MOJOK.CO – Tidak banyak yang tahu, Jogokariyan adalah basis komunis sebelum menjadi Kampung Islam. Warga yang mayoritas bekerja sebagai buruh bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Jogokariyan awalnya adalah kawasan pemukiman prajurit abdi dalem keraton. Itu jauh sebelum Jogokariyan menjadi basis komunis dan kampung Islam. Kampung yang terletak di sisi selatan benteng keraton itu berdiri pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono IV (Sultan HB IV).
Pada saat itu penduduk dalam Benteng Baluwerti Keraton telah sesak. Sultan HB IV memutuskan membangun kampung baru. Abdi dalem prajurit dari Kesatuan “Jogokaryo” dan keluarganya kemudian dipindahkan. Oleh karena itu, kawasan tempat para prajurit dan keluarganya tinggal itu kemudian terkenal dengan nama Jogokariyan.
Saat Sultan HB VIII menjabat. Prajurit keraton yang semula prajurit perang berubah menjadi prajurit upacara saja. Semula jumlah prajurit yang mencapai 750 orang itu dipangkas menjadi 75 orang saja. Akibatnya, banyak sekali abdi dalem prajurit yang kehilangan jabatan dan pekerjaan.
Pada saat itu, keraton sebenarnya memberikan pekarangan dan sawah supaya bisa diolah oleh para abdi dalem. Hanya saja, tidak semua prajurit abdi dalem itu bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Apalagi gaya hidup mereka sebelumnya banyak yang senang berjudi, mabuk, bahkan nyandu.
Seiring waktu berjalan, sebagian besar abdi dalem prajurit itu jatuh miskin. Banyak tanah yang kemudian dijual ke pengusaha batik dan tenun yang merupakan pendatang di kampung itu.
Jogokariyan dari basis Komunis menjadi kampung Islam
Kampung yang semula pemukiman abdi dalem bekas prajurit perlahan berubah menjadi kampung batik dan tenun. Generasi setelah para prajurit pun akhirnya terpaksa menjadi buruh di pabrik-pabrik batik dan tenun. Penduduk asli menjadi miskin di kampungnya sendiri. Padahal pada saat itu, Kampung Jogokariyan sangat sukses dengan usaha batu dan tenun.
Masuknya Partai Komunis Indonesia (PKI) ke Jogokariyan mendapat sambutan baik dari warga asli yang kebanyakan bekerja sebagai buruh dan petani. Apalagi, selama ini sebagian besar dari mereka memang termarjinalisasi. Saat Gerakan 30 September (G 30 S) meletus, banyak warga Jogokariyan terciduk dan menjadi tahanan politik.
Tidak lama berselang, tepatnya pada 20 September 1965, proses pembangunan masjid di Kampung Jogokariyan dimulai. Pembangunan masjid berangkat dari ide H. Jazuri, seorang pengusaha batik dari Karangkajen yang memiliki rumah di Jagokariyan. Pada saat itu tidak ada tanah wakaf untuk membangun masjid. Oleh karena itu, beberapa tokoh umat dan masyarakat membeli sebuah tanah untuk berdirinya sebuah masjid.
Hadirnya Masjid Jogokariyan membawa banyak perubahan bagi kampung Jogokariyan. Sebelum hadirnya masjid itu, Jogokariyan sama sekali tidak memiliki masjid. Pusat kegiatan agama berlangsung di sebuah langgar berukuran 3×4 meter persegi dengan lantai berundak tinggi.
Tempat kegiatan keagamaan itu tidak pernah ramai, mengingat sebagian besar warga kampung merupakan kalangan “ABANGAN”. Kultur abdi dalem prajurit keraton memang lebih terbiasa dengan tradisi kejawen dari pada kultur keislaman.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Pernah Wakili Partai Komunis di Parlemen, Mengapa Affandi Selamat dari Peristiwa 1965?
Cek berita dan artikel lainnya di Google News