Pameran “Gelaran Olah Rupa” sebagai bagian dari program pada Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025 resmi dibuka pada Jumat (10/10/2025). Pembukaan berlangsung di Lapangan Desa Logandeng, Plembon Kidul, Kalurahan Logandeng, Kapanewon Playen, Kabupaten Gunungkidul, DIY, sebagai tuan rumah FKY 2025.
Pembukaan secara simbolis dilakukan dengan penancapan dupa oleh Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta, Dian Lakshmi Pratiwi. Diikuti kurator pameran Karen Hardini dan Tomi Firdaus, ko-kurator pameran Ghofur S, dan Lurah Desa Logandeng Suhardi.
Setelah doa pembuka, Tari Pisungsung dari Sanggar Swastiastuti membuka acara. Lima penari perempuan naik ke atas panggung, membawa bakul kecil berisi bunga tabur. Alunan musik dan bacaan mantra menambah hikmat malam. Bukan sekadar tarian semata, pertunjukan ini berupaya melantunkan makna kesinambungan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Bertamu: Merawat hubungan sosial
Dian menyebut FKY dengan rebranding baru, yang kini memasuki tahun ketiga, diharuskan mampu menghadirkan festival kebudayaan yang dalam proses dan praktiknya harus benar-benar melibatkan masyarakat di mana festival itu berada.
Pratiwi juga menjelaskan, Pameran “Gelaran Olah Rupa” membawa makna baru. Yaitu sebuah festival yang tidak semata gebyar yang bisa ditonton, tetapi sebagai kolaborasi ide dan kerja bersama yang diolah bersama antara seniman, kurator, masyarakat, dan lokasi festival berada yang terbentuk secara intens dan terus berlangsung.
Pameran bertajuk “Gelaran Olah Rupa” ini menghadirkan seni visual dengan spirit Bertamu–Perjumpaan, yang di dalamnya terbuka ruang untuk berdialog, berbagi kisah, dan merawat hubungan sosial.
Tradisi bertamu dalam budaya Jawa menjadi latar belakang dari pameran ini. Tidak sekadar kunjungan fisik, melainkan juga wujud tata krama, adab, dan penghormatan kepada tuan rumah.
Melalui praktik bertamu, para seniman menegosiasikan batas antara yang lokal dan yang datang. Antara pengetahuan sehari hari dan wacana seni kontemporer.
Kulonuwon Gunungkidul, bukan sekadar perjumpaan
Ada sebanyak 18 seniman dan tokoh adat yang terlibat dalam pameran ini, baik individu dan kelompok. Mereka terbagi menjadi 9 kelompok yang mempresentasikan karya hasil “Residensi Pekan Sowan” yang sebelumnya telah mereka ikuti selama 7 hari (28 September sampai 5 Oktober) di beberapa wilayah di Gunungkidul, seperti Logandeng, Giring, Semin, Wonosari, Pantai Siung, Purwodadi, Ngalang, Petir, Pathuk, dan Playen sebagai lokus.
Lokasi tersebut dipilih berdasarkan ruang ekologis, sosial, dan kultural. Ruang tersebut memungkinkan para seniman dan tokoh adat untuk mengalami, mendengarkan, dan menajamkan ulang kisah, fenomena, serta sejarah yang melekat di sana.
Karen Hardini, salah satu kurator Pameran “Gelaran Olah Rupa”, mengungkapkan, nalar dari pameran berada di Gunungkidul adalah kulonuwun.
“Kami hendak berkenalan dengan Gunungkidul. Kami hendak melakukan perjumpaan yang bukan hanya sekedar perjumpaan dan bertamu,” katanya.
“Residensi Pekan Sowan yang dilakukan selama tujuh hari memungkinkan seniman dan warga lokal berbaur, di mana perjumpaan itu sederhana dan mendalam. Dari sana muncul negosiasi dan menghasilkan ide. Proses itu yang kemudian menghantarkan apa yang disebut Gelaran Olah Rupa,” sambungnya.
Bertamu ke Gunungkidul lewat seni
Spirit Bertamu-Perjumpaan dalam pameran dihadirkan melalui kolaborasi antara komunitas tempatan di Gunungkidul dengan seniman di luar zona tempatan.
Melibatkan di antaranya: Ikatan Perupa Gunungkidul x Nabila Rahma & Tiang Senja di lokus Giring; Sibagz x Vendy Methodos di lokus Ponjong; Trah Sekar Jagat x Reza Kutjh di lokus Girisekar; dan Raden Kukuh Hermadi x Titik Kumpul Forum di lokus Pathuk.
Ada juga Mbah Bambang & Mbah Saido (Tokoh Adat di Tepus Gunungkidul) x Survive! Garage di lokus pantai Siung; Endry Pragusta x Arief Mujahidin di lokus Logandeng; Lumbung Kawruh x A.O.D.H di lokus Petir, RESAN Gunungkidul x M Shodik di lokus Playen, serta Ibu-ibu KWT Ngalang x Kolektif Matrahita di lokus Ngalang.
Penciptaan karya dihadirkan dengan semangat ketahanan sekaligus keberanian untuk menguji kerapuhan artistik. Ruang yang terbuka ini bukan sekadar tempat, melainkan sikap: keterbukaan terhadap kemungkinan, sesama, dan terhadap proses yang belum selesai.
Percikan-percikan seru dan menantang
Nabila Rahmah, seniman keramik asal Yogyakarta, menyebut bahwa Gelaran Olah Rupa kali ini menghadirkan konsep yang begitu menantang sekaligus menarik. Ia tergabung dalam kelompok Ikatan Perupa Gunungkidul x Nabila Rahma & Tiang Senjayang berlokus di Giring. Ikatan Perupa Gunungkidul beranggotakan seniman-seniman yang usianya jauh lebih tua dibanding dirinya.
Melalui proses residensi, ia akhirnya bertemu, berinteraksi, mengolah ide serta gagasan bersama seniman-seniman yang berbeda generasi dengannya.
“Mungkin kalau misalkan kolaborator kita umurnya mirip, mungkin tidak akan ada percikan yang seru. Sebagaimana kembang api, dia serunya karena percikan-percikannya,” ujar Nabila.
Sebagai salah satu program dari Festival Kebudayaan Yogyakarta, Pameran “Gelaran Olah Rupa” berlangsung dari tanggal 11-18 Oktober 2025 mulai pukul 10.00-21.00 WIB di Lapangan Desa Logandeng, Gunungkidul.
Pameran ini terbuka untuk umum, di mana para seniman mengolah, menampilkan, dan mengundang publik untuk bertamu, bertemu, dan ikut terlibat ke dalam ruang kerja yang “hidup” para seniman ketika mereka mengolah karya.
Selain itu akan diadakan sesi Wicara bertajuk “DAYA SENI DARI DENYUT HIDUP? Catatan Pekan Hunian Seniman FKY 2025” pada 15 Oktober 2025. sesi wicara ini menghadirkan Matrahita, Lumbung Kawruh, Survive! Garage, dan Ignatius Kendal untuk berbagi refleksi atas proses residensi dan pameran.***(Adv)
BACA JUGA: Kisah Mereka yang Mengaku Bertemu Nyi Roro Kidul di Pesisir Gunungkidul, Datang Lewat Tanda Khusus atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












