MOJOK.CO – Dua hari yang lalu, Tere Liye bikin ribut lagi karena menggoblok-goblokkan orang yang membeli buku bajakan.
Ada netizen yang bilang bahwa pembeli buku Tere Liye masih polos dan belum paham seluk-beluk pembajakan buku-buku. Oleh karena itu, sebagai sesama penulis buku (meski sedihnya buku saya nggak ada yang mbajak) sekaligus sebagai pemilik toko buku online dengan masa depan yang sangat menjanjikan (tentu masih sebatas janji-janji), saya ingin menyampaikan beberapa hal penting tentang buku bajakan.
Ini tulisan serius, tidak terlalu ke-Mojok-Mojok-an, tapi wajib Anda baca dan sebarkan. Tentu saja demi edukasi, biar pembajakan buku pelan-pelan musnah dari muka bumi.
Pertama, memang nggak gampang membedakan antara buku ori dan buku bajakan, terutama bagi kaum yang memang jarang baca dan jarang pegang buku beneran.
Yang biasa pegang buku beneran tentu hafal kalau buku bagus biasanya juga diterbitkan oleh penerbit bagus, dan penerbit bagus biasanya mau modal dikit dengan mengemas fisik buku juga dengan bagus. Minimal finishing cover-nya doff atau glossy, kadang malah dengan emboss dan UV spot pada secuil bagian.
Sementara, buku bajakan dibikin dengan prinsip ongkos produksi semurah-murahnya, sehingga kulit luarnya agak kasar tanpa finishing apa-apa.
Masalah akan terjadi kalau seumur-umur sampeyan cuma pernah pegang buku komik Siksa Kubur atau TTS yang diasong di bus-bus AKAP Surabaya-Jember. Buku-buku begituan, meski ori pun, juga diproduksi dengan prinsip ngirit yang sama dengan buku-buku bajakan.
Hasilnya, ketika referensi fisik buku yang kita tahu adalah yang cover-nya sebersahaja itu, jelas saja ketika suatu hari tiba-tiba kita iseng beli buku Biografi Gus Dur karya Greg Barton dengan harga ngawur Rp40 ribu, ya nggak bakal terlintas di otak kita untuk meraba-raba dan merasakan keanehan pada sampulnya.
Kedua, buku bajakan dijual dengan harga supermurah sampai taraf tak masuk akal.
Buku ori diberi harga wajar dengan perhitungan yang juga wajar. Di dalamnya ada rata-rata 15-20% elemen ongkos produksi, 10% royalti penulis, 35-40% persen diskon untuk reseller-langsung atau bahkan 60% kalau lewat distributor, dan sisanya laba penerbit.
Buku bajakan nggak ngitung royalti, nggak ngitung potongan distributor, dan ongkos produksinya pun ecek-ecek karena dicetak dengan kertas ecek-ecek dan kualitas tinta yang juga ecek-ecek.
Maka, tak heran Tetralogi Pulau Buru-nya Pramoedya lengkap empat judul di marketplace cuma dijual seharga Rp100 ribu, padahal normalnya bisa di atas Rp800 ribu. Atau Sapiens-nya Harari cuma dibanderol Rp30 ribu, padahal harga ori-nya sekitar Rp120 ribu.
Yang terbiasa belanja buku beneran akan paham harga wajar gituan. Tapi yang tiap hari jajannya cuma pulsa dan bakso pentol ya susah.
Ketiga, buku bajakan di marketplace kadang dijual tanpa keterangan apa-apa, tapi banyak juga yang menempelkan identitas nyempil berbunyi “repro” atau “non-ori”.
Repro di situ maksudnya cetakan hasil scan-an. Non-ori ya maksudnya bukan ori, gitu aja kok pake dijelaskan. Sebenarnya akan lebih enak kalau ada label “bajakan” atau “colongan” atau “palsu” di lapak olshop itu. Tapi kan calon pembeli mesti dimotivasi dengan istilah-istilah penenteram jiwa.
Saya menduga, kalau olshoper-nya itu garangan seperti cah kae, dan lagi nyepik cewek, dia juga akan bilang kalau gombalan dan janji-janjinya itu sama sekali bukan palsu, melainkan cuma “non-ori”.
