Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Kilas

Pernah Wakili Partai Komunis di Parlemen, Mengapa Affandi Selamat dari Peristiwa 1965? 

Ahmad Effendi oleh Ahmad Effendi
28 September 2023
A A
Pernah Wakili Partai Komunis di Parlemen, Mengapa Affandi Selamat dari Peristiwa 1965? MOJOK.CO

Monumen Affandi di perempatan Condongcatur. (Istimewa)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Pernah mewakili Partai Komunis Indonesia (PKI) di parlemen. Mengapa pelukis Affandi bisa selamat saat pembersihkan kader dan simpatisan PKI pada tahun 1965? 

Mendengar kata “Jalan Gejayan” yang terlintas di kepala saya adalah tempat kampus saya berada, kemacetan, dan revolusi. Sejak menjadi mahasiswa baru pada 2017 lalu, saya akrab dengan Jalan Gejayan karena tiga hal tadi.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa ruas Jalan Gejayan selalu macet setiap pagi dan saat jam pulang kantor. Tak sedikit pula yang sudah tahu kalau jalan ini menyimpan cerita sejarah tentang revolusi; dari meletusnya Reformasi 1998 hingga Gejayan Memanggil.

Namun, yang belakangan mulai saya sadari, Jalan Gejayan ternyata menjadi “legasi” Partai Komunis Indonesia (PKI) di Yogyakarta yang paling awet hingga hari ini.

Hal ini terkait dengan perubahan nama Jalan Gejayan ke Jalan Affandi, dan pembuatan monumen kecil yang terletak di perempatan Ringroad Condongcatur.

Affandi, seniman merah yang berpolitik dari Yogyakarta

Affandi dikenal luas sebagai seorang pelukis terkemuka dengan aliran ekspresionis—yang bikin dia dapat gelar Honoris Causa University of Singapore (1974). Namun, siapa sangka bahwa ia juga seorang aktivis kiri, yang kala itu terafiliasi dengan PKI.

Bahkan, Affandi adalah anggota legislatif PKI yang berhasil melenggang ke parlemen pada Pemilu 1955.

Dalam sejarah, PKI berhasil memenangkan Pemilu 1955 di Kota Yogyakarta. Dari sekian banyak caleg yang PKI usung di Yogyakarta kala itu, nama Affandi menempati nomor urut satu.

Meskipun secara teknis ia bukan merupakan kader, penempatannya di nomor urut teratas mengindikasikan bahwa Affandi adalah sosok yang diperhitungkan dalam skena politik masa itu.

Dalam buku Lekra Tak Membakar Buku (2008) karya Rhoma Dwi Aria Yulianti dan Muhidin M. Dahlan, PKI memang cukup fleksibel mengusung “seniman non-PKI” sebagai caleg mereka, termasuk Affandi.

Meski yang mencalonkan PKI, Affandi bersama beberapa seniman lain masuk dalam golongan seniman yang tidak berpartai. 

Pada Pemilu 1955, partai ini bahkan jadi peserta pemilu dengan caleg seniman non-partai terbanyak.

Jadi anggota parlemen wakili Partai Komunis Indonesia

Singkat cerita dalam perebutan kursi Konstituante, Affandi terpilih sebagai anggota parlemen. Ia berada di komisi Perikemanusiaan pimpinan Wikana, salah seorang tokoh yang andil dalam persiapan proklamasi Indonesia sekaligus teman dekatnya. 

Sayangnya, masa jabatan Affandi di Konstituante tak berlangsung penuh karena lembaga ini dibubarkan Sukarno melalui Dekrit Presiden 1959.

Iklan

Selain sebagai anggota parlemen dari fraksi kiri, Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Organisasi kebudayaan yang terafiliasi dengan PKI. Di Lekra, Affandi berada di bagian seni rupa atau Lesrupa (Lembaga Seni Rupa).

Saat peristiwa Gerakan 30 September (G30S) meletus, PKI ditumpas, begitu juga dengan Lekra yang akhirnya dibubarkan. Namun, berbeda dengan beberapa aktivis kiri lainnya, Affandi mendapat nasib yang lebih beruntung karena ia bebas dari kelamnya “musim menjagal” itu.

Affandi bisa selamat dari pembersihan itu tak lepas dari peran Bagong Kussudiardja, ayahanda budayawan Butet Kartaredjasa ini saat itu dekat dengan militer. Bahkan menjadi anggota dan penasehat Badan Kerjasama Budayawan dan Militer. Kepercayaan itu Bagong gunakan untuk menyelamatkan seniman-seniman yang ditangkap militer agar tidak dibunuh. 

Termasuk sosok Affandi yang saat itu mengalami interogasi dan penahanan di tahanan Benteng Vrederburg.

Di Orde Baru, Affandi juga termasuk seniman kiri yang selamat, bahkan mendapat penghargaan Bintang Jasa Utama dari Presiden Republik Indonesia Soeharto pada tahun 1978. 

Affandi abadi di Jalan Gejayan

Sejak 20 Mei 2007, Jalan Gejayan resmi mengubah namanya menjadi “Jalan Affandi”. Bahkan, setahun sebelumnya pada 10 Agustus 2006, Bupati Sleman Ibnu Subiyanto, membangun sebuah monumen di perempatan Ringroad Condongcatur.

