MOJOK.CO – Satu keluarga di kampung mati, Sidomulyo, Pengasih, Kulon Progo dikabarkan memutuskan pindah rumah. Sebelumnya mereka sudah punya bangunan baru, tetapi masih terkendala pelunasan tanah.
Agus Sarwanto (23), anak pertama dari pasangan Sumiran dan Sumiyati mengonfirmasi kabar tersebut. Keluarga mereka sudah mempersiapkan ke rumah baru yang sedianya sudah berdiri beberapa tahun lalu.
Sebagai informasi, keluarga ini terdiri dari empat anggota yakni Sumiran (49), Sugiati (50), Agus Sarwanto (23), dan Dewi Septiani (10). Keluarga ini telah menempati rumah di permukiman yang dulunya bernama Kampung Suci ini sejak pasangan Sumiran dan Sugiati menikah. Saya sempat menginap di rumah mereka dan menuliskan kisahnya di sini.
Sementara Sumiran, sebenarnya sudah tinggal di situ sejak kecil lantaran kedua orang tuanya warga asli Kampung Suci. Sejak empat tahun belakangan, kampung yang mulanya masih terdapat beberapa rumah berpenghuni hanya tersisa Sumiran dan keluarganya.
Agus mengungkap saat ini proses kepindahan masih terus berjalan. Keluarga mereka sedang menyempurnakan beberapa kebutuhan di rumah barunya.
“Sekarang sedang membuat WC dan rencananya juga membuat dapur di rumah baru,” ujar Agus saat Mojok konfirmasi pada Selasa (1/8/2023). Selain WC dan dapur, mereka juga berencana melakukan penyekatan kamar di rumah tersebut.
Alasan pindah rumah
Kendati begitu, Agus belum tahu kapan akan kepindahan ini akan terealisasi. Sampai sekarang ia mengaku dana yang terkumpul untuk menyempurnakan rumah baru belum tercukupi.
“Dana juga belum terkumpul masih kurang jadi belum tahu kapan pindahnya,” jelasnya.
Sebelumnya, proses kepindahan keluarga ini terbantu dari donasi yang masuk ke sejumlah YouTuber. Kisah hidup keluarga ini viral setelah kanal YouTube Jejak Bang Ibra mengunggah video tentangnya.
Alasan utama kepindahan satu-satunya keluarga di kampung mati ini tentu saja karena akses ke fasilitas publik yang jauh. Bahkan keluarga ini pergi ke sungai atau mata air untuk mandi atau memenuhi kebutuhan air sehari-hari.
Rumah keluarga terakhir di kampung mati ini terletak di sekitar hutan bambu yang rimbun. Di sebelah rumah mereka, masih ada bangunan yang berdiri namun sudah tidak berpenghuni lagi sejak empat tahun lalu.
Untuk menuju kediaman tersebut, dari permukiman terdekat, jaraknya sekitar 2 kilometer. Jalanan menuruni bukit dan menyeberangi jembatan bambu membuat rute cukup menantang.
Akses menuju berbagai tempat penunjang kebutuhan seperti pasar, klinik, maupun kantor pemerintah memang cukup sulit. Hal itu juga yang membuat banyak penduduk yang akhirnya melakukan eksodus ke tempat yang lebih ideal. Terlebih, sempat ada bantuan bedah rumah.
Keluarga Sumiran akhirnya akan mengikuti warga lain yang pindah. Sebagian warga lain, sekitar empat kepala keluarga yang baru pindah pada 2019 silam, mendapat bantuan pembangunan rumah baru.
Kisah rumah yang bertahan di kampung mati
Salah satu alasan mereka bermukim di tengah hutan dan perbukitan adalah jarak dengan ladang yang dekat. Sumiran yang sehari-hari bekerja sebagai tukang kayu, membuat beragam benda seperti kusen pintu hingga meja dan kursi pesanan, lebih mudah untuk mencari kayu.
Selain itu memang karena kondisi ekonomi. Sumiran dan keluarganya sempat mendapatkan bantuan rumah namun belum mampu membayar pelunasan tanahnya. Bangunan tersebut dibangun di lahan milik kerabat mereka.
“Waktune pas kui kesusu. Dadine dideleh ting mriku bangunane (waktunya saat itu terburu, jadi bangunan dibangun di tanah itu),” kata Sumiran saat berbincang dengan Mojok pada Juni lalu.
“Daripada aku nganggoni lemah sing hurung dibayar, mending ning kene,” imbuhnya. Ia mengaku tidak tenang kalau menempati bangunan yang belum sah menjadi miliknya.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Menanti Jalur Trem Semarang yang Akan Diaktifkan Kembali Setelah 83 Tahun
Cek berita dan artikel lainnya di Google News