Semua bermulai ketika masyarakat Baduy Dalam meminta supaya agama nenek moyang mereka, Selam Sunda Wiwitan, dimasukkan ke dalam kolom agama di KTP. Iya, agama nenek moyang, agama yang di pelajaran IPS dulu dinamai animisme dinamisme.
Nah, gara-gara itu persoalan kemudian muncul.
Ternyata, nggak semua orang sepakat bahwa konsep ketuhanan masyarakat Baduy layak disebut agama. Termasuk Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin.
“Menurut saya itu bukan agama,” kata Pak Din, “bukan dalam pengertian agama yang secara ilmiah.”
Baiklah, bisa dimaklumi jika Bapak Din meragukan Sunda Wiwitan sebagai din. Soalnya standar agama versi belio adalah: “Berdasarkan wahyu atau berdasarkan semacam ilham. Kemudian membentuk kitab suci, ada pembawanya, ada sistem ritusnya. Kalau kepercayaan-kepercayaan masyarakat, apalagi ada akar pada agama tertentu, itu tidak bisa dipahami sebagai agama.”
Tapi oke, kita ikuti aturan main Pak Din. Sebenarnya apa sih Sunda Wiwitan?
Kalau kita mau baca-baca, salah satunya artikel Ira Indrawardana berjudul Berketuhanan dalam Perspektif Kepercayaan Sunda Wiwitan, yang-bukan-agama-menurut-Pak-Din ini usianya jebul sudah sangat tua. Bahkan jauh lebih tua daripada agama Islam atau Kristen—dua agama terbesar di dunia dan di Indonesia.
Lha piye, usia Sunda Wiwitan diduga sudah ada sejak 2000-3000 tahun sebelum masehi je. Periode di mana Gajah Mada jadi kromosom aja belum.
Ebuset, apa-apaan ini? Islam baru ada pada abad ke-7, Kristen kalau ngikutin kelahiran Yesus atau Isa Al-Masih juga di tahun nol. Belagu bener ini Sunda Wiwitan main dulu-duluan.
Dari sini, kalau mau main akar-akaran, siapa yang lebih dulu mengakar di Nusantara juga udah kelihatan tho?
Kalau dikatakan akar mereka sama dengan agama yang ada di Indonesia ya enggak juga. Lha wong mereka ada lebih dulu.
Lagipula kalau mereka ada akar dengan agama tertentu, bukankah itu bisa malah semakin berbahaya? Ingat yang terjadi dengan Lia Eden. Halah, jangankan Lia Eden, yang sesama Islam kayak penganut Syiah aja bisa dibantai.
Tapi, sebelum ngomong jauh ke mana-mana kita harus membatasi dulu, apa itu “Sunda” dalam Sunda Wiwitan. Ya gimana, untuk menjelaskan secara ilmiah kan kita perlu kajian epistomologisnya juga. Namanya juga ilmiah. Biar sesuai aturan main.
Hal ini penting soalnya kata “Sunda” itu bisa dimaknai dalam banyak kategori. Secara filosofis, Sunda berarti bodas (putih), bersih, dan … ya pokoknya yang baik-baiklah. Secara etnis, kita tahu etnis Sunda. Dan bisa juga secara geografis, yang berarti penamaan suatu wilayah berdasarkan peta zaman dulu.
Kita mengenalnya sekarang dengan istilah “Sunda Besar” untuk nyebut Sumatera, Jawa, Madura, dan Kalimantan, dan “Sunda Kecil” untuk nyebut pulau-pulau kecil sebelah timur Pulau Jawa. Dari Pulau Bali, Lombok, Flores, Pulau Roti, dan seterusnya.
Artinya, Sunda Wiwitan tidak bisa hanya dimaknai sebagai agamanya orang-orang suku Sunda saja, melainkan juga kepercayaan orang-orang yang berada di “wilayah” Sunda.
