Di tengah serbuan kabut asap yang tak kunjung minggat, Presiden Jokowi menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Tentu ini agenda yang sesungguhnya belum layak jadi prioritas. Ibarat kata membangun rumah, tembok utamanya saja belum kelar, eh, Jokowi malah keburu bikin pintu garasi.
Namun, meski Hari Santri ini tidak penting-penting amat, jauh lebih nggak penting lagi penolakan atasnya. Yang sudah mengeluarkan sikap menolak adalah Muhammadiyah, organisasi yang menjadi akar tradisi keberagamaan saya.
Menurut Pak Haedar Nashir dan Pak Din Syamsuddin, penetapan Hari Santri potensial memecah belah bangsa. Sebab, akan mengeras lagi dikotomi santri dan non-santri. “Hari Santri akan menguatkan kesan eksklusif di tubuh umat dan bangsa,” kata Pak Haedar yang Ketua PP Muhammadiyah. Di samping itu, tanggal 22 Oktober (yang diambil dari momentum historis Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama untuk melawan penjajah), juga dipersoalkan. Kenapa cuma dari “satu golongan”? Atau kalau mau vulgar: Kenapa harus NU, Jok? Kenapaaa?
Mendengar alasan penolakan itu, saya manyun. “Wah, Pak, kalau cuma perkara efek eksklusivitas, bukannya nyaris semua hari nasional juga eksklusif?” Ingin rasanya saya kirim pesan Whatsapp demikian ke Pak Haedar. Ada yang punya nomernya?
Coba kita ambil contoh. Hari TNI 5 Oktober kemarin, misalnya. Lihat, tentara dibikinkan hari khusus. Wah, Pak, selayaknya hari spesial ini dihapus saja, karena akan membuat polarisasi terus-menerus antara militer dan sipil. Ini potensial memecah-belah persatuan bangsa, lho! Hari Sipilnya manaaa? Kalau Hari Pertahanan Sipil alias Hansip sih ada, 19 April. Tapi itu kan justru jadi hari ketika masyarakat sipil dimiliterisasi? Supremasi militer lagi dweeeh.
Atau kalau tentara di situ sekadar diletakkan sebagai profesi, bukan sebagai “kasta”, bagaimana dengan profesi-profesi lain? Para penulis Mojok seperti kita-kita ini gimana dong? Itu juga profesi kan? Hahaha.
“Buat para penulis sudah ada Hari Buku Nasional, Mas, 17 Mei. Jangan kebanyakan nuntut, ah!” mungkin akan ada yang menjawab begitu.
Well, itu bermasalah lagi. Tanggal 17 Mei itu dipilih lebih karena 17 Mei 1950 merupakan tanggal berdirinya Ikatan Penerbit Indonesia alias Ikapi. Lah, lah, lah, ini memecah belah bangsa lagi. Penerbit itu pedagang buku. Dan pedagang buku justru potensial jadi kelompok yang memeras keringat para penulis, berikut para editor, penata letak, dan segenap buruhnya. Hari buat penulisnya mannnaaa??
Lebih dari itu, Hari Buku kok berkhidmat kepada serikat para pedagang buku? Lha, ini tuh Hari Buku apa Hari Pedagang Buku to?
Terkait problem pemilihan tanggal untuk Hari Buku, Gus Muhidin M. Dahlan—aktivis perbukuan yang kemarin di Frankfurt kepergok kencan dengan lawan tradisionalnya, Doktor Hewan Taufiq Ismail—pernah bersabda: perihal Hari Buku, semestinya pendapat Njoto, Wakil Ketua CC PKI, yang diikuti. Menurut Njoto, tanggal 18 Januarilah yang layak jadi Hari Buku Nasional. Sebab pada hari itu sebuah buku menjalankan peran revolusioner dalam melawan kolonialisme. Indonesia Menggugat, buku tulisan Sukarno itu, dibacakan oleh penulisnya sebagai pleidoi di depan mahkamah kolonial pada 18 Januari 1930.
