MOJOK.CO – Pertanyaan kadi kepada sufi yang hendak dihukum mati karena dianggap bidah.
Syahdan, seorang tokoh terkemuka di Baghdad bernama Ghulam Khalil benar-benar geram dengan perilaku para sufi di kota tersebut. Ia menyatakan perang terhadap kelompok itu. Dengan tekatnya yang membara, Ghulam pun pergi menghadap Khalifah. Di hadapan Khalifah, ia segera melaporkan,
“Ya Paduka, orang-orang telah bersaksi bahwa beberapa kelompok sufi suka berdendang-dendang, menari-nari, dan menghina Allah. Mereka setiap hari sering hilir mudik. Saat malam tiba, mereka bersembunyi di dan mengagungkan kuburan-kuburan dan berkhotbah. Sufi-sufi itu benar-benar manusia-manusia bidah. Hamba mohon Paduka menghukum manusia-manusia penyebar bidah ini. Dengan begitu, syariat Tuhan akan bisa ditegakkan. Dan Paduka akan mendapat pahala yang besar dari-Nya.”
Mendapat keluhan tersebut, Khalifah merintahkan para arif terkemuka (sufi) seperti Abu Hamzah, Raqqam, Syibli, Nuri, dan Junaid dibawa ke hadapannya. Setelah selesai menanyai mereka secukupnya, yang hanya dijawab dengan beberapa patah kata, Sang Khalifah segera memerintakan algojo membunuh mereka.
Algojo mula-mula hendak memancung Raqqam, tetapi tiba-tiba Nuri meloncat, menerjang maju, dan berdiri menggeser Raqqam.
“Bunuhlah aku yang sedang tertawa-tawa bahagia ini lebih dahulu,” seru Nuri sembari mendorong Raqqam jauh-jauh.
“Belum tiba giliranmu,” jawab algojo. “Pedang bukan senjata yang digunakan secara tergesa-gesa.”
“Jalanku ini adalah jalan cinta,” Nuri menjelaskan. “Aku lebih mencintai sahabatku daripada diriku ini. Yang paling berharga di dunia ini adalah kehidupan. Aku ingin memberi beberapa saat kehidupan kepada saudara-saudaraku ini. Meskipun jujur aku harus berpendapat, sesaat di dunia ini jauh lebih berharga daripada seribu tahun di akhirat. Dunia ini tempat berbakti dan akhirat adalah tempat berdekatan dengan Allah. Sedang agar menghampiri-Nya, bukankah kita harus berbakti kepada-Nya?”
Ucapan-ucapan Nuri didengar oleh Sang Khalifah. Ia merasa kagum dengan ketulusan dan kejujuran Nuri. Sang Khalifah lalu memerintahkan agar hukuman tersebut ditangguhkan sementara dan permasalah tersebut diserahkan kepada kadi (hakim).
“Mereka tidak boleh dihukum dengan tanpa disertai bukti,” jelas Sang Kadi. Kadi itu bahkan telah sering mendengar khotbah-khotbah Nuri dan telah mengenal kecakapan-kecakapan Nuri dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam. Sang Kadi akhirnya melewati Nuri dan segera menuju dan menanyai Syibli.
Akan kutanyai si bodoh ini mengenai bidang yang tak sanggup dijawabnya, batin Sang Kadi dalam hati.
“Berapakah zakat seseorang jika ia memiliki uang dua puluh dinar?”
“Dua puluh setengah dinar,” jawab Syibli.
“Siapakah yang menetapkan ketentuan zakat sebesar itu?” tanya Sang Kadi lagi.
“Abu Bakar yang agung,” jawab Syibli. “Ia menyerahkan semua yang dimilikinya sebanyak empat puluh dinar sebagai zakat,” jawab Syibli.
“Ya, tapi kenapa kamu tadi menambah setengah dinar?”
“Sebagai denda,” jawab Syibli. “Ia telah menyimpan uang dua puluh dinar dan oleh karena itu, ia harus membayar setengah dinar sebagai dendanya.”
Kemudian Sang Kadi berpaling pada Nuri dan memberondong dengan pertanyaan-pertanyaan seputar fikih.
Nuri segera menimpali sang Kadi.
“Kadi, engkau telah mengajukan banyak pertanyaan, tetapi tak satu pun yang penting. Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang berdiri melalui Dia, berjalan dan beristirahat melalui Dia, hidup melalui Dia, dan berdiam diri merenungi-Nya. Jika sesaat saja mereka berhenti merenungi-Nya, binasalah mereka. Melalui Dia mereka tidur, melalui Dia mereka makan, melalui Dia mereka menerima, berjalan, melihat, mendengar, dan melalui Dia mereka ada. Inilah sebenarnya ilmu sesungguhnya dan bukan apa yang engkau pertanyakan tadi.”
Si Kadi bungkam tak dapat berkata apa-apa. Ia kemudian memberi tahu dan menceritakan kepada Sang Khalifah tentang kejadian tersebut.
Khalifah segera menjawab, “Jika orang-orang seperti mereka dianggap sebagai orang yang tiada bertuhan dan bidah, maka tidak ada seorang pun di seluruh dunia ini yang bisa dianggap percaya kepada Allah yang Maha Esa.”
Khalifah memerintahkan agar tahanan-tahanan itu dibawa ke hadapannya.
“Apa ada yang kalian inginkan?” tanya Khalifah.
“Ada,” jawab salah seorang dari mereka. “Kami ingin agar engkau melupakan kami. Kami ingin agar engkau tidak memuliakan kami dengan restumu dan tidak mengusir kami dengan murkamu, karena bagi kami, kemurkaanmu itu sama dengan restumu, dan restumu itu sama dengan kemurkaanmu.”
Sang Khalifah meneteskan air matanya. Ia memerintahkan pengawalnya membebaskan mereka.
Dinukil dan disadur dari kitab Tadhkiratul al-Auliya karya Fariduddin Attar, diterjemahkan oleh A.J. Arberry dalam Muslim Saints and Mistics: Episode from Tadhkiratul al-Auliya, 2000, hlm. 302-305.
Kisah ini ada tulisan perdana dalam kolom khusus Ramadan “Hikayat” yang diasuh oleh Irfan Afifi. Kolom ini tayang setiap hari di Mojok selama bulan Ramadan.