23 Juli besok akan diperingati sebagai Hari Anak Nasional. Negara, sekolah, masyarakat, dan orang tua punya PR banyak banget untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik buat anak Indonesia. Sepanjang tahun ini, berbagai masalah soal anak juga mengemuka, terutama perihal kekerasan pada anak, bullying, pernikahan dini, pendidikan ramah anak, dan pelibatan anak pada aktivitas politik.
Rubrik Status kali ini ingin menampilkan hubungan anak dan orang tua dari sudut pandang orang tua. Apa sih problem terbesar orang tua tentang anaknya? Salah satunya adalah meladeni pertanyaan anak-anak. Antara lucu, sulit, dan problematis. Berikut petikan kisah dari tiga bapak tentang anak mereka.
Widhi Hayu Setiarso: Anak Babi
Anak: Pak..
Bapak: Hmm.. (matane mandengi HP) (Matanya masih memandang HP)
Anak: Suk nek aku kelas 6 SD, Bapak sepiro? (Besok kalu aku kelas 6 SD, bapak setua apa?)
Bapak: Sak Pakdhe Trimo saiki, 45 tahun. (sinambi isih mandengi HP) (Setua Pakdhe Trimo sekarang, 45 tahun. [Masih memandang HP].)
Anak: Nek aku SMP? (Kalau pas aku SMP?)
Bapak: 50 tahun kurang. (isih mandengi HP)
Anak: Nek aku SMA?
Bapak: 50 tahun punjul sitik. Sak Pakdhe Yono. (terus mandengi HP) (50 tahun lebih sedikit. Setua Pakdhe Yono. [Masih memandangi HP].)
Anak: Nek aku wis kerja? (Kalau aku sudah kerja?)
Bapak: Yo Bapak wis tuwa. (terus mandengi HP) (Ya Bapak sudah tua. [Terus memandang HP].)
Anak: (meneng sedelo, sajak mikir) Lha kok Bapak ra mati mati? ([Diam sejenak, kelihatannya berpikir] Lha Bapak kok nggak mati-mati?)
Bapak: Oh lha genjiiiik… (mbatin. Pandengan matane pindah seko HP menyang anake) (Oh la anak babi… [membatin. Matanya pindah dari HP ke anaknya].)
Anang Zakaria:
“Pak, apa tugas malaikat Mungkar dan Nakir?”.
“Menanyai manusia di alam kubur.”
“Orang mati?”
“Iya,” jawabku.
“Hahaha…,” dia terbahak kencang.
Aku mulai curiga pada Markola. “Kenapa tertawa?”
“Bapak.. bapak.. orang mati tak bisa ngomong pak,” katanya terus terbahak.
“Jangkrik, kena jebakan betmen,” aku menggerutu dalam hati.
Ada yang bisa menjawab pertanyaan di bawah ini? (Silakan sesuaikan jawaban anda untuk anak usia 6 tahun)
- Matahari terbuat dari apa? Kenapa panas sekali?
- Nabi Isa naik ke langit pakai apa? Pakai pesawat? Kenapa belum turun? Tinggal dimana dia sekarang?
- Kenapa tidak ada nabi lagi sekarang?
- Kalau kiamat bumi hancur, kenapa manusia tidak pindah ke planet lain?
- Allah terbuat dari apa?
*Ngaji Ramadan bersama Markola
Zen RS:
Beginilah laporan kepala sekolah playgroup tempat Daya bermain:
“Daya menganggap rukun Islam ada 6 yaitu: (1) syahadat. (2) shalat. (3) puasa. (4) zakat. (5) pergi haji. (6) pulang haji.
Yang bikin repot, Daya juga bisa meyakinkan teman-temannya. Sehingga semua temannya juga keukeuh kalau rukun Islam itu ada 6.”
“Bapak, ‘ide’ itu apa sih?”
Heh! Mendadak gelagapan. Lalu mencoba menjelaskan. Ini itu. Itu ini. Si bocah terlihat tak puas.
“Jadi ‘ide’ itu apa sih? Ga jelas si bapak mah.”
Garuk-garuk sendiri. Diam sebentar. Mikir keras. Lalu saya tanya: “Besok Daya mau ke mana? Mau main apa?” Dia menjawab ini dan itu. Lantas saya coba jelaskan: “Nah, ‘ide’ itu seperti itu. Daya inget apa, Daya pengen main apa. Itu ‘ide’ namanya.”
“Kalau besok Daya mau main apa itu namanya ‘rencana’. Bukan ‘ide’ atuh.”
Ini kali kedua, dalam dua hari, Daya bertanya tentang apa itu “ide”. Semalam saya mendiskusikan soal ini dengan simbok. Dan dia bilang: “Lebih baik coba tanya balik anaknya. Apa yang dia bayangkan tentang hal yang dia tanya, biar tahu scoop pertanyaannya.”
Ya sudah saya tanya dia: “Menurut Daya apa dong ‘ide’ itu? Coba bapak kasih tahu, kaya gimana sih?”
Sambil makan sosis, ia menjawab: “Ya gak tahulah. Aku kan masih kecil.”
DIAJAK BOLOS
Berangkat agak terlambat. Jam 8.15 baru jalan dari rumah. Seperti biasa si bocah duduk di belakang. Setengah perjalanan, dia bilang:
“Bapak, bosen gak kalo kerja?”
“Kenapa gitu?”
“Aku bosen sekolah. Jalan-jalan aja deh.”
“Lha kok gitu?”
“Iya, bapak bosen kerja, aku bosen sekolah. Kita jalan-jalan aja. Mbok kan di rumah. Gak usah bilang-bilang mbok.”.
Di Batununggal, 1,5 km dari kantor dan dari daycare, saya ajak dia turun. Melihat anak-anak SD berolahraga. Jalan-jalan sebentar, cuma 5 menit. Jalan tak sampai 20 meter.
“Yuk udah,” kataku.
“Hadeuh si bapak mah. Ini mah bukan jalan-jalan, ini mah jalan aja doang,” protesnya sambil bersungut-sungut masuk kembali ke dalam mobil.
NB: Karena bujukan bolos gagal, si bocah mencoba men-delay perjalanan menuju sekolah. Ia pegang-pegang jenggot bapaknya. Lalu bilang: “(sambil pegang-pegang jenggotku) Daya hitung dulu jenggot bapak, kalau udah selesai baru sekolah.”
Lha, ngitung jenggot kuwi kapan lek rampung? (La, menghitung jenggot itu kapan selesainya?)