MOJOK.CO – Politik identitas yang melekat pada dua kontestasi pemilu presiden (Pilpres) terakhir dinilai tidak relevan lagi. Pengamat terorisme Universitas Indonesia (UI) menganggap bahwa narasi politik identitas harus ditinggalkan pada Pilpres berikutnya.
“Sudah tidak relevan (politik identitas) untuk Pilpres 2024 nanti. Kenapa? Karena masyarakat sudah makin cerdas. Literasi masyarakat tentang hoaks, berita palsu, berita bohong itu sudah makin baik. Mungkin di 2014 dan 2019 berita hoaks masih bisa dan banyak beredar di WA grup, tapi di 2024 saya tidak yakin,” ujar Ridlwan, Rabu (15/6).
Ridlwan mengungkapkan bahwa keberadaan generasi Z dan milenial yang semakin mendominasi membuat narasi tersebut sulit berkembang. Ia menganggap bahwa dua generasi ini sudah semakin “melek” digital dan unggul dalam literasi. Hal itu membuat mereka bisa memahami mana berita palsu, hoaks, dan bohong.
Politik identitas dalam takaran tertentu masih dianggap wajar. Namun jika narasinya mengarah ke hal yang negatif dan merugikan pihak lain maka perlu ditinggalkan.
“Yang tidak boleh adalah jika menggunakan politik identitas untuk menyalahkan pihak lain di luar kelompoknya, bahkan mengampanyekan khilafah,” ujar Ridlwan dilansir dari Antara.
Dirinya juga menyebut dalam perjalanan demokrasi di Indonesia, seringkali ditemui oknum berkepentingan yang memanfaatkan isu sentimen agama. Hal ini, menurutnya, mengakibatkan kerukunan, persatuan, kemajemukan, tenggang rasa bangsa tercederai oleh narasi keagamaan yang dipaksakan dalam politik.
“Indonesia menganut kebebasan demokrasi, tiap orang boleh berekspresi, itu wajib dijaga, akan tetapi kebebasan berekspresi itu tidak boleh melanggar kebebasan orang lain, nah termasuk dalam hal berpolitik itu tadi,” tutur Ridlwan.
Tidak hanya itu, dia mengingatkan, kondisi adu domba dan polarisasi yang semakin parah di tengah masyarakat Indonesia yang beragam, juga menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat tentang bangkitnya gerakan-gerakan teror menjelang tahun politik 2024.
“Tindak terorisme sekarang ini sebenarnya sudah dalam tahap minimal, karena kelompok ini di Timur Tengah sudah tidak punya basis dan wilayah serta tidak ada perintah serta fatwa untuk membuat teror. Tapi justru kelompok ini paham bahwa kalau mereka membuat teror, maka masyarakat akan antipati, maka dari itu mereka mengubah strategi menjadi strategi soft,” ujarnya.
Strategi soft atau halus yang dimaksud, yaitu dengan cara konvoi, membagikan selebaran, membuat acara menarik yang tidak menakutkan, tetapi tetap dengan tujuan yang sebenarnya, yaitu untuk mengganti ideologi bangsa.
Ridlwan mengingatkan masyarakat, khususnya aktor politik nasional, untuk tidak mudah terpancing dengan narasi negatif yang dibuat oknum berkepentingan, termasuk narasi khilafah yang dewasa ini ramai diperbincangkan, serta harus bijaksana membalas isu dan narasi yang dikeluarkan oleh kelompok radikal.
“Jadi tidak perlu lah kita menciptakan musuh sendiri. Kecuali ketika mereka melakukan manuver, baru lah direspons. Kalau tidak bermanuver kan semakin baik, apalagi kelompok radikal ini mau berdemokrasi dan berkompetisi itu kan semakin baik bagi Indonesia,” tutur Ridlwan.
Polri Antisipasi Politik Identitas Sejak Dini
Sebelumnya, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) juga telah menyampaikan kesiapannya mengawal Pemilu 2024. Termasuk dalam pencegahan politik identitas dan provokasi.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo mengatakan Polri akan membentuk satuan tugas (satgas) bersama pemangku kepentingan terkait untuk bersama-sama mencegah politik identitas dengan menguatkan sosialisasi serta pendidikan kampanye politik.
“Polri dan stakeholders terkait bersama dengan KPU, Bawaslu, dan partai politik kontestasi pemilu bersama-sama menyiapkan satgas untuk memberikan sosialisasi, edukasi, literasi bermartabat, menjaga etika, toleransi, modernisasi beragama, dan menjaga persatuan,” kata Dedi saat dikonfirmasi Antara di Jakarta, Senin (13/6).
Polri bakal melakukan sosialisasi dan edukasi dengan membuat forum diskusi terarah dengan melibatkan komponen masyarakat agar selalu menjaga persatuan dan kesatuan, ujarnya. Upaya sosialisasi dan pendidikan tidak hanya di ranah diskusi tetapi juga di ranah dunia maya dengan membanjiri masyarakat kampanye modernisasi beragam, toleransi, dan menjaga kebinekaan.
“Bersama Kementerian Kominfo dan para penggiat media sosial untuk menyosialisasikan dan mengkampanyekan moderasi beragama, toleransi, dan menjaga kebinekaan,” ujarnya.
Penulis : Hammam Izzuddin
Editor: Purnawan Setyo Adi