MOJOK.CO – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyampaikan refleksi akhir tahun, Kamis (29/12/2022). Dalam kesempatan ini, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menyampaikan sejumlah isu yang mengemuka saat ini, salah satunya isu politik identitas yang terus terjadi menjelang Pemilu 2024 yang bisa memecah belah bangsa.
“[Masih] ada waktu 1,5 tahun [sebelum pemilu] untuk menciptakan prakondisi agar pembelahan politik tidak terjadi. Pengalaman pembelahan politik di tahun-tahun sebelumnya harus tutup buku,” paparnya.
Menurut Haedar, perbedaan pilihan dalam pemilu adalah hal yang alamiah. Oleh sebab itu semua pihak perlu memproduksi pernyataan-pernyataan dan energi-energi yang positif alih-alih mengedepankan politik identitas.
Setiap orang memiliki identitas yang melekat pada dirinya. Tidak ada yang salah dengan identitas. Semua elit politik pun punya hak untuk berafiliasi dengan berinteraksi dengan berbagai komponen bangsa.
Namun yang lebih penting dari hal itu, segala macam atribut identitas tidak boleh menghalangi masyarakat untuk berbangsa dan bernegara serta mengurus bangsa ini secara bersama-sama.
“Yang sering keliru itu menyalahgunakan identitas, mempolitisasi identitas yang membuat kita saring bertentangan antaridentitas. Nah ini problemnya. Maka yang penting, memastikan setiap calon [Presiden atau DPR dan DPRD] betul-betul meletakkan, baik itu identitas dan segala apa yang menjadi kaitan dari dirinya untuk kepentingan bangsa,” tandasnya.
Haedar mengingatkan Pemilu 2024 harus menjadi proses untuk semakin mengokohkan demokrasi secara substansial. Sehingga Pemilu tidak sekadar jujur dan adil, tetapi juga menjunjung tinggi etika demokrasi.
KPU dan Bawaslu pun harus menjamin kepercayaan publik dalam pelaksanaan pesta demokrasi tersebut. Jangan sampai alasan Pemilu belum siap, lalu minta penundaan.
“Kepastian politik itu akan menciptakan stabilitas. Harus terlaksana sesuai jadwal dan hentikan berbagai macam pernyataan yang sifatnya spekulatif,” ungkapnya.
Korupsi masih masif
Selain Pemilu, korupsi masih jadi isu yang mengemuka di Indonesia pada saat ini. Walaupun pemberantasan korupsi dilakukan, korupsi masih saja masif terjadi.
Sebut saja kasus dugaan korupsi yang dilakukan Bupati Cianjur, Jawa Barat, Herman Suherman. Herman dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan penyelewengan bantuan asing untuk gempa bumi.
Karenanya Haedar meminta pemerintah tegas dalam melakukan pemberantasan korupsi secara berkesinambungan. Hal ini penting agar upaya tersebut tak berhenti pada politik praktis.
“Masih banyaknya celah terbuka menjadikan pejabat dan elit negeri ini tergoda memanfaatkan peluang korupsi. Jangankan di keadaan normal, dalam kondisi terkena bencana mereka masih korupsi,” ungkapnya.
Korupsi terjadi, lanjutnya akibat orang tidak pernah merasa cukup dan ingin mendapatkan lebih. Karena korupsi biasanya dilakukan orang-orang yang sudah berkecukupan dan memiliki kekuasaan.
Tidak adanya sistem pengendalian dan penanganan kasus korupsi yang bagus juga menjadikan peluang melakukan korupsi terus dilakukan. Karenanya penyelenggara negara perlu mendesain sistem atau peraturan untuk menutup peluang sekecil-kecilnya untuk korupsi.
“Saya membayangkan jika sistem birokrasi tidak panjang dan berbelit, atau ada transparansi soal anggaran maupun bantuan, maka kerawanan munculnya tindak korupsi bisa dihilangkan. Ini yang perlu dilakukan,” ungkapnya.
Haedar berharap, upaya pemberantasan korupsi dimulai dari keteladanan para pejabat dan elit negara. Juga ditegakkan melalui UU serta sistem yang baik dan pasti secara berkelanjutan.
“Prinsipnya jangan mengganggu tatanan sistem pemberantasan korupsi yang sudah berlaku. Bila memang dinilai kurang sempurna maka diperbaiki, jangan malah dikurang-kurangi,” imbuhnya.
Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Purnawan Setyo Adi