MOJOK.CO – Festival literasi dan pasar buku Patjarmerah hadir berkat kolaborasi antarelemen. Acara ini punya trademark membaur dengan lokalitas tempat penyelenggaraan.
Suasana Ndalem Djojokoesoeman Surakarta akhir-akhir ini nampak berbeda. Pada pendopo dan tiap ruangnya, tertata meja yang penuh dengan buku. Di sudut-sudut kompleks, terpacak spanduk dan neon box bertuliskan “patjarmerah”.
Sejak Sabtu (1/7/2023), festival literasi patjarmerah digelar di sana. Ratusan orang secara bergantian berkunjung tiap harinya. Aktivitas pengunjung ini masih akan ramai hingga acara penutupan pada Minggu (9/7/2023).
Festival yang lahir dari kolaborasi
Patjarmerah merupakan festival literasi yang diselenggarakan berkat kolaborasi antarelemen literasi. Dari mulai penerbit dengan segala perannya, komunitas literasi, toko buku, hingga pembaca.
“Sebagai penerbit, kami bisa saling bertemu dan mengawali kolaborasi. Kami juga bisa bertemu penulis dan pembaca baru. Buku juga akan lebih mendapatkan momennya,” tutur Abraham saat berbincang dengan Mojok pada Rabu (5/7/2023).
Abraham, penyunting penerbit baNANA, juga merasakan kemeriahan yang kolaboratif sebagai ciri khas patjarmerah. Berbeda dengan acara sejenis yang baginya kebanyakan hanya menjual buku, festival ini menyuguhkan berbagai kegiatan literasi seperti diskusi, lokakarya, hingga pertunjukkan teater boneka sebagai hiburan.
Pada saat saya berkunjung, sedang diadakan lokakarya “Menuliskan Nyeri Sehari-Hari” bersama Yuditeha dan komunitasnya, Kamar Kata Karanganyar. Salah satu yang terkail suguhan acara patjarmerah ialah Nika, mahasiswa tingkat akhir UNS.
“Ke patjarmerah awalnya ingin ikut lokakarya, bukan beli buku,” ungkap Nika.
Meski awalnya tidak berniat beli buku, pada akhirnya Nika tetap memboyong novel Laut Bercerita. “Di sini cuma diskon 10%. Tapi, buku ini bakal punya sejarah dan ceritanya, oh saya beli di patjarmerah Solo,” begitu alasannya.
Patjarmerah Konsisten Membaur dengan Lokalitas
“Semua titik daerah bukan lembaran kosong. Semua punya karakter dan ceritanya. Kami harus mengenal dan menyesuaikan konsep dengan itu semua,” tutur penggagas patjarmerah Windy Ariestanty dalam siniar Bincang Haru oleh Haru Media.
Selain kolaboratif, patjarmerah juga punya trademark lainnya, yakni membaur dengan lokalitas tempat penyelenggaraan. Pada gelaran kali ini mereka membuat paket buku “Penulis Solo”. Komunitas-komunitas penulis lokal pun dilibatkan.
Tidak hanya itu, komunitas sejarah seperti Solo Societeit dan Kelompok Sadar Wisata di kelurahan lokasi patjarmerah, Gajahan, turut digandeng untuk berkolaborasi.
Bagi Windy, metode bergerak yang melokal ini mencegah patjarmerah untuk berperan sebagai penutur yang merasa paling tahu masalah dan solusi tiap daerah. “Pada akhirnya, yang paling paham dan bisa mengubah daerah tersebut hanya orang-orang beserta komunitasnya,” kata Windy.
Kukuh dengan Label Festival Kecil
Empat tahun dan terus berhitung, Windy bersama patjarmerah terus mengupayakan agar tim kecil ini bisa terus gesit bergerak.
“Kita memang kecil kok. Modal uang tidak besar-besar amat. Kecil ini juga agar lebih gesit kelilingnya, beradaptasi, dan akhirnya punya mindset untuk terus bertumbuh,” ungkap Windy,
Manajemen keuangan ditata dengan cermat agar, setidaknya, satu edisi bisa menghasilkan bekal guna menjalankan edisi selanjutnya. Rencananya patjarmerah selanjutnya menyasar daerah luar Jawa sebagai lokasi festival.
“Dan semoga bisa segera ke luar Jawa. Sejauh ini, masalah terbesarnya kan uang,” demikian target Windy ke depannya agar jejaring kolaborasi patjarmerah bisa meluas dan tetap melokal.
Penulis: Dhias Nauvaly
Editor: Iradat Ungkai