MOJOK.CO – Di Yogyakarta ada tempat yang mendapat julukan “Lubang Buaya Jogja”. Sebuah tempat yang menjadi saksi bisu terbunuhnya dua perwira tentara di tahun 1965.
Sekitar 5 menit berjalan kaki dari Terminal Condongcatur ke arah barat, terdapat sebuah museum yang berada di dalam Kompleks Yonif 403 Kentungan, Yogyakarta. Beberapa kali saya melintasi lokasi tersebut, tempatnya selalu sepi.
Awalnya, saya tak terlalu tertarik untuk mengunjungi tempat yang belakangan saya ketahui bernama “Museum Monumen Pahlawan Pancasila” itu. Sebab, saya sudah begitu akrab dengan hal-hal terkait dengan “Pancasila”.
Misalnya, di kampus saya berkuliah dulu, ada Taman Pancasila. Di Kampus tetangga, UGM, ada Lapangan Pancasila. Bahkan, tanggal kelahiran saya, 1 Juni, selalu diperingati sebagai Hari Pancasila. Tak ada yang menarik.
Namun, saya kemudian mulai tertarik dengan Museum Monumen Pahlawan Pancasila karena penuturan cerita-cerita warga sekitar. Konon, di museum yang punya julukan “Lubang Buaya Jogja” itu, menjadi penemuan dua jenazah tentara yang jadi korban kekejaman tentara lain yang membelot ke PKI.
Saksi bisu tewasnya Brigjen Katamso
Dekat museum, terdapat sebuah lubang sedalam 70 sentimeter yang kemudian dapt julukan Lubang Buaya Jogja. Di lubang yang tak begitu dalam ini, jenazah Brigjen Katamso Dharmokusumo dan Kolonel Sugiyono Mangunwiyoto ditemukan.
Saat peristiwa G30S meletus, Brigjen Katamso menjabat sebagai Komandan Korem 072 Kodam Diponegoro, sementara bawahannya, Kolonel Sugiyono adalah Kepala Staf Korem 072. Keduanya tewas di tangan anggotanya sendiri yang telah membelot ke kubu Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pengelola Museum Monumen Pahlawan Pancasila, Malis Ari Juliyanto, menyebut kedua tokoh militer itu tewas pada 2 Oktober 1965. Namun, penemuan jenazahnya baru 20 hari setelahnya pada 22 Oktober 1965.
Kedua jenazah itu pun kini berbaring abadi di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara. Museum ini menjadi bentuk penghormatan kepada keduanya yang juga jadi Pahlawan Revolusi.
Lubang Buaya Jogja ini kondisinya hampir seperti aslinya. Dasar lubang tetap berupa tanah yang rata, tapi bagian dinding lubang seluas 180×120 sentimeter telah disemen dan lantai di sekitarnya berupa porselen putih. Kemudian terdapat pembatas rantai besi yang mengelilinginya.
Selain abadi dalam bentuk museum, Brigjen Katamso dan Kolonel Sugiyono juga menjadi nama jalan di Jogja. Jalan Brigjen Katamso berada kawasan Gondomanan yang tak jauh dari Keraton Yogyakarta, sementara Jalan Kolonel Sugiyono terletak di Kecamatan Mergangsan.
Kronologi pembunuhan hingga penemuan di Lubang Buaya Jogja
Melansir John Roosa dalam bukunya, Dalih Pembunuhan Massal (2008), diketahui bahwa setelah peristiwa G30S meletus, Brigjen Katamso masih belum sepenuhnya memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ia pun berencana mengadakan pertemuan dengan Pangdam Diponegoro Brigjen Suryosumpeno di di Magelang untuk memastikan informasi coup tersebut.
Sayangnya, kepergian Brigjen Katamso ke Magelang jadi momentum bagi Mayor Mulyono, yang telah membelot ke PKI, untuk mengambil alih Korem 072. Setelah kembali dari Magelang, Katamso belum mengetahui bahwa Korem 072 telah jatuh ke pembelot karena ia langsung pulang ke kediamannya.
Sehari berselang, pada 1 Oktober 1965 pagi, pasukan bersenjata lengkap yang merupakan utusan Mayor Mulyono menjemput sang jenderal di rumahnya. Pasukan itu membawa Katamso ke markas Korem 072 di Kentungan.
Di sana, pasukan bersenjata telah menahan beberapa stafnya termasuk Kolonel Sugiyono. Keduanya kemungkinan mendapat siksaan sebelum akhirnya tewas pada 2 Oktober 1965. Para pembelot kemudian mengubur dua jenazah perwira ABRI tersebut di lokasi yang kelak mendapat julukan Lubang Buaya Jogja.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Menelusuri Jejak UNRA Mataram, Kampus PKI yang Berada di Lingkungan Keraton Yogyakarta
Cek berita dan artikel lainnya di Google News