Fadli Zon kembali menunjukkan pada orang-orang bahwa dirinya bukan hanya politisi yang mumpuni, tapi juga seorang sastrawan kontemporer pilih tanding yang karya-karya sastranya layak untuk diperhitungkan.
Seakan merespon dan menyindir pernyataan Jokowi dalam salah satu pidatonya yang menyebut “politisi sontoloyo”, Fadli Zon pun bergerak cepat dengan membuat sebuah puisi berjudul Sontoloyo.
Puisi tersebut berisi kegelisahan Fadli Zon atas buruknya kondisi ekonomi Indonesia di masa pemerintahan Jokowi (walau mungkin tak ditulis secara gamblang).
Adapun isi puisi Fadli Zon adalah sebagai berikut:
SONTOLOYO!
kau bilang ekonomi meroket
padahal nyungsep meleset
sontoloyo!
kau bilang produksi beras berlimpah
tapi impor tidak kau cegah
sontoloyo!
kau bilang pengangguran turun
orang cari kerja makin berjibun
sontoloyo!
utang numpuk bertambah
rupiah anjlok melemah
harga-harga naik merambah
hidup rakyat makin susah
kau jamu tuan asing bermewah-mewah
rezim sontoloyo!
Puisi tersebut (kalau memang layak disebut sebagai puisi, sebab kelihatannya nggak ada indah-indahnya, blas nggak ada metaforanya, sekadar keluhan yang ditulis berima) tak dinyana mendapatkan perhatian dari banyak pihak.
Beberapa politisi kemudian banyak yang membalas puisi Fadli Zon.
Ketua DPP Hanura Inas Nasrulllah Zubir, misalnya, melalui detik.com membalas puisi Fadli dengan puisi yang berjudul “Semprul”,
SEMPRUL
Kau ini politikus semprul
Seringkali kau sok tahu
Padahal kau kura-kura dalam perahu
Kau berteriak agar nampak garang
Padahal kau mager keluar kandang
Kau ini politikus semprul
Kau bilang asing kuasai Indonesia
Padahal itu kerjaan mantan mertua
Kini direbut jadi milik bangsa
Tapi kau nyinyir bak kakek tua renta
Kau ini politikus semprul
Sontoloyo itu nasihat untukmu
Tapi kau suruh anak buahmu
Ngoceh beras, rupiah dan utang
Padahal dia berpikir pun agak kurang
Tak hanya Inas, Wasekjen PKB Daniel Johan pun ikut membalas puisi Fadli Zon lewat sebuah sajak yang ia bikin:
Mereka ngaku politisi elite
Tapi tak tahu kondisi data yang valid
Mereka tidak bisa membedakan mana mengkritisi
Dan mana provokasi
Biar rakyat yang membaca
Mana yang asal bicara dan mana yang bekerja
Dan pada akhirnya
Rakyat bahagia karena pembangunan infrastruktur merajalela
Rakyat tenang
Karena bahan pangan tidak goyang
Ah, entah kenapa, melihat para politisi saling berbalas sajak dan puisi begini, rasanya jadi bercampur aduk, antara senang dan sedih.
Senang karena setidaknya politisi-politisi sekarang banyak yang dekat dengan dunia sastrawi, namun juga sedih karena puisi dan sajak yang dibikin oleh para politisi itu jeleknya setengah mati.
Duh Gusti, paringono ekstasi.