Satu kata untuk menggambarkan perayaan menyambut Lebaran di Pati, ramai. Baru-baru ini memang ada perubahan tradisi di Pati, tepatnya di sisi selatan. Masyarakat setempat dahulu melakukan parade ogoh-ogoh dan bertakbir sepanjang jalan untuk merayakan Hari Kemenangan. Sekarang, pawai itu ditambahi dengan kehadiran sound system dan beberapa lampu sorot agar pawai lebih enak dilihat dan menggelegar.
Perbedaan dalam menyambut Lebaran sebenarnya wajar saja, mengingat Indonesia sangat luas dan memiliki kemajemukan budaya. Begitu pula dengan perubahan caranya dari waktu ke waktu. Di desa ini dahulu, di zaman simbah masih hidup, malam takbiran dilakukan dengan parade obor saja. Setelahnya warga setempat berlomba-lomba membuat maskot (ogoh-ogoh) dengan berbagai macam bentuk, seperti hewan, miniatur masjid, hantu, bahkan manusia. Namun yang paling aneh sepanjang ingatan saya adalah maskot botol miras. Kalau tidak salah, maskot botol miras ini dibuat saat lagu oplosan sedang memuncaki tangga lagu waktu itu.
Kini perayaan menjelang Lebaran itu bergeser lagi dengan hadirnya sound system dan kelap-kelip lampu. Saya sebenarnya tidak membenci perubahan tradisi itu. Hanya saja, untuk perubahan yang terakhir ini, saya rasa mengikis nilai kesakralan malam takbiran. Menurut saya gema takbir harus lebih diutamakan daripada lagu dangdut yang menggelegar.
Bukannya saya ingin mempersulit rezeki jasa sewa sound system atau memandang rendah lagu dangdut yang memang lekat dengan jalur pantura. Namun menurut saya, beberapa perayaan seperti malam takbir, sedekah bumi desa, karnaval budaya tetap harus menonjolkan kreativitas, usaha berkarya, dan spiritual manusia itu sendiri. Tradisi spiritualitas harus tetap dijaga. Tradisi hiburan harus tepat pada tempatnya.
Achmad Al Hafidz
Desa Tlogorejo, Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati
[email protected]