MOJOK.CO – Ukhti Mega dalam videonya jelasin kalau nikah muda bikin anak kaum muslimin banyak yang akan lahir, dengan begitu Islam makin kuat. Hm, sebentar.
Pada bagian paling awal ini, akan terlebih dahulu saya ingatkan bahwa Perkawinan Usia Anak (PUA) berbeda dengan nikah muda.
Menurut UU Perlindungan Anak, usia di bawah 18 tahun masih tergolong anak-anak. Sedangkan menurut UU nomor 16 tahun 2019 tentang revisi UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia perkawinan untuk perempuan maupun laki-laki adalah 19 tahun.
Jadi, nggak perlu ada yang komentar: dulu saya juga nikah muda kok umur 22. Dulu saya juga nikah muda kok umur 24. Beda definisi, Suparmiiii.
Motivasi PUA ada beragam. Di Indonesia, keluarga miskin biasa mengawinkan paksa anak perempuan untuk mengurangi beban keluarga. Anak perempuan dianggap tidak bisa menghidupi dirinya sendiri, sehingga perlu orang lain untuk menanggung kebutuhannya.
Pada praktiknya, harapan itu lebih sering tak terwujud. Suami si anak perempuan kesulitan mendapatkan pekerjaan, sedangkan si anak perempuan keburu hamil. Akhirnya, mereka kembali lagi ke rumah orang tua dan menggantungkan hidup kembali ke orang tua.
Kondisi itu masih mending. Lebih banyak anak perempuan kembali sendirian ke rumah orang tuanya dalam keadaan hamil dan berniat menggugat cerai suaminya karena tak kuat jadi korban KDRT di usia perkawinan yang baru seumur jagung itu.
Saya tidak mengada-ada. Kasus-kasus yang begitu banyak jumlahnya di Pengadilan Agama, sebagaimana angka gugatan perceraian tinggi, yang sebagian besar berasal dari PUA.
Motif PUA yang lain juga berasal dari pemahaman agama. Contoh paling gamblang adalah konten Youtube dari Ukhti Mega Official yang sempat ramai dibahas oleh warga twitter.
Ukhti Mega membuat konten dengan thumbnail “Hamil 17 tahun“, tentu saja maksudnya adalah hamil saat usia 17 tahun. Juga thumbnail provokatif “Gimana rasanya pertama kali tidur sama suami?”. Video itu dijuduli: “Ukhti, sudah siap nikah muda?”
Pada description box, Ukhti Mega meminta maaf kalau dia dan suaminya sering bikin baper anak muda. Mungkin dia berpersepsi bahwa anak muda iri melihat mereka sudah menikah di bawah umur. Padahal, anak muda seusia Ukhti Mega mungkin nggak sempet bopar-baper karena sibuk nugas atau sibuk bikin paper kuliah.
Ukhti Mega juga menjelaskan bahwa dia menikah muda (dan sekali lagi yang benar seharusnya nikah usia anak) karena semakin banyak anak kaum muslimin yang lahir, maka Islam akan semakin kuat. Sebetulnya ini sudut pandang yang lumayan nggak update, sebab hari ini komunitas muslim di dunia memang sudah tergolong kelompok paling besar di dunia dengan jumlah 1,8 miliar orang atau 24% populasi dunia.
Kebutuhan orang Muslim hari ini sesungguhnya lebih penting untuk memastikan berapa besar dari totalan jumlah tersebut yang benar-benar manusia dengan kualitas dan harapan hidup yang baik? Berapa persen yang bisa meraih minimal pendidikan dasar? Berapa besar yang dapat menghasilkan sebuah pikiran yang berguna untuk sekitarnya? Wah, malah jadi berat sekali tugasnya. Kasihan Ukhti Mega bingung.
Masalahnya, konsekuensi dari cara pandang dari masa lalu itu sangat serius sekali. Untuk memperbanyak jumlah kaum muslimin, perlu rahim perempuan, sedangkan tak semua rahim perempuan bisa menghasilkan anak. Padahal, tujuan pernikahan yang ada dalam Al-Quran bahkan tak menyebut syarat apa pun, melainkan hanya agar manusia (perempuan dan laki-laki) saling mendapatkan ketenangan.
Dalam catatan sejarah, kesuburan perempuan juga menyumbang stigma serta merupakan akar penindasan perempuan paling serius. Rahim yang tidak segera hamil lalu dicap tidak cukup perempuan. Kondisi itu dianggap prasyarat untuk bisa meminggirkan perempuan dari alat produksi atau bahkan dipoligami tanpa persetujuan.
Dalam kondisi masyarakat yang sangat patriarkis, perempuan jadi terbiasa tidak percaya dengan kemanusiaannya yang utuh sehingga secara tidak sadar, perempuan merasa layak untuk dipinggirkan karena kondisinya tersebut.
Kedua, tujuan untuk memperbanyak kaum muslimin juga berkonsekuensi pada tubuh perempuan yang dituntut untuk dapat melahirkan sebanyak mungkin.
Dalam videonya, Ukhti Mega mengakui bahwa kehamilan usia anak sangat beresiko. Tapi dia merasa beruntung karena imun tubuhnya baik ketika kehamilan pertama di usia 17 tahun. Padahal, permasalahannya bukan pada imun tubuh, melainkan kondisi fisiologis serta psikologis. Dan sebetulnya juga soal dampak jangka panjang kepada tubuh perempuan, sebab yang belum berdampak hari ini, belum tentu tidak berdampak di masa depan.
Dalam komunitas yang berorientasi mengejar jumlah belaka ini, seringkali kita temui pemandangan sebuah keluarga yang memiliki banyak anak dengan selisih usia yang rapat betul.
Terkadang saya membayangkan, bagaimana jika ada perempuan dalam komunitas ini yang sebetulnya memiliki efek hormonal lumayan merepotkan. Saya perempuan yang menikah belum lama, tapi telah merasakan efek perubahan hormonal yang lumayan acak. Siklus haid yang berantakan. Gejala PMS yang sama sekali lain dari gejala sebelum menikah yang juga berdampak ke rasa was-was karena harus mulai beradaptasi.
Belum lagi, tantangan kehamilan yang dihadapi masing-masing perempuan berbeda, ada yang ringan saja tapi juga ada yang sangat berat hingga pada level pertaruhan nyawa. Saya tak sampai hati membayangkan para perempuan dalam komunitas ini, yang sebetulnya mengalami tantangan-tantangan berat itu, tapi dia diam saja dan menerima hal tersebut sebagai tugasnya sebagai perempuan. Padahal, dia punya hak untuk memutuskan hal terbaik untuk tubuhnya.
Pandangan bahwa perempuan adalah semata alat untuk menghasilkan keturunan yang banyak harus digeser dengan prioritas untuk kesehatan ibu dan kualitas bayi. Tentu saja mencakup fisik dan psikis.
Pengorbanan kesehatan fisik dan mental hingga kematian Ibu dan bayi tidak boleh dianggap sebagai semata jihad, namun mestinya dijadikan evaluasi bagaimana Islam menjamin penjagaan kepada diri (hifz an nafs) kepada perempuan?
Konsekuensi apa yang dijalani Ibu? Tentu saja perannya tak hanya melahirkan, melainkan juga merawat anak-anak itu. Pada usia yang masih sangat muda, belum selesai fokus kepada anak pertama, ia sudah harus mengandung lagi, menyusui lagi, lalu hamil lagi, menyusui lagi, begitu seterusnya.
Dari konten Ukhti Mega yang bisa nge-vlog di dalam mobil, saya sih berharap kalau keluarga ini punya asisten rumah tangga, sehingga beban reproduktif ukhti kelak tidak terlalu berat.
Tapi, begini lho, Ukhti. Ini maksud utama saya menulis ulasan ini, sadarilah bahwa di luar sana tidak semua anak bisa ngevlog di dalam mobil seperti rumah tangga kalian.
Anak-anak di luar sana barangkali adalah harapan orang tua mereka untuk dapat mengangkat derajat keluarganya dengan cara berpendidikan tinggi agar kelak punya akses pekerjaan yang baik. Itu pun mulia!
Bayangkan jika di luar sana ada remaja-remaja yang pada awalnya sangat rajin belajar dan berprestasi, namun tiba-tiba setiap hari jadi membayangkan ingin segera menikah saja?
Tentu saja itu bukan karena konten kalian bagus atau bikin baper, itu reaksi biologis biasa saja yang jika remaja yang merasakannya lalu diikuti dengan emosi saja sebab tak cukup pengetahuan yang rasional. Apalagi, konten-konten ajakan nikah cepat pasti hanya bicara yang indah-indah melulu.
Makanya, ke depan saya usul kepada pasangan suami-istri ini, bikin konten yang lebih konkret saja. Pasti ada yang bisa kalian kontenkan selain pengalaman tidur pertama bareng suami dan poligami. Bikin konten bikin donat, tanam cabai, tips melipat baju yang nggak mudah kumal kalau suami narik sembarangan dari lemari, pasti lebih ada manfaatnya dan jelas lebih barokah.
Atau, saya juga ingin mendengar cerita bagaimana pengalaman Ukhti Mega merawat anak pada usia 17 tahun, lalu hamil lagi pada usia 19 tahun. Gimana pandangan ukhti soal pendidikan anak? Apakah sudah ada rencana soal pemilihan sekolah buat anak-anak? Ya, ini sekadar masukan kalau mungkin nanti sudah bosan dengan konten-konten prank.
Sebelum menutup esai, sebab ini bulan Ramadhan, saya akan mengakhiri perbincangan dengan baik-baik.
Mengapa perkawinan usia anak kini dilarang oleh ulama dengan pandangan yang berkemajuan?
Sebab, kehidupan ini bukan hanya milik laki-laki, melainkan juga perempuan. Anak laki-laki yang harus menikah pada usia anak bisa jadi tetap dapat melanjutkan akses pendidikan, tetap punya akses ke sumber-sumber ekonomi, sosial budaya, dan juga politik.
Akan tetapi, perempuan, dengan kondisi khusus biologisnya, akan terpinggirkan dari itu semua. Hitung saja jika ia memiliki 5 anak secara beruntun, tanpa terasa, perempuan minimal akan melewatkan 15 tahun dalam hidupnya untuk aktivitas mengandung dan menyusui, sambil mengurus anak-anak lain yang juga masih perlu perawatan. Jika pun ia punya cukup waktu untuk mengembangkan diri, pastilah hal tersebut sangat melelahkan lahir dan batin.
Pada praktiknya, lebih banyak perempuan yang tanpa sadar kehilangan agensi dirinya lalu semakin merasa minder dan menarik diri pelan-pelan dari kehidupan sosial karena merasa sudah tidak relate dengan pergaulan teman sebayanya.
Menunda usia perkawinan anak perempuan, berarti memperpanjang harapan anak perempuan untuk berpendidikan lebih lama, mengembangkan potensi diri, mempersiapkan kesehatan reproduksinya, sehingga kelak ia akan punya otoritas penuh untuk menentukan apa yang terbaik buat masa depannya.
Dengan begitu, semoga, kemaslahatan yang milik laki-laki, juga bisa menjadi kemaslahatan milik perempuan. Itu.
BACA JUGA Pesta Pernikahan Aktivis Dakwah Bakal Dinyinyiri Kalau Konsepnya Nggak Islami atau tulisan Kalis Mardiasih lainnya.