MOJOK.CO – Sejak kecil, kita diajari bahwa manusia adalah makhluk sosial. Padahal, sebetulnya, sifat manusia itu individualistik. Diam ketika zona nyamannya tidak diganggu.
Waktu sekolah dulu, kita diajari bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kita tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Sejak masih bayi sampai mati pun, kita butuh orang lain. Kita makhluk sosial! Demikian penjelasan guru-guru kita dulu.
Dari dulu kita percaya saja tanpa mencoba bertanya dari mana teori tersebut berasal dan apakah masih relevan dengan perkembangan zaman.
Sebenarnya kalau diselisik, kebenaran teori itu hanyalah kebenaran terbatas alias kebenaran partikular. Sebagai manusia, kita memang sering melakukan manipulasi bahwa kita ini makhluk sosial alias sosialis (istilah ini saya gunakan secara hati-hati, takut disita karena dianggap berbau kiri), padahal kita hanyalah sosok individualis yang tak sadarkan diri.
Untuk menghindari salah pikir, sosialis dan individualis di sini tidak ada hubungannya dengan filsafat tertentu dan bukan pula ideologi kiri, apalagi kanan (daripada disita). Istilah ini sebatas sikap pribadi yang kita lakoni sehari-hari. Istilah ini terpaksa saya gunakan karena untuk sementara saya belum menemukan redaksi lain yang lebih menohok ketimbang istilah itu.
Tulisan ini hanya ingin menggali potensi-potensi sikap individualistik yang selama ini menjadi gaya hidup kita sehari-hari. Sikap yang dalam teorinya kita tolak dan tebas, tapi dalam praktiknya justru kita mamam dan amalkan dengan taat.
Untuk mengakhiri kebingungan, kita langsung masuk saja pada contoh-contoh aktual di lapangan. Pertama, saat kenaikan BBM, yang marah-marah sampai demo-demo itu kan cuma mereka-mereka yang bergantung kepada BBM subsidi alias BBM murah.
Soal demonstrasi ditunggangi oleh oposisi yang ingin menggertak pemerintah, itu masalah lain, tapi yang ikut protes kenaikan BBM ya mereka-mereka saja. Bagi kita yang kebetulan punya SPBU atau “pengusaha minyak eceran” mana pernah mau merasakan kepedihan mereka.
Kita, yang mengaku makhluk sosial, selow saja sambil ngelantur bahwa kenaikan BBM cuma seratus perak kok pada ribut. Begitu pula ketika BBM turun, kita pun tak mau sok-sok gembira. Biar mereka saja, lagipula dari dulu kita hobinya pertamax.
Kedua, saat barang-barang dapur seperti cabai atau bawang mahal, kita pun selow aja. Tidak ada urusan dengan semua itu. Yang berteriak ya mereka-mereka saja yang gizinya tak pernah cukup sejak Republik ini berdiri.
Kita tidak ada urusan dengan segala kemahalan itu sebab sudah biasa ngerantang di restoran, bayar bulanan, mana pernah pegang bawang, tomat, kecap, dan minyak goreng. Jadi buat apa ribut-ribut sampai buat acara live di Facebook bahwa barang-barang itu gak mahal kok, seratus ribu dapat sekarung.
Ketiga, kemarin itu televisi juga sibuk dengan berita bahwa BPJS “memPHK” rumah sakit yang konon belum mengurus akreditasi. Yang sibuk dan suka protes ya cuma pasien-pasien fakir yang sebenarnya sudah dilarang sakit sejak dulu.
“Makhluk sosial” seperti kita ya seperti biasa, selow saja sambil lakukan rasionalisasi bahwa begini dan begitu, rakyat tidak perlu ribut. Bagi kita, soal BPJS macet itu fenomena biasa saja sebab kita biasa pakai uang tunai saat berobat plus dokter pribadi. BPJS ditenggelamkan pun bukan urusan kita.
