-teman yang melihat ini langsung tertawa sinis! Foto-foto yang sifatnya lebih penting dan harus memiliki ketajaman mumpuni terpaksa diambil dengan meminjam ponsel teman.
Pertengahan Desember, setelah ujian akhir semester selesai, Redmi 4X masuk tempat servis. Saya membawanya ke Unicom Care ITC Cempaka Mas. Masuk dari pojokan kios-kios penjual komputer dan penampakannya kurang meyakinkan dengan ukurannya yang kecil dan wallpaper dinding masih seperti service center resmi milik Nokia di tahun 2009.
Hanya ada satu wanita muda bekerja di sana. Setelah pemeriksaan awal, Redmi 4X saya harus “menginap”.
Penjaga di sana mencoba melakukan clean install sistem operasi. Aplikasi helpdesk di komputernya ditutup dan ponsel dicolok ke sana. Terus terang, saya kaget karena berpikir ada komputer khusus untuk servis. Sayangnya, usaha ini gagal dan mengganti lensa kamera pun tidak cukup. Saya harus mengganti motherboard. Komponen yang bertahan dari ponsel lama tinggal cover belakangnya saja.
Ponsel tahan banting
Saya masih ingat betul layar ponsel lama saya, Galaxy S4, yang sebenarnya masih ditutupi oleh flip book cover itu bisa langsung pecah dan mati total ketika jatuh dari saku. Pengalaman ini bikin saya panik ketika Redmi 4X jatuh dari hanger di toilet Perpusat UI.
Redmi 4X hanya dilindungi oleh antigores biasa. Namun, luar biasanya, layar tetap berfungsi normal dan tidak ada bekas gores! Jatuh yang kedua dan ketiga kali dengan kondisi yang sama pun berakhir sama.
Setelah jelly case rusak, saya memutuskan untuk tidak membeli pelindung baru. ibu saya sempat mengganti antigores ponsel ini dengan tempered glass. Tak lama, ponsel ini jatuh lagi dengan sangat keras serta arahnya miring sehingga tidak hanya membentur lantai, tetapi juga pintu. Tempered glass retak, tombol power dan volume patah, bodi pun kini menganga. Namun, setidaknya ponsel tetap berfungsi normal dan memperbaikinya mudah karena part tersedia secara murah meriah di Shopee plus cover belakang bisa dilepas dengan mudah.
Perannya luar biasa dalam “mempertebal dompet” saya
Seluruh masa perkuliahan selama tujuh semester plus awal bekerja selama lebih dari sembilan bulan, saya ditemani oleh Redmi 4X ini. Dimensi compact dan daya tahan baterai yang mumpuni membuatnya cocok untuk menggantikan peran Blackberry Onyx ketika menyiapkan tulisan, foto, serta video pendukung yang biasa saya gunakan dalam mengikuti lomba blog. Ya, karena kapasitas baterainya yang kurang, urusan ketik-mengetik sebelumnya tidak dilakukan di Galaxy S7, tapi dilakukan terpisah di BlackBerry Onyx.
Asal tahu saja, seluruh artikel saya yang dimuat di Mojok sampai ulasan Galaxy M32 diketik dengan Redmi 4X. Selama berkuliah dan bekerja dari rumah, ponsel ini juga berhasil menghemat pengeluaran internet. Saya alihkan fungsinya jadi MiFi dengan pengeluaran sekitar Rp150 ribu per bulan.
Bayangkan jika saya harus berlangganan internet, baik itu dengan provider TI, FM, MR, BN, atau sejenisnya, Rp300 ribu per bulan sudah pasti melayang dan belum termasuk biaya kuota jika berada di luar rumah. Jelas signifikan sekali penghematannya selama total 22 bulan.
Meskipun demikian, saya masih kurang puas dengan peran Redmi 4X dalam mempertebal dompet saya. Bersama dengan hasil foto dari mantan ponsel-ponsel saya yang lain, saya berusaha menjual santai mereka semua sebagai Nonfungible Token (NFT) di OpenSea melalui username DearDiary. Siapa tahu bisa bersaing keelitannya dengan foto-foto bidikan Justin Aversano, Isaac Wright, dan Dave Krugman?
Kekurangan Redmi 4X yang bisa diakali
Kalau cuma dipakai untuk kepentingan dasar dan mengakses media sosial, Redmi 4X sudah lebih dari cukup. Modemnya cukup kuat menangkap sinyal WiFi dan 4G, infrared blaster bisa dipakai untuk mengatur suhu AC, dan menyalakan proyektor di kelas tanpa perlu meminjam remote ke Tata Usaha (sampai ada peraturan yang melarang tindakan ini di kampus), membaca kode QR dan merekam layar tidak memerlukan aplikasi tambahan karena sudah disediakan oleh MIUI.
Memori internal 32GB (yang setelah dipotong sistem operasi dan aplikasi bawaan tersisa 24GB itu) Redmi 4X sudah cukup untuk menyimpan digital note selama satu atau dua semester. Jadi flash disk darurat pun bisa.
Bahkan, untuk berlatih soal matematika tertentu yang tidak membutuhkan tulisan rumit, saya masih bisa mengerjakannya dengan bantuan aplikasi N-CALC (kalkulator saintifik) dan Notes untuk mencatat garis besar cara serta jawabannya. Sayang saja, aplikasi Notes bawaan ini hanya mendukung input berupa teks dan foto. Tidak bisa dipakai untuk menulis dengan tangan.
Jika berharap lebih, antara tidak didukung atau kemampuannya pas-pasan alias jangan berharap banyak. Prosesor Qualcomm Snapdragon 435 yang hanya mengandalkan inti ARM Cortex berkepala lima jelas ditujukan untuk penggunaan entry level dan fabrikasi 28nm-nya itu jelas membuat Redmi 4X mudah panas ketika “disiksa”. Membuka aplikasi TikTok, melakukan kompilasi atas dokumen beberapa halaman di CamScanner, atau memainkan mini game di Shopee Pets yang menurut warganet agak mirip dengan Piano Tiles pun sering terasa laggy.
Belum lagi layarnya yang belum mengandalkan panel AMOLED alias tingkat kecerahannya lebih redup. Coba saja dimaksimalkan di bawah sinar matahari, kamu akan tetap kesulitan melihat layar plus konsumsi baterai akan meningkat signifikan akibat draining.
Memori internal Redmi 4X yang terlihat besar itu akan menjadi kecil jika kita hendak mengisikan beberapa game berukuran besar (di sini LINE Get Rich sudah termasuk ya), ditambah simpanan aplikasi media sosial yang semakin hari menyimpan data semakin besar (khususnya LINE dan TikTok). Slot MicroSD itu ada, tetapi mengusung sistem hybrid alias harus memilih antara dirinya atau kartu SIM kedua. Daya pengecasan terbatas di 10W, mengecasnya sampai penuh memakan waktu kurang lebih tiga jam, dan mengecas sambil menggunakannya berarti kapasitas baterai terisi tidak naik.
Keterbatasan ini membuat dosen-dosen saya berpikir bahwa memiliki ponsel seperti Redmi 4X ini baik dalam menunjang fokus belajar di kampus dan juga sepanjang perjalanan waktu bisa digunakan untuk beristirahat alias bukan main hape. Padahal, selama rajin bersih-bersih memori dan setia (terpaksa) membawa power bank (plus mencolokkannya sebelum daya tersisa terlalu rendah), saya masih bisa mengunduh film bajakan (maaf) dengan menumpang WiFi kampus di pagi hari (dan kemudian langsung diblokir dengan sigapnya), menjelajahi unggahan Instagram, plus memainkan game F1 2017 ketika jenuh di dalam kelas.
Saya memilih untuk memindahkan data saya laptop. Teman-teman, dengan masalah keterbatasan memori lebih memilih menggunakan kartu MicroSD (dengan konsekuensi sedikit memperlambat performa ponsel) atau mengunggah datanya ke Google Drive.
Dipaksa pensiun
Kali pertama Redmi 4X diniatkan untuk pensiun adalah ketika saya mendapatkan hadiah Redmi 5 Plus dari lomba blog yang diadakan BOLT. Ya, mantan operator internet ini mengirimkan hadiah tepat satu minggu sebelum akhirnya bangkrut dan sayonara dari blantika perinternetan Tanah Air.
Alasan pergantiannya sederhana. Perangkat ini lebih baru dengan kesehatan baterai yang lebih baik meskipun peningkatan spesifikasinya tidak signifikan. Tepatnya hanya prosesor naik kelas ke Snapdragon 625 dan ia masih berada di bawah Exynos 8890 milik Galaxy S7 saya. Akhirnya, ide ini ditolak oleh ibu saya kecuali jika saya mau menjual seluruh ponsel saya untuk digantikan Realme 2 Pro 8GB/128GB atau Poco F1. Jika bukan karena isu layar sentuh di Poco yang sempat heboh di grup Facebook, Redmi 4X tamat ceritanya sampai di sini.
Kedua, Redmi 4X hendak ditukar dengan Redmi Note 7 ketika foto di Galaxy S7 saya mendadak hilang semua untuk kedua kalinya. Ide ini batal karena Redmi Note 7 ukurannya terlalu besar dan bobotnya berlebihan bagi saya, ditambah peningkatan spesifikasinya yang lagi-lagi hanya terasa signifikan di bagian prosesor.
Ketiga, Redmi 4X hendak ditukar dengan iPhone SE generasi pertama bekas. Ide ini cukup kurang masuk akal mengingat saat itu baterai Redmi 4X saja sudah tidak mencukupi sampai-sampai power bank harus selalu dibawa, apalagi iPhone SE dalam kondisi bekas. Meskipun demikian, Redmi 4X telah mentok di versi Android 7.1.2 ketika iPhone SE masih menerima pembaruan dari Apple dan harganya sudah mulai cukup terjangkau. Lagi-lagi, ide ini batal.
Keempat, Redmi 4X hendak ditukar Oppo Reno 10x Zoom yang sudah mengalami penurunan harga cukup banyak. Spesifikasi Reno sangat menggiurkan bagi saya jika dibandingkan harganya. Warna hijau bodinya itu sangat cantik, dan bezel-nya tipis plus tanpa poni yang mengganggu. Kemudian saya mundur karena berpikir bahwa sistem pop up selfie camera jelas membuat orang lain tahu ketika saya hendak mengambil foto diri.
Kelima, Redmi 4X hendak ditukar dengan salah satu dari Oppo Reno 5 5G atau Mi 10i yang mendukung band 5G Telkomsel di Indonesia. Belakangan, terjawablah bahwa Oppo Reno 5 5G menjadi kandidat tunggal yang tersisa dan bagi saya ponsel ini memang paten.
Alasan saya mengurungkan niat saat itu adalah saya belum lulus kuliah dan harus merogoh kocek cukup dalam untuk membeli ponsel yang saat itu dihargai Rp8 juta. Di posisi ini, saya sudah lebih hati-hati dalam membelanjakan uang.
Keenam, Redmi 4X hendak ditukar dengan Oppo A74 5G atau Galaxy A32 5G. Harga ponsel 5G termurah kini sudah turun ke Rp3 jutaan dan akhirnya ide ini lagi-lagi batal karena ibu saya kini melarang pembelian ponsel dengan panel layar non-AMOLED, sudah jelas terkait tingkat kecerahan yang kurang di bawah terik matahari.
Ketujuh, sekali lagi saya jatuh cinta dengan iPhone setelah mulai bekerja dan kali ini pilihan jatuh ke iPhone 12 Mini. Baterainya boleh kecil, tetapi saya menyerah karena sulitnya mencari ponsel berukuran compact.