Keempat, buku non-ori, eh, bajakan, biasanya menguasai display di marketplace.
Saya nggak tahu kok bisa begini. Tapi kalau sampeyan mendengar satu buku laris yang sudah banyak dibicarakan, lalu kepengin beli online dengan gugling dulu “jual buku laris Anu”, yang muncul di deretan link marketplace dari paling atas sampai agak jauh ke bawah malah rata-rata yang bajakan.
Sampai-sampai, wajar juga kalau ada yang mengira harga novel Aroma Karsa Dee Lestari yang benar memang Rp35 ribu, padahal aslinya di atas Rp100 ribu.
Maka, kalau antum mau turut berjuang agar ekosistem dunia membaca dan menulis Indonesia sedikit lebih waras, mending langsung search “buku anu original” untuk tahu harga betulannya, baru kemudian belanja di lapak yang pasang harga nggak jauh-jauh amat dari harga orisinal itu tadi.
Atau kalau mau lebih detail lagi, search nama penerbitnya, lalu masuk ke web penerbit dulu untuk memeriksa harga resmi. Ribet sih ya. Kalau mau nggak ribet memang ikutan nyolong aja.
Kelima, situs-situs marketplace tidak serius mendukung pemberantasan aktivitas massal pembajakan buku.
Ini memang tuduhan berat. Tapi kritik keras sudah dilemparkan kepada marketplace yang membiarkan saja pedagang buku bajakan berjualan di tempat mereka. Konon sih ada beberapa yang sempat di-take down. Namun nyatanya toko-toko brengsek itu terus bermunculan, dan malah akun-akun baru semakin banyak.
Sebenarnya, marketplace bisa membuka saja identitas akun pedagang buku bajakan itu. Nama pemiliknya, sekaligus alamatnya. Lalu biarkan hukum rimba berbicara hoahaha.
Keenam, selain dalam format fisik kertas, ada juga PDF buku bajakan yang dibuat tanpa izin.
Ratusan PDF buku semacam itu disebarkan oleh mereka yang mengaku sebagai aktivis progresif. Mengaku berjuang demi distribusi pengetahuan yang lebih merata, sembari pura-pura lupa bahwa bersamaan dengan “distribusi pengetahuan” itu mereka menginjak-injak dan merampas hak hidup ribuan nyawa.
Ketujuh, di balik setiap huruf yang Anda baca dari buku bajakan atau PDF buku ilegal, ada sayup-sayup isak tangis perih seorang buruh penerbitan yang dipecat karena kantornya bangkrut. Ada editor yang berlinang air mata karena lama tak mendapat order lalu terpaksa menjuali perkakas dapurnya. Ada kelebat bayangan anak-anak pekerja buku yang perutnya semakin kempis dan badannya kian menyusut karena nutrisi yang layak sudah lama tak masuk ke mulut mereka.
Kedelapan, dalam waktu dekat, sebelum pertengahan 2021, Presiden didukung DPR akan segera menetapkan status darurat pembajakan buku.
Status itu akan ditindaklanjuti dengan perintah keras kepada polisi agar bekerja sama dengan situs-situs marketplace untuk melakukan razia besar-besaran kepada pelaku pembajakan buku dan pembuat PDF buku ilegal, berikut siapa pun yang menjual dan menyebarkannya, juga pembeli dan pembacanya.
Pertimbangannya adalah karena tindakan pembajakan buku merupakan pencurian terang-terangan, pembunuhan bagi ribuan pekerja buku (bukan cuma penulis), perusakan atas ekosistem literasi dan salah satu sektor riil ekonomi, penyebab semakin sedikitnya jumlah penulis dan penyedia bacaan-bacaan bagus, dan pembawa efek kebodohan masyarakat secara berkelanjutan.
Eh tapi yang nomor delapan itu tadi belum fakta beneran, ding. Masih fakta repro alias non-ori, gan!
BACA JUGA Mari Berbisnis Buku Bajakan: Cara Cepat Jadi Kaya, Tanpa Risiko, dan Dipuja Banyak Orang dan tulisan lainnya di rubrik ESAI.