MOJOK – Lagu berjudul “Jarji Jarbeh, Ganjar Siji Ganjar Kabeh” terdengar dinyanyikan oleh musisi Sri Krishna alias Encik di sela-sela hari kedua Rakernas III PDIP, Rabu (7/6/2023) kemarin. Sosoknya pernah membuat heboh partai tersebut lewat lagu berjudul “Celeng” pada 2021.
Encik, hadir ke Sekolah Partai PDIP, yang menjadi lokasi Rakernas, bersama dengan seniman Butet Kertaredjasa. Lagu tersebut ia bawakan saat melakukan check sound dan gladi resik sebelum membawakan lagu tersebut di hadapan Ketum PDIP Megawati Sukarnoputri.
Namun, suara dalam gladi resik itu menarik perhatian peserta Rakernas. Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto yang berada ruangan transit pun sampai keluar untuk melihat penampilan Encik itu.
“Tengji, tengbeh, banteng siji banteng kabeh (banteng satu banteng semua). Jarji, jarbeh, Ganjar siji, Ganjar Kabeh (Ganjar satu, Ganjar semua),” nyanyian Encik dalam lagunya.
Sejumlah peserta Rakernas pun tampak berdendang mengikuti nyanyian Encik. Begitu juga Megawati, Puan Maharani, hingga Prananda Prabowo, yang juga tampak riang mendengar bait demi bait tembang tersebut.
Konser mini privat Encik ini sekaligus menjadi momentum perilisan lagu kampanye Ganjar Pranowo di Pilpres 2024. Momen ini menjadi menarik karena salah satu lagu Encik pernah bikin gaduh internal PDIP pada 2021 lalu.
Lantas, seperti apa latar belakang Encik?
Sudah mencipta lagu sejak SD
Sri Krishna Encik, atau yang akrab dipanggil “Encik”, merupakan musisi kondang asal Yogyakarta. Encik sendiri mudah dikenali berkat penampilannya yang cukup nyentrik, lewat rambut gimbalnya.
Namun, sebelum terkenal seperti sekarang ini, ternyata darah bermusik Encik sudah mengalir sejak belia. Saat masih menimba ilmu di Sekolah Dasar (SD), malahan ia sudah aktif bermusik.
“Sejak kelas 5 SD saya sudah membuat lagu,” kata Encik dalam acara Putcast yang tayang di Youtube mojokdotco, dikutip Kamis (8/6/2023).
“Soalnya keluarga saya itu keluarga yang suka bemusik; ibu suka musik, bapak pintar main musik, dan bahkan tujuh saudara saya bisa main musik semua,” lanjutnya.
Pria kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah ini juga mengaku, meski piawai memainkan musik, ia tidak pernah belajar musik secara formal. Encik belajar secara otodidak dari kakak-kakaknya—yang juga belajar musik secara mandiri.
Barulah, ketika usianya 15 tahun keluarganya pindah ke Kota Jogja. Di Kota ini kedekatannya dengan dunia musik semakin erat.
Encik mengaku, saat tinggal di Kota Jogja ia mulai aktif mengamen di tempat-tempat wisata seperti Malioboro, itu ia lakukan demi menyalurkan hobi bermusiknya.
Bahkan setahun berselang, saat dirinya baru kelas 11 SMA, Encik sudah punya grup musik. Bedanya, ia tidak lagi ngamen di Malioboro. Bersama grup musiknya, Encik jadi aktif ngamen di kafe-kafe.
“Akhirnya ‘terjerumuslah’ saya ke dunia musik. Saya menyadari bahwa passion saya memang di situ,” ujarnya.
Jatuh-bangun, pernah mulung hingga terlilit utang
Sebelum meraih kesuksesan dalam bermusik, kehidupan Encik pernah mengalami pasang surut. Ia mengaku pernah menjadi pemulung dengan mengumpulkan oli-oli bekas.
Dari modal sendiri, usaha mulungnya ini lambat laun mencapai kesuksesan. Ia bahkan sudah punya banyak karyawan dari usaha yang ia rintis ini.
Sayang, usahanya ini harus gulung tikar karena gempa Jogja tahun 2006 lalu. Tempat usahanya luluh lantak, beberapa karyawannya meninggal, dan oli-oli yang ia kumpulkan tumpah berserakan yang menyebabkannya berurusan dengan polisi karena masalah limbah.
Untuk melanjutkan usahanya, ia pun terpaksa berutang. Namun, usahanya itu tak sesukses dulu. Utangnya terus menumpuk, bunganya terus berlipat, yang menyebabkan ia bangkrut.
“Rumah saya sampai dikasih garis polisi karena saya nggak bisa membayar utang,” kata Encik.
Akhirnya, Encik memutuskan untuk mengadu nasib ke Jakarta. Di ibu kota, ia mulai berkesenian dan merekam beberapa lagu untuk dipasarkan.
Keputusan itupun berbuah manis. Lagu-lagunya cukup digemari dan laris di pasaran, yang bikin Encik tahap demi tahap mulai menapaki jalan kesuksesan.
“Alhamdulillah terbayar. Dari single-single itu, saya bisa melunasi utang-utang saya,” kisahnya.
Setelah sukses di Jakarta, Encik pulang kampung ke Kota Jogja. Ia mulai fokus berkesenian di kota yang menempa mental bermusiknya itu.
Dari sini, Encik pun berhasil merekam beberapa album. Album-album ini meliputi Bicara (2009), Mimpi (2010), Ayo Lawan (2014), Viranegari Nusantara (2015), hingga Celeng Dhegleng (2018). Tema dari album-album ini mayoritas berisi kritik sosial, kemanusiaan, dan keberagaman.
Celeng Dhegleng dan Ganjar
Salah satu karya Encik yang paling dikenal adalah lagu “Celeng” dalam album Celeng Dhegleng (2018). Lagu ini bertolak dari lukisan Djoko Pekik, yang memaknai celeng sebagai binatang yang rakus, perusak tatanan, dan masih berkeliaran—sebagai metafor kritik atas Orde Baru.
Pada 2021 lalu, lagu ini menjadi menjadi perbincangan setelah menjadi mars perlawanan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Seperti yang diketahui, kala itu terjadi konflik internal di tubuh PDIP yang melibatkan Ganjar. Istilah “celeng” pun muncul setelah Ketua Bappilu DPP PDIP Bambang Pacul menyebut kader yang mendukung Ganjar bukanlah banteng, melainkan celeng.
Akhirnya, barisan pendukung Ganjar pun balik melawan. Mereka bahkan membentuk Barisan Celeng Berjuang, dan memaknai celeng sebagai simbol perlawanan.
Lagu “Celeng” karya Encik pun dijadikan mars gerakan ini. Ini bukan kebetulan, karena Ganjar mengaku Encik adalah sahabat lamanya. Saat peluncuran lagu ini pada 2018 lalu, Ganjar hadir dan bahkan naik ke atas panggung.
Kisah lengkap Sri Krishna Encik bisa disaksikan di PutCast Mojok di bawah ini.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Kaesang All Out ke Politik: Incar Depok, Solo, atau Sleman?
Cek berita dan artikel lainnya di Google News