Adik sepupu (yang kini memilikinya) dan ibu saya mendukung peralihan ini, tetapi akhirnya batal setelah mendengarkan saran dari manajer yang merasa sayang untuk membeli ponsel semahal itu. Lantaran WFH, berarti ia akan jarang dibawa keluar. Sekalinya WFO, tinggi risikonya hilang di jalan apalagi jika naik transportasi publik.
Selama masih WFH, terlalu tuanya versi sistem operasi untuk diperbolehkan mengakses Teams kantor juga tidak masalah karena laptop dinas bisa terus dinyalakan, bukan? Terakhir, untuk apa ponselnya memiliki siklus pembaruan perangkat lunak yang panjang ketika penurunan kapasitas baterai tetap sama cepatnya?
Godaan terbesar datang dari ASUS ZenFone 8. Dimensinya compact, spesifikasi jempolan, dan bodi tidak terlihat sebagai ponsel kelas atas sehingga tetap tampil membumi. Jika bukan karena jaminan software update-nya yang lebih pendek dari Galaxy A52s 5G dengan harga sedikit lebih terjangkau, ide ini sudah saya realisasikan.
Ujung-ujungnya, saya mendapatkan ponsel gratis, yaitu Galaxy M32 yang pernah saya ulas sebelumnya. RAM-nya dobel dari si Redmi 4X, memori internalnya empat kali lipat, panel layar sudah AMOLED, fitur NFC sudah ada, kurangnya hanya minus 5G saja dan harus mengatakan sayonara kepada ponsel compact. Rasa sayang dengan baterainya plus keogahan mengeluarkan uang untuk membeli MiFi dan kartu SIM baru (maklum kartu SIM utama saya yang selama ini digunakan untuk tethering) membuat saya berusaha mempertahankan Redmi 4X.
Sayang, tidak sampai sebulan setelah kedatangan M32, Redmi 4X harus purnakarya sebagai daily driver karena tidak lagi sanggup menangkap sinyal bahkan hanya untuk telepon dan SMS. Asal dimasukkan SIM card, ia akan restart terus-menerus tanpa berhenti dan factory reset tidak mempan. Hal ini tentu tidak disangka mengingat Galaxy S7 yang setahun lebih tua, sudah tiga kali fotonya hilang semua tanpa jejak, dan sempat sekali mati total di Desember lalu masih bertahan sampai hari ini.
Nasib Redmi 4X
Berdasarkan estimasi dari Laku6, untuk Redmi 4X yang fisik dan fungsinya masih sangat baik sekalipun hanya laku dijual seharga Rp350 ribu, saya tidak tertarik untuk berusaha memperbaikinya. Ditambah lagi dengan adaptor dan kabel charger asli yang tidak lagi berfungsi, karena adaptor terakhir yang digunakan adalah milik Galaxy S4 dengan daya sama-sama 10W (ponselnya dijual batangan) dan kabel aftermarket dibeli dari Blibli, harganya tentu jatuh lagi. Jika dijual apa adanya, mungkin saya hanya akan memperoleh uang sekitar Rp100 ribu.
Jadi? Mungkin ponsel ke-19 ini akan disulap menjadi FM radio saja di rumah karena saya tidak punya. Berarti, seumur hidup, saya baru menggunakan 20 ponsel? Iya, saya bukan Mas Aditia Purnomo yang bisa bergonta-ganti sampai 50 ponsel dalam tiga tahun. Malas setup ponsel baru!
Yah, pada akhirnya, terima kasih Redmi 4X. Sayonara!
BACA JUGA Mahalnya Kangen Seorang Ibu di Dalam Mesin Murah Xiaomi Redmi 5A dan ulasan ponsel lainnya di rubrik KONTER.
Penulis: Christian Evan Chandra
Editor: Yamadipati Seno