MOJOK.CO – Bertambah lagi kasus kekerasan Pekerja Rumah Tangga (PRT). Padahal Permenaker 2/2015 sudah menetapkan hak-hak PRT, salah satunya mendapatkan perlakuan yang baik dari pengguna jasanya dan anggota keluarganya.
Pasangan suami istri, Yulio Kristian (29) dan Francilia (29), resmi menjadi tersangka kasus penyiksaan PRT di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Korban, R (29), merupakan PRT yang sudah lima bulan bekerja di rumah pasangan itu. Kekerasan diterima korban sejak Agustus hingga Oktober 2022. Tidak hanya disiksa, R yang berasal dari Garut itu juga di disekap di dalam rumah. Tersangka bahkan menyita telepon genggam milik R.
Ini menjadi kasus kekerasan PRT yang kesekian kali di Indonesia. Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat, lebih dari 400 PRT menerima tindakan kekerasan sejak tahun 2012 hingga 2021.
Kondisi ini miris karena hak dan kewajiban PRT maupun Pengguna PRT sebenarnya sudah diatur dalam Permenaker 2/2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Pasal 7 beleid itu memuat sembilan hak PRT:
- memperoleh informasi mengenai Pengguna;
- mendapatkan perlakuan yang baik dari Pengguna dan anggota keluarganya;
- mendapatkan upah sesuai Perjanjian Kerja;
- mendapatkan makanan dan minuman yang sehat;
- mendapatkan waktu istirahat yang cukup;
- mendapatkan hak cuti sesuai dengan kesepakatan;
- mendapatkan kesempatan melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
- mendapatkan tunjangan hari raya; dan
- berkomunikasi dengan keluarganya.
Berdampingan dengan haknya, PRT berkewajiban melakukan tugas dan tanggung jawab sesuai perjanjian kerja, menyelesaikan pekerjaan dengan baik, serta menjaga etika dan sopan santun di dalam keluarga Pengguna. PRT juga perlu memberitahukan Pengguna dalam waktu yang cukup apabila PRT akan berhenti kerja.
Pasal 5 aturan itu disebutkan, Pengguna dan PRT memang diwajibkan membuat perjanjian kerja tertulis atau lisan yang memuat hak dan kewajiban yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak. Perjanjian Kerja itu perlu diketahui oleh Ketua Rukun Tetangga atau dengan sebutan lain.
Mendorong RUU Perlindungan PRT
Komnas Perempuan menilai, ketiadaan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi salah satu penyumbang berulangnya kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap PRT, minimnya pemenuhan hak-hak PRT, dan perlindungannya. Oleh karena itu, pada momentum Hari Perlindungan Pekerja Rumah Tangga di Februari yang lalu, Komnas Perempuan mendesak agar RUU PPRT segera disahkan. Permenaker 2/2015 saja dianggap belum cukup.
Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) Lita Anggraini menjelaskan, apabila RUU PPRT berhasil disahkan, sebenarnya tidak hanya PRT saja yang terlindungi, tetapi juga pemberi kerja.
“Melindungi hak dan kewajiban kedua belah pihak,” seperti yang dikutip dari Kumparan, Rabu (30/11/2022). Pemerintah bisa juga menjamin hak-hak PRT dengan memberikan perlindungan dan jaminan sosial melalui kesiapan ketenagakerjaan dan bantuan sosial.
RUU PPRT sebenarnya sudah diusulkan ke DPR sejak tahun 2004 atau sekitar 18 tahun yang lalu. Perkembangan terakhir, RUU PPRT selesai dibahas Badan Legislasi 2020 dan masuk Badan Musyawarah sebagai Prolegnas Prioritas 2021. Akan tetapi, RUU ini kembali tertahan dan belum diketahui bisa menjadi RUU inisiatif DPR atau tidak. Sejauh ini tujuh fraksi telah menyatakan dukungan untuk meloloskan RUU PPRT. Sementara dua fraksi lainnya, Partai Golkar dan PDI-Perjuangan, tidak memberi sikap tegas.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Purnawan Setyo Adi