MOJOK.CO – Persidangan kasus kekerasan jalanan atau klitih di Gedongkuning yang terjadi awal April 2022 lalu, kembali bergulir pada Selasa (1/11/2022) pekan kemarin. Dalam persidangan ini, kelima terdakwa, yakni FAS, HAA, AMH, RNS dan MMA, meminta untuk dibebaskan karena mereka mengklaim sebagai korban salah tangkap.
Salah seorang terdakwa, FAS, menyatakan dirinya tidak bersalah atas kasus tersebut. Pihaknya menegaskan, bahwa sosok dalam rekaman kamera CCTV yang ditunjukkan di pengadilan bukanlah dirinya.
Pihaknya juga mengklaim, selain menjadi korban salah tangkap, ia juga dipaksa oleh pihak kepolisian untuk mengaku sebagai pelaku pengeroyokan yang menewaskan pelajar berinisial DAA itu.
“Menolak seluruh dakwaan, tuntutan maupun tanggapan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum. Oleh karena dakwaan, tuntutan dan tanggapan Jaksa Penuntut Umum telah mengabaikan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan,” tegas terdakwa FAS, Selasa (01/11/2022) lalu.
Perihal salah tangkap dalam kasus klitih di Gedongkuning ini, sebelumnya juga telah disinggung oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jogja. Menurut mereka, belum ada pembuktian yang kuat untuk menetapkan kelima terdakwa sebagai tersangka oleh kepolisian. Bahkan, belakangan juga diketahui, para korban salah tangkap ini mengalami tindak kekerasan selama proses penyidikan.
Sepanjang pekan kemarin pun, beberapa forum akhirnya digelar untuk menginformasikan perihal kasus salah tangkap dan kekerasan dalam penyidikan tersebut. Antara lain, Konferensi Pers KontraS, Konferensi Pers LBH Jogja, hingga Diskusi yang diselenggaran Forum Keadilan Untuk Korban.
Lantas, temuan apa saja yang diperoleh dari forum-forum tersebut? Berikut ini Mojok telah merangkumnya.
#1 Maladministrasi sejak penangkapan
Fakta pertama yang terungkap dalam kasus salah tangkap di Gedongkuning, adalah dugaan maladministrasi yang dilakukan pihak kepolisian saat menangkap terduga pelaku. Hal ini disampaikan oleh anggota Tim Advokasi, Yogi Zul Fadli, selama persidangan lanjutan pekan kemarin.
“Kami mengadukan bahwa pertama ada indikasi maladministrasi yang dilakukan oleh kepolisian; kedua, ada indikasi tidak dipenuhinya syarat-syarat formil ketika penangkapan; ketiga, ada indikasi tidak dibukanya akses pendampingan hukum atau bantuan hukum kepada tersangka ketika itu,” papar Direktur LBH Jogja ini.
Hal ini ditegaskan penasihat hukum terdakwa, Zahru Arqom, yang menyebut bahwa sejak awal para terdakwa dimintai keterangan dan digeledah tidak sesuai prosedur. Padahal, saat itu, para terdakwa dimintai keterangan dalam kapasitas sebagai saksi.
“Para terdakwa dan teman-temannya saat dijadikan sebagai saksi, tapi malah ditangkap. Artinya bahwa proses penangkapan, penggeledahan maupun penyitaan beberapa barang itu tanpa melalui prosedur sebagaimana KUHAP dan Perkap,” jelasnya.
#2 Tidak ada bukti
Akhir pekan kemarin, LBH Jogja juga menggelar konferensi pers dengan menghadirkan orang tua terdakwa. Dalam konferensi pers tersebut, dijelaskan bahwa sampai akhir proses pembuktian di persidangan, tim penasihat hukum sama sekali tidak menemukan alasan apa yang menjadi dasar kepolisian menetapkan status AMH sebagai tersangka.
“Dari 21 saksi yang dihadirkan oleh penuntut umum, tidak ada satupun yang dapat mengidentifikasi Andi Muhammad Husein Mazhahiri berada di TKP Gedongkuning dan menjadi pelaku klitih,” jelas Direktur LBH Jogja Yogi Zul fadli, mengutip siaran pers LBH Jogja, Senin (7/11/2022).
Selain itu, lanjut Yogi, sepeda motor Vario 150 milik terdakwa atas AHA yang dijadikan barang bukti oleh penuntut umum sebagai sepeda motor yang digunakan di TKP Gedongkuning, ternyata bukan motor pelaku. Bahkan, berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, sepeda motor tersebut pada tanggal kejadian tak pernah meninggalkan rumah.