Di sisi lain, kata Wiwitan memiliki dua arti. Pertama, “wiwitan” sebagai asal mula, di mana Sunda Wiwitan bisa dimaknai sebagai Sunda Asal atau Sunda Asli. Artinya secara literal dimaknai sebagai keyakinan orang Sunda awal. Kedua, Wiwitan juga bisa dimaknai sebagai wit-witan atau pepohonan. Hal ini tercermin dari pandangan orang Baduy Dalam yang memelihara keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitar.
Sunda Wiwitan mempercayai Tuhan sebagai Hyang Maha Tunggal Esa. Ada kepercayaan satu kekuasaan tunggal yang dinamai Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa). Ya, lumayan sama seperti yang ada di Pancasila sila pertama.
Hanya saja, bagi mereka, dzat Tuhan itu ada di mana-mana, sebab Tuhan tidak bisa dipisahkan dari ciptaan-Nya. Itu kenapa penganut Sunda Wiwitan begitu menghargai alam sekitarnya.
Bagi mereka, semua adalah dzat Tuhan, sehingga semua perlu dihormati sebaik-baiknya. Termasuk manusianya, alamnya. Barangkali itu yang bikin orang-orang ini begitu santun dan merkewuhi karena sikap takzimnya kepada sesama.
Kalau kepercayaan masyarakat Baduy Dalam ini dianggap tidak bertuhan sama sekali, ya nggak tepat. Mereka bertuhan kok, cuma cara memahami Tuhannya saja yang beda dengan agama resmi pemerintah.
Jika ada kelemahan dari Sunda Wiwitan, barangkali karena Sunda Wiwitan tidak mengenal syiar atau berdakwah; menyebarluaskan atau punya misi tertentu untuk menjaring penganut sebanyak-banyaknya seperti agama impor di Indonesia. Sunda Wiwitan mah woles aja. Ada yang mau ya boleh, nggak ada yang mau juga nggak apa-apa. Toh mereka bisa tetep eksis tanpa perlu jualan agama.
Masalahnya, justru sikap woles inilah yang bikin orang-orang macam Pak Din nggak merasa bahwa kepentingan penganut Sunda Wiwitan sebagai hal yang perlu dipenuhi. Buat apa? Agama nenek moyang mah nggak usah dipedulikan. Barangkali dalam pandangan Pak Din, Sunda Wiwitan cuma cagar budaya yang bisa dibanggakan ke negara luar sebagai bukti keanekaragaman Indonesia.
Tidak ada yang salah dengan agama nenek moyang kita. Yang salah justru kita yang tidak mau menghargai kepercayaan mereka.
Hal yang mungkin luput dari perhatian Pak Din adalah Islam sendiri juga hadir di Mekah pada abad ke-7 sebagai upaya “pengenalan kembali” agama nenek moyang. Agama nenek moyang kota Mekah yang sudah berabad-abad dilupakan dengan pembangunan berhala-berhala di sekitar Kakbah.
Keberadaan Nabi Muhammad adalah upaya agar kepercayaan orang-orang di Mekah kembali ke agama nenek moyang. Nenek moyang yang bernama Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Yang menemukan mata air zam-zam dan yang membangun Kakbah. Jadi, jika hanya karena alasan agama Sunda Wiwitan adalah agama nenek moyang dan karena itu jadi tidak layak dianggap resmi, memangnya agama Islam bukan?
Memang betul, Sunda Wiwitan tidak sebesar agama-agama yang diakui di Indonesia. Ritus agamanya juga tidak masuk dalam nalar agama-agama besar. Tapi Sunda Wiwitan bisa jadi adalah representasi bagaimana kita menghargai apa yang sudah dimiliki oleh bangsa ini.
Menolak kehadiran mereka dalam sistem administrasi negara sama saja mengingkari bagaimana jargon iklan Maspion yang selalu muncul dalam jeda tayangan televisi kita:
Cintailah ploduk-ploduk En-do-ne-sa!
Lha wong pipa sama kompor aja bisa kita cintai, masa agama nenek moyang nggak?