Menurut laporan Detik (2006), wacana perubahan nama jalan ini untuk mengenang nama Affandi sebagai salah satu pelukis sohor di Yogyakarta.

Namun, sebagaimana pemaparan PJM Nas dan Freek Colombijn dalam penelitiannya berjudul “The Symbols Side of Urbanism” (1993) bahwa “penamaan jalan itu sebenarnya sangat politis”.

Katanya, “penamaan jalan bukan sekadar memberi nama, tetapi juga merepresentasikan sesuatu yang berhubungan dengan sejarah dan kekuasaan”.

Itulah sebabnya mengapa ada banyak jalan menggunakan nama-nama pahlawan—yang sebagian besar adalah tokoh militer. Hal itu pulalah yang menjadi alasan mengapa ada banyak daerah, seperti Jawa Barat sebelum 2022, yang “haram” menamai jalannya dengan unsur Majapahit karena punya noda sejarah, misalnya.

Selain sebagai simbol politik, pengajuan nama jalan pun juga harus melewati mekanisme ruwet dan tak sebentar. Secara umum ada delapan regulasi yang mengatur soal penamaan/pergantian nama jalan. Tapi pada intinya, “penamaan jalan harus punya tujuan memasyarakatkan keteladanan dan menumbuhkan semangat kepahlawanan dan kepatriotan demi kemajuan dan kejayaan bangsa dan negara”.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Menelusuri Jejak UNRA Mataram, Kampus PKI yang Berada di Lingkungan Keraton Yogyakarta

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Terakhir diperbarui pada 28 September 2023 oleh

Tags: affandigejayanKomunislekraPKI
Ahmad Effendi

Ahmad Effendi

Reporter Mojok.co

Artikel Terkait

PKI dan Politik Ingatan: Dari Demonisasi hingga Penghapusan Sejarah
Video

PKI dan Politik Ingatan: Dari Demonisasi hingga Penghapusan Sejarah

27 September 2025
bti, petani, tani.MOJOK.CO
Ragam

Rumus “3S-4J-4H” Wajib Dijalankan Pemerintah Kalau Mau Petani di Indonesia Maju

28 Januari 2025
Seputar Peristiwa 65 yang Tak Mungkin Ada di Buku Sejarah MOJOK.CO
Esai

Seputar Peristiwa 65 yang Tak Mungkin Ada di Buku Sejarah

30 September 2024
Angkringan Pak Aam Pringgondani Jogja: Pernah Dibenci Akamsi, Kini Jadi Penyelamat Warga dan Mahasiswa.Angkringan Murah, Enak, dan Terbaik Ada di Kotagede Jogja MOJOK.COCerita Penjual Angkringan di Jalan Gejayan Lulusan Kampus Informatika, Bahagia Menjadi Penolong Para Pekerja Jogja.MOJOK.CO
Kuliner

Cerita Penjual Angkringan di Jalan Gejayan Lulusan Kampus Informatika, Bahagia Menjadi Penolong Para Pekerja Jogja

24 September 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Kisah Kelam Pasar Beringharjo Jogja yang Tak Banyak Orang Tahu MOJOK.CO

Kisah Kelam Pasar Beringharjo Jogja di Masa Lalu yang Tak Banyak Orang Tahu

24 Desember 2025
Wisata Pantai Bama di Taman Nasional Baluran, Situbondo: Indah tapi waswas gangguan monyet MOJOK.CO

Pantai Bama Baluran Situbondo: Indah tapi Waswas Gangguan Monyet Nakal, Itu karena Ulah Wisatawan Sendiri

25 Desember 2025
Menyoal nikah siri (tak tercatat di KUA): Sah, tapi jadi ruang untuk pemuas syahwat, dalih perselingkuhan, dan menghindari tanggung jawab semata MOJOK.CO

Biro Jasa Nikah Siri Maikin Marak: “Jalan Ninja” untuk Pemuas Syahwat, Dalih Selingkuh, dan Hindari Tanggung Jawab Rumah Tangga

29 Desember 2025
Pasar Kolaboraya tak sekadar kenduri sehari-dua hari. Tapi pandora, lentera, dan pesan krusial tanpa ndakik-ndakik MOJOK.CO

Kolaboraya Bukan Sekadar Kenduri: Ia Pandora, Lentera, dan Pesan Krusial Warga Sipil Tanpa Ndakik-ndakik

23 Desember 2025
elang jawa.MOJOK.CO

Kala Sang Garuda Diburu, Dimasukkan Paralon, Dijual Demi Investasi dan Klenik

27 Desember 2025
Event seni budaya jadi daya tarik lain wisata ke Kota Semarang selama libur Nataru MOJOK.CO

Libur Nataru: Ragam Spot Wisata di Semarang Beri Daya Tarik Event Seni-Budaya

26 Desember 2025

Video Terbaru

Toko Buku dan Cara Pelan-Pelan Orang Jatuh Cinta Lagi pada Bacaan

Toko Buku dan Cara Pelan-Pelan Orang Jatuh Cinta Lagi pada Bacaan

28 Desember 2025
Natal dan Harapan yang Tak Datang dari Keheningan

Natal dan Harapan yang Tak Datang dari Keheningan

25 Desember 2025
Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

23 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.