MOJOK.CO – Di masa kolonialisme Belanda, bandit atau kecu jadi sosok yang meresahkan penjajah. Mereka pilih-pilih kalau mau merampok sasarannya. Motif aksinya juga bukan sekadar persoalan ekonomi, yang utama sebagai bentuk protes ke penjajah.
Dalam beberapa tahun terakhir, Yogyakarta ramai dengan fenomena kejahatan jalanan alias “klitih”. Namun, tahukah kamu bahwa fenomena serupa sebenarnya sudah eksis sejak masa kolonial Hindia Belanda? Ya, bedanya, pada masa itu korban yang disasar bukanlah wong cilik seperti klitih hari ini.
Berbicara soal kriminalitas jalanan di Yogyakarta, usianya memang sudah sangat panjang. Sepanjang abad ke-19, peristiwa penodongan, perampokan, dan pembegalan di jalanan memang marak terjadi di Pulau Jawa.Â
Mereka, para pelaku kejahatan ini, punya sebutan, bandit. Dalam konteks masyarakat Yogyakarta, mereka juga punya sebutan “kecu”.
Mengutip buku Suhartono W. Pranoto berjudul Bandit-bandit Pedesaan di Jawa (2010), pada saat itu bandit atau kecu menjadi masalah yang serius bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Namun, ia menggarisbawahi, ternyata perbanditan ini bukanlah tindakan kriminal yang punya motif ekonomi, melainkan sosial.
Menurut Suhartono, alasan utama para kecu atau bandit ini melakukan aksinya adalah sebagai bentuk protes dari adanya kemiskinan, penindasan, dan tekanan akibat kebijakan pemerintah pada masa itu.
Berasal dari ketidakpuasan pada sistem
Berbicara soal klitih, tentu ada banyak teori untuk menjelaskan asal-usulnya. Namun, ketika membahas bandit atau kecu, muaranya berasal dari ketidakpuasan para petani atas sistem yang ada pada medio 1850-an.
Suhartono menjelaskan, sebelum berlakunya tanam paksa pada 1830, petani bisa hidup sejahtera meskipun tak punya tanah sendiri.Â
Kala itu, mereka mengolah lahan kerajaan, umumnya berupa padi. Meski hasil panen sepenuhnya milik pemilik tanah, mereka tetap mendapatkan upah hasil panen sebagai timbal balik.
Semua berubah setelah Gubernur Jenderal Johannes v.d. Bosch memberlakukan tanam paksa pada 1930. Alih-alih fokus menanam padi untuk makan sendiri, mereka malah dipaksa menanam tanaman ekspor yang hasilnya diserahkan ke pemerintah kolonial.
Terlebih, sistem uang yang mulai masuk ke perdesaan bikin mereka semakin meradang.Â
Bagaimana tidak, jika sebelumnya mereka tetap bisa makan karena dibayar dengan hasil panen, kini mereka dibayar dengan uang yang sama sekali belum mereka pahami.
Jumlahnya pun amat kecil. Suhartono mencatat, sebagai perbandingan dalam sehari keluarga yang punya empat anggota harus mengeluarkan 34 sen untuk makan. Sementara upah mereka di lahan pemerintah hanyalah 30 sen sehari.
Bandit atau kecu, beraksi setiap malam
Sejak merasa kecewa atas sistem, para petani mulai melakukan aksi-aksi perbanditan. Menurut catatan Suhartono, aksi pertama kali diawali dengan pembakaran gudang tebu di Probolinggo pada 1834.
Meski pemerintah kolonial berhasil meredam, aksi-aksi serupa terjadi di wilayah lain. Bahkan hingga 1846, sudah ada 100 kali pembakaran.
Setelah aksi pembakaran mulai menurun, sejak 1860-an aksi-aksi lain justru muncul. Di Yogyakarta, misalnya, mulai sering terjadi penjarahan harta benda para pemilik perkebunan. Kecu, tercatat menjadi kejahatan jalanan yang paling sering mengganggu pemerintah di Yogyakarta kala itu.Â
Awalnya, mereka menyatroni rumah pemilik perkebunan. Selanjutnya, para kecu mulai mengambil harta benda, menggondol ternak, dan kalau lagi apes membunuh si tuan rumah. Hasil jarahan ini tidak semua mereka ambil, karena beberapa di antaranya mereka bagikan ke petani yang lain.
Sejak aksi perbanditan mulai marak, pemerintah meminta warganya untuk ronda malam. Warga diminta mempersenjatai diri dengan tombak, pentungan, tali, hingga kentongan.
Jika ada bandit, mereka harus membunyikan sinyal dengan memukul kentongan. Selanjutnya, mereka harus melaporkan kepada polisi setempat, tapi juga boleh membunuh para bandit di tempat apabila terjadi perlawanan.Â
Jika diperhatikan, mungkin fenomena ini jadi catatan awal dari adanya tradisi ronda malam di Indonesia, kali ya.
Fenomena perbanditan tercatat mulai surut sejak memasuki abad ke-20. Bandit-bandit yang sudah bebas dari penjara, jarang ada yang beregenerasi karena pada periode ini sedang banyak-banyaknya organisasi bermunculan. Para residivis ini, kemudian banyak yang bergabung ke organisasi petani, buruh, dan kuli.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Jogja (Menuju) Kota Bandit
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News