Oke, lupakan Hari Buku yang memecah belah bangsa. Kita masuk ke tanggal 29 September. Ada Hari Sarjana di situ. Ya Allah, ini bukan lagi sekadar membawa potensi polarisasi bangsa. Ini sudah penghinaan buat mereka yang bukan sarjana! Perkara sarjana dan bukan sarjana ini jangan dilihat sekadar sebagai klasifikasi diferensiatif belaka. Ini sudah kasta. Betapa banyak pemuda Indonesia yang bermimpi jadi sarjana tapi tak mampu meraihnya, lebih karena negara gagal menyediakan pendidikan yang murah untuk rakyat. Tolak Hari Sarjana!
Lanjut. Kita cek lagi hari-hari lain yang nggak cukup dikenal publik. Ambil sampel saja, ada Hari Kereta Api 28 September, Hari Dokter Nasional 24 Oktober, Hari Bawa Bekal Nasional 12 April, Hari Filateli Nasional 29 Maret. Masya Allah, semuanya potensial menciptakan konflik horizontal maupun vertikal di tengah-tengah umat. Berbahaya sekali.
Hari Kereta Api? Kenapa tidak ada hari pesawat? Bagaimana dengan para sopir bis, misalnya? Harusnya kan ada Hari Bis juga? Hari Andong? Hari Becak? Hari Ojek? Pemerintah sungguh tidak peka!
Hari Dokter Nasional pun tak beda. Ketika para dokter dibikinkan hari, para pasien malah tidak. Padahal lebih banyak mana coba, populasi dokter atau pasien? Ha?
Ini lagi, Hari Bawa Bekal Nasional. Astaghfirullaah, pencanangan hari semacam itu akan sangat menyakiti pedagang makanan di warteg-warteg, kantin-kantin, gerobak keliling, dan semacamnya. Mereka semua mengandalkan penghidupan dari orang-orang yang nggak bawa bekal to? Apalagi Hari Bawa Bekal selalu dibumbui kampanye kesehatan tentang buruknya jajan di luar atau makan sembarangan di pinggir jalan. Ini hari yang harus kita lawan rame-rame.
Hari Filateli lebih parah lagi. Wong cuma hobi ngumpulin perangko kok dibikinkan hari spesial. Lalu bagaimana perasaan elemen-elemen bangsa yang lain, yang tidak hobi koleksi perangko? Ada berapa banyak kolektor gantungan kunci, kolektor korek zippo, dan lebih-lebih lagi kolektor batu akik, yang dapat dipastikan bakal merana sekali karena tidak dibikinkan hari khusus oleh negara? (Pret, Mz..)
Sudahlah, Bapak-bapak, nggak perlu kenceng-kenceng menolak Hari Santri. Spiritnya toh keren, apresiasi tinggi kepada para ulama yang memfungsikan ajaran agama untuk menghadapi tantangan zaman. Ketika di tahun 1945 tantangannya adalah kekuatan militer penjajah, ya itu dia yang harus digasak dengan Resolusi Jihad. Dengan spirit yang sama, mestinya sekarang Hari Santri bisa direvitalisasi lagi untuk jihad-jihad kekinian yang lebih sesuai dengan dinamika era digital.
Kalau Bapak-bapak ingin mengkritik, saya kira lebih mendesak untuk mengkritik, misalnya, Hari Kesaktian Pancasila. Juga Hari Supersemar. Apakah cuma gara-gara bersikap antikomunis, lantas kita juga wajib untuk taklid buta kepada dusta-dusta sejarah bikinan Soeharto? Kritik atas hari-hari istimewa Soeharto itu jauh lebih mendesak, demi kesehatan nalar dan kesadaran historis segenap anak bangsa.
Adapun mengenai potensi perpecahan yang lebih riil di tubuh umat, saya malah lebih menyarankan agar Bapak-bapak di Muhammadiyah mendengarkan curhatan ibu saya. “Sekarang Ustadz Anu dan Ustadz Itu di pengajian Muhammadiyah kok galak-galak yo, Le? Rasanya beda banget sama zaman Pak AR Fahruddin dulu…”
Iya, saya juga kangen Pak AR, almarhum Ketua PP Muhammadiyah yang bersahaja dan terkenal adem. Jika ada banyak sosok panutan seperti Pak AR lagi di tubuh Muhammadiyah, dengan ceramah-ceramah beliau yang super-sejuk, saya yakin kekhawatiran perpecahan umat akan bisa kita usir jauh-jauh.
Atau ya udah, besok kalau saya jadi presiden, saya akan tetapkan Hari AR Fahruddin. Tunggu ajah.