Mega korupsi, korupsi terbesar —sungguh saya tak menyangka bisa sebesar ini—, begitulah masyarakat menyebut kasus dugaan korupsi e-KTP. Meski saat ini prosesnya masih dakwaan terhadap dua orang, yakni mantan Dirjen Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman dan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Sugiharto, namun kasus ini sudah cukup untuk membuat banyak mata warga Indonesia terbelalak.
Kasus ini menjadi begitu penting dan liar sebab ia menyeret banyak nama politisi dari berbagai fraksi partai. Korupsi berjamaah ini menjadi bukti mengerikan betapa bobroknya mental para pejabat yang berkuasa atas nama rakyat.
Tak hanya menguak satu per satu tokoh yang terlibat, perkembangan kasus ini juga menguak sejumlah hal absurd yang terjadi di negeri ini. Hal-hal absurd yang walau mungkin tidak terlalu penting, namun layak dan perlu juga untuk disimak.
Setya Novanto
Nama ini perlu disebut pertama. Bukan saja karena dia orang dengan jabatan publik tertinggi. Tetapi kabarnya dia adalah orang yang mendapat warisan ilmu kanuragan kuno Madura, belot lecen. Ilmu kanuragan yang membuat Setya Novanto menjadi sangat licin dan tak tersentuh. Ia lebih menakjubkan ketimbang belut, selicin-licinnya belut, ia masih tetap bisa tersentuh.
Pria yang juga Ketum Partai Golkar itu saat ini boleh dibilang adalah politisi paling top di Indonesia. Anas Urbaningrum? Gak ada apa-apanya bos… Buktinya, Anas bisa masuk penjara.
Simak salah satu akrobatnya dalam satu setengah tahun terakhir: dia adalah satu-satunya politisi yang menjadi Ketua DPR, tersandung kasus serius soal saham Freeport, kemudian lolos dari jeratan pidana, menjadi ketua umum partainya, dan kembali jadi Ketua DPR lagi. Lionel Messi, Neymar, dan Suarez memang bisa membuat Barca lolos dramatis mengalahkan PSG. Tapi mereka pasti akan geleng-geleng kepala jika disuruh membuat comeback seperti yang dilakukan Setya Novanto seorang diri.
Pribadinya sangat menyenangkan, jago lobi, dan tak pernah marah. Jika anda adalah jurnalis, anda bisa menulis sebuah berita yang sangat keras terhadap dirinya, dan ketika keesokan harinya bertemu, Setya Novanto tak akan marah. Paling-paling hanya menepuk pundak anda dan berkata: “Jangan gitu, bos. Mari kita ngopi dulu”. Dia orang yang memenangkan sesuatu tanpa menyakiti lawannya.
Disinilah letak kekuatannya. Lawan politik akan dibuat terlena, dan tiba-tiba saja sang politisi mendapatkan apa yang menjadi tujuannya sejak awal.
Dengan begitu banyaknya kekuatan yang terancam dengan pengungkapan kasus ini (sejumlah gubernur dan politisi, berikut partai yang paling berkuasa), maka ending dari heboh kasus e-KTP ini akan berakhir di tingkat divonisnya orang-orang kroco seperti Irman dan Sugiharto. Tidak akan berlanjut indah seperti kisah Agus Mulyadi dan Kalis Mardiasih, eh… maksudnya tidak akan berlanjut dengan diadilinya Setya Novanto dan para pejabat lainnya seperti Ganjar Pranowo dan Olly Dondokambey beserta kambrat-kambratnya di DPR RI. Karena jika bersatu, kekuatan-kekuatan ini bisa-bisa membuat KPK jadi macan ompong.
Alumni 411 dan 212
Surat dakwaannya setebal 24 ribu halaman dan setinggi 2,5 meter. Nilai korupsinya juga yang tertinggi, yakni mencapai Rp 2,3 triliun. Bandingkan dengan rekor yang sebelumnya dipegang kasus Hambalang, Rp 706 miliar. Lebih dari tiga kali lipatnya. Uang pajak saya, anda, kita semua, diembat sebanyak Rp 2,3 triliun oleh orang-orang yang katanya pelayan kita semua.