“Motor tersebut pada 3 April 2022 tidak pernah meninggalkan rumah sehingga tidak mungkin apabila motor tersebut berada di Gedongkuning,” tegas Yogi.
#3 Adanya penyiksaan selama penyidikan
Andayani, ibu terdakwa berinisial AMH, mengaku bahwa anaknya mengalami tindak kekerasan selama penyidikan. Padahal, berkali-kali ia menegaskan, ketika tragedi klitih terjadi di Gedongkuning, anaknya sedang tidak berada di TKP.
“Saya tegaskan, dan sudah berulang-ulang, bahwa anak kami tak terlibat dan tidak tahu-menahu soal kasus penganiayaan di Gedongkuning,” tegas Andayani, Minggu, (6/11/2022).
Bahkan, ia juga mengatakan bahwa anaknya sempat mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian saat melakukan pemeriksaan. Oknum anggota polisi, menurut Andayani, telah melakukan penganiayaan terhadap anaknya supaya mau mengakui perbuatan yang tidak pernah dia lakukan.
“Anak kami juga mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian Polsek Sewon untuk memaksa mengakui perbuatan yang tidak pernah dilakukan,” ujarnya.
Sementara LBH Jogja merinci, setidaknya ada dua orang terdakwa dan enam orang saksi yang mengaku mengalami penyiksaan saat dimintai keterangan oleh aparat kepolisian. Dua terdakwa dan enam saksi tersebut menurut dia telah bersumpah bahwa mereka mengalami sejumlah tindak kekerasan oleh aparat polisi.
Adapun aksi kekerasan itu berupa pukulan di bagian kepala dan pelipis, bagian perut, bagian rahang, dan bagian pipi. Selain itu, mereka juga dilempar asbak, dijambak, hingga dipukul menggunakan kelamin sapi yang dikeringkan.
#4 Mulut ditodong pistol
Salah satu bentuk penyiksaan yang dianggap paling sadis adalah dengan ditodong pistol. Penasihat hukum terdakwa, Zahru Arqom, menyebut bahwa kliennya sempat diintimidasi dengan ditodong pistol di mulut saat dimintai keterangan oleh penyidik Polda DIY. Keterangan ini juga disampaikan kedua terdakwa selam persidangan pekan kemarin.
“Ada beberapa catatan lagi, terdakwa ini juga ditempel atau ditodong pistol, ada di perut ada di mulut. Itu jadi catatan juga untuk terdakwa,” kata Zahru, dalam siaran pers di kanal Youtube KontraS, pekan lalu.
Untuk terdakwa inisial A, menurut Zahru, kliennya itu tidak hanya ditodong pistol, tapi juga diinjak. Saat dimintai keterangan, jempol A juga sempat diinjak dengan kursi.
“Sehingga pada saat press rilis oleh Polda DIY dia masih pincang dan sebagainya. Ketika menghadap belakang, tengkuk itu kalau kita zoom dan disampaikan di persidangan itu masih lebam-lebam,” ujarnya.
#5 Penyidik dilaporkan
Akibat serangkaian indikasi penyiksaan selama penyidikan, penyidik Polsek Kotagede pun resmi dilaporkan ke Propam Polda DIY. Kuasa hukum salah seorang terdakwa, Taufiqurrahman, juga menduga ada upaya untuk merusak alat bukti dalam kasus tersebut.
Laporan itu tertuang dalam Surat Penerimaan Pengaduan Propam Nomor: SPSP2/120/XI/2022/Yanduan. Perkara yang diadukan yakni dugaan perusakan kualitas video barang bukti CCTV.
“Hari ini kami secara resmi melaporkan penyidik Polsek Kotagede yang dalam dugaan kami telah melakukan obstruction of justice yaitu upaya untuk menghalang-halangi proses penyidikan yang itu terungkap dari fakta persidangan yang mereka lakukan dengan cara melakukan perusakan terhadap alat bukti elektronik berupa rekaman CCTV,” kata Taufiqurrahman, Jumat (4/11/2022) lalu.
Ia menambahkan, kurang lebih ada tujuh penyidik yang dilaporkan ke Propam. Mereka merupakan penyidik yang diikutsertakan dalam proses penyidikan kasus klithih itu. “Kurang lebih ada tujuh penyidik di Polsek Kotagede dan ketujuhnya kami laporkan,” ujarnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi