MOJOK – Politisi perempuan Eva Kusuma Sundari menyebut, bahwa parpol memegang peran krusial dalam menentukan arah kebijakan politik di Indonesia. Bahkan, alasan mengapa masih minim kebijakan yang pro perempuan, juga disebabkan oleh partai politik itu sendiri.
Pernyataan itu ia sampaikan di podcast Nagara Institute yang tayang di kanal Youtube Akbar Faizal Uncensored. Dalam perbincangan tersebut, eks anggota DPR ini mengatakan bahwa kebijakan partai politik adalah faktor utama dalam politik elektoral.
Misalnya, kata Eva, dari yang paling sederhana saja, yakni penentuan siapa caleg yang bakal melenggang ke parlemen. Menurutnya, dalam hal ini nama-nama tersebut sejatinya sudah ditentukan oleh internal parpol.
Dengan demikian, politik kepentingan akan sangat berpengaruh dalam partai. Bahkan, bisa jadi nama-nama yang kompeten akhirnya gagal menjadi anggota legislatif karena “tidak diinginkan parpolnya”.
“Simple-nya, jika menghendaki caleg buat terpilih, partai politik akan memberi nomor urut yang bagus. Sebaliknya, jika tidak menghendaki [untuk menang] maka akan diberi nomor jelek,” ungkap Eva Kusuma Sundari, dikutip Senin (30/1/2023).
Sebagai informasi, berdasakan riset Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), 68 persen anggota DPR terpilih dari nomor urut 1 sampai 3. Penelitian itu sekaligus menegaskan bahwa nomor urut masih jadi faktor kunci kemenangan anggota dewan.
“Kamu mau kerja sampai kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki, enggak bakal berpengaruh kalau partai tidak berkehendak. Karena partai main player di setiap perhelatan pemilu. Presiden saja ditentukan oleh partai, apalagi caleg,” ungkapnya.
Kondisi tersebut pun cukup ia sayangkan, karena memungkinkan beberapa politisi nirkompeten untuk melenggang ke parlemen. Akibatnya, jika merujuk ke kebijakan yang menyorot ke isu-isu perempuan, ini menjadikannya semakin sulit terealisasi.
Salah satunya, sebagaimana ia contohkan, adalah menyoal UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) yang selama ini masih mandeg. Eva punya alasan mengapa aturan yang selama ini ia perjuangkan itu masih saja mandeg, sementara di sisi lain UU Cipta Kerja malah dikebut.
Baginya, ini adalah akibat dari kebijakan partai yang justru menempatkan nama-nama pengusaha dalam jajaran orang yang terpilih di parlemen. Berdasarkan data yang ia himpun, 48 persen anggota DPR adalah pengusaha.
Alhasil, “alam bawah sadar” para anggota dewan pun bakal lebih memprioritaskan regulasi yang pro pengusaha ketimbang aturan pro perempuan. Sebagai gambaran, kata Eva, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) butuh delapan tahun untuk disahkan, UU PPRT mandeg hampir dua dekade; tapi UU Cipta Kerja yang tebalnya 1.000 halaman disahkan “dalam semalam”.
Selain itu, karena parpol cenderung menempatkan laki-laki sebagai anggota legislatif pilihan mereka, bikin kesetaraan juga sulit terwujud. Hasilnya, terlihat dari indeks ketimpangan gender di Indonesia, yang makin hari makin terpuruk dan makin menyisihkan perempuan dari arena politik.
“Pemegang otoritas itu partai. Jadi kalau partai itu reformis, progresif, demokrasi akan lebih baik. Tapi jika tidak, oligarki yang bakal dihasilkan,” sebutnya.
“Masyarakat bisa memilih. Tapi yang menentukan siapa yang masuk DPR itu partai,” tegas Eva.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda
BACA JUGA Jokowi Desak RUU PPRT Disahkan, Mandek 19 Tahun Lamanya