Juga ada jauh lebih banyak ayat dan hadist yang menyebutkan bahaya korupsi ketimbang soal pemimpin muslim. Itu pun juga nyaris tidak ada perbedaan pandangan antar ulama seperti soal tafsir Al-Maidah 51. Namun, hingga kemarin para pentolan aksi Bela Islam tak banyak mengonsolidasikan umatnya untuk bergerak. Padahal, kasus ini lebih layak dijadikan sasaran demonstrasi. Harusnya, jika kemarin demo soal penistaan agama Ahok saja katanya 7 juta orang, harusnya demo kasus ini 15 juta orang. Karena isunya lebih layak diperjuangkan. Yang dirugikan juga jauh lebih banyak. Bukan hanya Islam yang dinistakan, tapi semua agama yang ajarannya tidak membenarkan korupsi juga ikut dinistakan.
Cie… cie… baper ya sama aksi-aksi itu? Hahaha… yang saya maksud sebenarnya adalah tanpa adanya tekanan dari masyarakat, kasus ini pasti akan mudah berbelok arah. Sekalipun itu ditangani KPK. Tekanan massa diyakini masih cukup ampuh. Simak saja aksi 411 dan 212. Sampai membuat Kapolri harus melanggar aturan yang dibuatnya sendiri: yakni menangani kasus yang melibatkan paslon sebelum pelaksanaan pemilukada.
Hingga tulisan ini dibuat, tidak ada tanda-tanda rencana aksi dari pihak manapun. Yang ada hanya gremengan saja. Hampir bisa dipastikan, aksi massa tak akan terjadi dalam waktu dekat.
Seharusnya, ya, seharusnya lho ya. Korupsi jauh lebih membahayakan dan lebih merusak ke masyarakat ketimbang penistaan agama. Namun, ya gimana lagi. Setidaknya ini menunjukkan bahwa aksi-aksi yang terjadi desainnya lebih kepada untuk kepentingan kelompok tertentu ketimbang murni menyuarakan kebenaran. Cie… baper lagi cie… Awas lho ya, ntar gak disalatin tau rasa lho ya.
Pilgub DKI
Ada kaitannya dan menunjukkan betapa absurdnya manusia Indonesia yang menjadi makhluk politik yang kebablasan. Termasuk saya juga yang mengaitkannya, hehehe. Bagi Ahokers, ini adalah blessing in disguise. Sejak dulu menolak program e-KTP, Ahok bisa menjadikan kasus ini sebagai bahan kampanye-nya.
Itu sah-sah saja, dan ya, dia memang menggunakannya. Lihat saja lini masa bertebaran berita pada 2014 atau 2015 lalu yang berisi eker-ekeran Ahok dan Kemendagri. Yakni, Ahok menilai program e-KTP ini tidak efektif dan pemborosan dan dia menolaknya. Kemendagri tersinggung, meminta Ahok untuk tidak komentar terkait hal-hal di luar kompetensinya dan fokus pada kinerjanya.
Dengan hasil survey yang menunjukkan dia semakin tercecer dari Anies-Sandi, kubu Ahok akan melakukan apa pun yang perlu dilakukan untuk meningkatkan elektabilitasnya.
Lalu bagaimana dengan kubu Anies-Sandi? Seperti minuman teh dalam botol, jawaban Anies-Sandi adalah: Oke Oce. Ya habis mau bagaimana lagi. Kasus ini tidak ada kaitannya dengan mereka. Kurang kerjaan bagi mereka, atau salah-salah bisa blunder, jika mau komentar.
Jokowi
“Yang muda mana, gantian yang muda. Raisa ada nggak?” Foto Raisa yang menatapnya penuh arti saat perayaan Hari Musik Nasional di Istana Negara membuat gemes. Bukan hanya gemes melihat sikap Jokowi untuk merespon atau pun membuat situasi penegakan hukum menjadi kondusif, tapi yang bikin lebih gemes adalah wajah Raisa. Duuuuh… kapan saya ditatap seperti itu oleh Raisa?
Tersudutnya sejumlah kekuatan elit politik, minimnya tekanan publik, terlalu politisnya masyarakat Indonesia, dan Presiden Jokowi yang belum juga menemukan kebijakan pengondusifan penegakan hukum di Indonesia bisa jadi akan membuat kasus e-KTP ini hanya akan berakhir datar-datar saja. Jika tidak menjadi “sandera kasus” bagi sejumlah pihak tertentu ke pihak tertentu lainnya, kasus ini akan selesai anti-klimaks. Entah kasus itu berakhir pada dua orang yang kini jadi terdakwa itu (syukur-syukur nambah tersangka menjadi satu-dua orang lagi), atau berakhir menjadi tidak jelas seperti biasanya.
Semoga saya salah…