Keempat, waktu ada TKI atau pekerja ilegal asal Indonesuia yang bermasalah di luar negeri, kita tetap damai-damai saja. Toh menurut kita, permasalahan TKI itu tidak ada hubungannya dengan kita sehingga akan membuang waktu untuk didiskusikan, apalagi sampai ikut prihatin. Kadang-kadang dengan sok normatif kita pun turun mengecam TKI kita; kan salah sendiri, sudah dibilang jangan buat rusuh, jangan membunuh, tapi bandel saja itu TKI.
Kalau yang tertangkap itu pekerja ilegal ya mampuslah, siapa suruh masuk negeri orang, tanggung sendiri itu risiko cari duit dengan cara tak benar. Sudah dibilang di negeri sendiri ada banyak tempat kerja, tapi suka juga ke luar negeri. Kira-kira begitu komentar paling ringan yang keluar dari mulut kita.
Kelima, baru-baru ini, negeri kita juga digegerkan dengan sweeping buku yang konon berisi ajaran komunis alias buku kiri. Tapi lihat saja siapa yang peduli dengan kegegeran itu. Yang melakukan sweeping belum tentu tahu itu buku apa (memang mereka kutu buku?) dan sebagian publik pun tenang-tenang saja sebab yang disikat itu buku-buku kiri sementara kita justru berpikir bahwa kita ini orang-orang kanan sehingga tidak perlu ambil pusing.
Yang menangis itu ya pemilik toko buku sebab bukunya disita aparat. Kalau ada ganti rugi masih mending, bagaimana kalau main sikat saja? Siapa tanggung itu modal? Peduli amat, yang penting teriak literasi dan literasi, tapi nutrisi otak disikat terus. Untung kami jualan buku online, masih syukur belum disita.
Beberapa contoh di atas tampaknya belum cukup. Saya tambah lagi contoh keenam. Saat ini PT. POS Indonesia dan beberapa jasa pengiriman lainnya menaikkan tarif. Sebenarnya saya benar-benar kesal karena isu ini selalu saja terlantar, tak pernah jadi trending topic, selalu saja tenggelam di bawa angin.
Yang ribut cuma kami-kami ini yang selama ini mencari nafkah dari jualan buku-buku online. Sejak ongkos Pos mahal, dagangan buku jadi sepi, tidak ada pembeli. Ongkos dari Aceh ke Pulau Jawa saja bikin sakit gigi, apalagi ongkos ke luar negeri seperti Malaysia, bikin rusak nalar.
Bayangkan saja, ada pelanggan beli buku tapi kemudian cancel gara-gara jasa pengiriman mahal. Harga buku hanya lima puluh ribu, tapi ongkos kirimnya sampai enam puluh ribu. Apa enggak gila? Ongkos kirim bisa dua kali harga buku. Mungkin inilah yang disebut “ditipu hidup-hidup.” Tapi siapa ada koar-koar soal begini? Apa Bapak Presiden pernah terkejut?
Terakhir, ketujuh, belum lama ini para penumpang pesawat di Aceh dikejutkan dengan mahalnya harga tiket pesawat. Gema protes pun bergemuruh di Aceh melalui media sosial sampai harga tiketnya konon telah diturunkan. Tapi nanti dulu, emang siapa saja yang protes? Apa kita juga ikut protes harga tiket pesawat.
Saya pribadi sih tidak ada urusan dengan tiket pesawat. Sampai sekarang, saya masih maen di sini-sini aja, gak pernah naik pesawat, naik bus aja jarang. Paling-paling naik sepeda motor. Itu pun kalau ada perlu beli nasi goreng. Kalau tidak ya di sini terus. Jadi buat apa saya ikut-ikutan prihatin sama penunggang pesawat?
Mereka sampai ancam buat paspor dan ke Jakarta via Kuala Lumpur. Mampuslah! Biar saja itu menjadi urusan mereka. Buat apa saya sok-sok jadi sosialis dan sok peduli kalau ternyata saya hanya individualis tulen yang selama ini melakukan manipulasi.
Cuma itu saja mau saya bilang, bahwa kita ini manipulator individualis yang bergaya sosialis. Kita hanya peduli dengan diri sendiri. Protes baru muncul jika kenyamanan kita terganggu. Selebihnya kita benar-benar individualis tapi ngakunya makhluk sosial.