MOJOK.CO – Penggunaan ChatGPT di kalangan akademik menuai banyak kontroversi. Penulisan esai, makalah, hingga skripsi dan tesis menggunakan AI chatbot ini bisa masuk kategori tindakan plagiarisme.
Dosen Fakultas Hukum UGM, Dina W. Kariomedjo, menyebut bahwa penggunaan ChatGPT sebaiknya dilarang bagi dosen dan mahasiswa untuk kegiatan kepenulisan akademik.
Pernyataan ini ia sampaikan dalam webinar bertajuk “Penulisan Ilmiah dalam Pusaran Teknologi Artificial Intelligence (AI)” di UGM Kampus Jakarta, Selasa (14/3/2023) kemarin.
Dina mengakui, perkembangan teknologi AI termasuk ChatGPT, memang bisa sangat membantu banyak aspek kehidupan. Namun, dalam koridor akademik, harusnya ada larangan ihwal penggunaan ChatGPT harus dilarang. Berikut ini pertimbangannya:
Plagiarisme dan langgar etika akademik
Menurut Dina, ChatGPT berpotensi melahirkan plagiarisme dan melanggar etika akademik. Secara teknis, data yang ChatGPT paparkan kemungkinan besar akan terdeteksi plagiat. Karena teknologi AI ini mencomot data dari berbagai karya orang lain tanpa menyebutkan sumber datanya.
Jika merujuk aturan Permendiknas Nomor 17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi, praktik ini termasuk tindakan plagiarisme dan bisa kena hukuman.
Dasar hukumnya jelas, karena sesuai penjelasan aturan tersebut, seseorang telah dikatakan mengambil atau menggunakan pemikiran, tulisan, invensi (temuan) atau ide kepunyaan orang lain.
“Sebenarnya plagiarisme itu termasuk ide, pemikiran dan referensi milik orang lain yang ia akui sebagai miliknya (penulis),” kata Dina, mengutip dari ugm.ac.id, Kamis (16/3/2023).
“Universitas dan semua pemangku kepentingan meningkatkan kesadaran dan menjunjung tinggi etika khususnya menghindari plagiarisme menggunakan AI,” jelasnya.
Jawaban kurang akurat
Selain berpotensi plagiat, alasan selanjutnya adalah karena tidak seluruh jawaban yang ChatGPT hasilkan akurat. Dengan begitu, ini hanya bakal membawa dampak negatif dalam pembelajaran karena civitas akademik merujuk referensi yang keliru.
Sebelumnya, penelitian Senior Partner McKinsey & Company Kevin Buehler juga pernah menyebut bahwa sebagai mesin pembejar, ChatGPT punya beberapa kelemahan. Salah satunya ketidakmampuan menuliskan sumber referensi buku, jurnal, atau artikel secara akurat karena hanya bersandar pada pertanyaan-pertanyaan yang masuk akal secara statistik.
Dengan demikian, Dina pun menyarankan agar para dosen dan mahasiswa sebaiknya tidak menggunakan platform ini untuk kegiatan penulisan ilmiah. Demi menghindari kesalahan-kesalahan tersebut.
“Sejauh ini memang tidak ada larangan, namun untuk membantu pengerjaan penelitian di awal dalam pencarian data lebih spesifik seharusnya tidak menggunakan chatbot untuk penulisan ilmiah, untuk degree, dan mencari nilai,” kata Dina.
Sejauh mana batas kapabilitas data ChatGPT?
Sementara itu, Founder and CEO Brain Corp Romi Satria Wahono mengatakan, bahwa penggunaan teknoloogi AI untuk penulisan riset sebenarnya bisa membantu kegiatan riset di tahap paling awal saja. Seperti mencari topik dan masalah penelitian.
Untuk ChatGPT sendiri, kata Romi, teknologi ini punya batas kapabilitas. Ia hanya menjawab pertanyaan pengguna menggunakan salinan data dari Wikipedia, Common Crawl, Reddit dengan 1,7 miliar token, WebText,Books Corpus, dan berita dari 680 juta token di berbagai media seperti CNN, BBC, dan Reuters.
Selanjutnya Chat GPT juga mengambil data dari situs Books dengan 570 juta token dan data buku yang terdiri dari buku-buku gratis yang tersedia di Project Gutenberg.
“AI itu bisa menggantikan kerja manusia. Tugas AI membuat komputer cepat dan cerdas, meski sebenarnya tidak secerdas manusia di beberapa sisi,” jelas Romi.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi