MOJOK.CO – Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali membuat kebijakan kenaikan cukai yang membuat para pihak di sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia terkejut. Pasalnya, di tengah situasi perekonomian yang tidak menentu, Sri Mulyani membuat kebijakan menaikkan tarif cukai rerata 10% berlaku di tahun 2023.
Tak pelak, kebijakan ini membuat semua pemangku kepentingan IHT terpukul. Selama tiga tahun berturut-turut, Sri Mulyani membuat kebijakan dengan kenaikan dua digit. Pertama, yang sangat fenomenal tentu saja ketika dua tahun lalu dia menaikkan cukai 33%. Ini kenaikan cukai tertinggi sepanjang sejarah. Pukulan ini belum sempat dipulihkan karena saat itu pandemi corona sedang berlangsung, Si Menteri kembali menaikkan cukai 12%. Walhasil, IHT pun megap-megap. Tampaknya itu belum cukup buat Menteri yang mukanya ramah tapi kebijakannya sangat keji itu, awal November ini, dia menaikkan lagi dua digit sebesar 10%.
Menurut Juru Bicara Komunitas Kretek, Jibal Windiaz, kebijakan itu jelas sangat zalim. “Menurut kami ini tidak masuk akal. Kalau tujuannya untuk menurunkan prevalensi perokok di Indonesia, jelas itu kebijakan bebal. Indonesia negara tropis. Tembakau apa saja tumbuh baik di negeri ini, termasuk cengkeh. Semua orang bisa menanam tembakau dan cengkeh di pekarangan mereka untuk bisa dikonsumsi. Rokok ini masih barang legal. Tembakau dan cengkeh juga tanaman yang sah ditanam. Kalau nanti rokok makin mahal, ya orang tetap merokok. Kebijakan ini hanya meniru ala Barat di mana tembakau dan cengkeh tidak bisa tumbuh. Kalau begitu caranya, justru suatu saat akan merugikan negara.”
Hal serupa juga diungkapkan oleh Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek  (KNPK), Badruddin M.A. “Sri Mulyani hanya ingin menghancurkan industri strategis bangsa ini. Semua kebijakannya terlihat jelas. Selama dia berkuasa (8 tahun), sudah menaikkan cukai secara kumulatif sebesar 79,43%. Hampir 80%. Apa itu artinya kalau memang tidak ingin menghancurkan industri strategis bangsa. Dia tidak ingin bangsa kita mandiri dan berdaulat. Dia mana mikirin nasib petani tembakau yang jumlahnya 600.000 kepala keluarga. Kalau satu keluarga rata-rata punya satu istri dan dua anak, jadinya berapa orang yang bekal terimbas kebijakan ini. Belum lagi petani cengkeh yang jumlahnya kira-kira 1 juta kepala keluarga. Itu baru yang inti. Belum mata rantainya. IHT ini menyerap setidaknya lebih dari 6 juta orang dari hulu sampai hilir.”
Ketika ditanya apa hubungannya kenaikan cukai tembakau dengan petani, terutama petani tembakau dan cengkeh, Jibal yang juga budayawan muda Betawi itu menjawab. “Kan yang membayar cukai itu kami yang para perokok ini. Hanya saja, tanpa barang atau objek-pungut, alias tanpa rokoknya, pemerintah tidak mungkin memungut cukai. Tidak ada rokoknya, mau dipungut dari mana? Kalau harga mahal, berarti kami tidak membeli rokok industri yang premium. Ganti yang murah. Atau ganti tembakau linting. Bahkan banyak yang merokok rokok tanpa cukai alias rokok gelap. Kalau itu terjadi, maka tembakau dan cengkeh kualitas bagus, harganya juga murah bahkan bisa terjadi kemungkinan tidak terbeli. Petani jelas ikut rugi.”