MOJOK.CO – Kalau gaji 20 juta masih dianggap belum cukup untuk bisa hidup sejahtera di Jakarta, emangnya berapa sih minimal penghasilan supaya bisa hidup enak di sana?
Sahabat Celenger yang sudah rindu hari gajian padahal masih tanggal muda,
Definisi “surga dan neraka” bagi para pencari kerja bisa jadi bertabrakan dengan surga dan neraka yang kita imajinasikan dalam ajaran agama. Surga itu kerja dengan gaji Jakarta, tinggal di Jogja, cuaca Cisarua. Seger banget! Sementara neraka, gaji Jogja, tinggal di Jakarta, dengan cuaca Ethiopia. Ada segernya, ada macetnya, sekaligus bisa terpanggang gelombang panas. Mamam! Hahaha.
Tentu saja itu guyon. Tidak perlu secara khusus mendebat bahwa di Jogja, bermukim banyak orang kaya, sementara di Jakarta banyak tinggal karyawan miskin yang hidup berhimpitan seperti di rumah merpati. Karena memang pada praktiknya tidak sedikit orang yang mendapatkan banyak penghasilan besar dari tingginya mobilitas. Pipis di Jogja, makan siang plus pup di Jakarta, dan malamnya sudah menikmati makan hewan lucu di Kaliurang; sate kelinci.
“Gaji yang pantas itu harusnya berapa besar, sih? Di angka berapa kita akan disebut sejahtera?”
Belasan tahun silam, sahabat saya yang sangat brilian, saat wawancara kerja di sebuah perusahaan minyak besar dan berpengaruh mendapatkan satu butir pertanyaan di luar urusan teknis pekerjaan yang sebelumnya telah dibabatnya habis. Sepertinya, calon user yang kebetulan ekspatriat tersebut hendak menguji seberapa besar teman saya menghargai dirinya.
“Where do you see yourself in five years?”
Mendapat pertanyaan serupa itu, yang biasa terjadi, si pewawancara dan yang ditanya saling mengawang-awang nggak jelas. Variasi jawabannya sangat mungkin tidak akan lepas dari kata kunci berikut: deep expertise, take more managerial responsibilities, travelling around the world, take on new challenges, lead some projects dan hal lain yang mudah dihafalkan. Klasik sekali!
Memang beberapa panduan wawancara juga tidak menyarankan untuk menjawab secara spesifik. Misalnya seperti menyebut dalam lima tahun menjadi seorang Vice President (VP), mempunyai gaji 50 juta atau lebih, kendaraan mewah, dan hal ambisius lain.
Tidak keliru, namanya saja ambisi, tetapi sangat mungkin apa yang disebut tersebut tidak dapat dipenuhi oleh perusahaan. Bayangkan kalau posisi VP harus dijabat oleh keluarga pemilik, gaji untuk karyawan di luar keluarga hanya dipatok paling tinggi 10 juta sepenting apapun posisi kalian.
Balik lagi ke teman yang saya sebut di atas. Dia tidak menyebut angka, tidak menyebut posisi, dan tidak pula menyebut harapan memiliki kendaraan mewah jenis tertentu. Dia hanya menjawab pendek, “I want your lifestyle.” Penuh percaya diri dan dapat membaca gelagat di sekitarnya. Dia melihat penampilan user-nya yang mentereng, berwawasan, dan penuh percaya diri.
Sebenarnya tidak pernah ada jawaban baku dalam wawancara kerja. Selama calon karyawan dianggap bakal jadi aset penting perusahaan, maka jawaban-jawaban yang tidak terkait langsung dengan pekerjaan sedikit banyak tidak akan dihiraukan. Dia membuktikan itu, dan posisinya di perusahaan pengelolaan ladang minyak terus melaju sampai saat ini hingga posisi puncak, dengan gaji jauh di atas menteri.
Sahabat celenger yang semangat kerjanya mlempem mengingat tanggal gajian masih lama,
Setelah bekerja sekian tahun. Posisi kalian saat ini ada di mana? Masih berpikir gajinya kurang, berpikir gaji berapa pun disyukuri, mulai berpikir melompat pindah ke perusahaan lain atau mulai berpikir resign?
Kelas menengah Jakarta—yang ngehek terutama—di keseharian mereka dari masa ke masa selalu membincangkan kepantasan gaji dalam besaran tertentu untuk masa kerja tertentu. Tidak salah, namanya saja harapan. Tapi hobi ngece-nya itu lho kalau sudah berkomentar soal demo buruh yang menuntut kenaikan gaji.
“Kerja kagak becus, gaji minta digedein. Entar nangis kalo perusahaannya bangkrut atau relokasi ke tempat lain yang pekerjanya lebih rajin dan nggak kebanyakan menuntut!”
Untung yang di-sliding buruh. Kelompok penghasilan terpinggirkan yang berani makan nasi Padang asli Minang (bukan Wonosari) kalau di tanggal muda saja dan kebutuhan rumah sudah terpenuhi. Jadi mereka sudah kebal. Bayangkan kalau yang dibegitukan ayam petelur, sudah optimis akan bertelur jadi batal. Untuk kemudian mogok dan memilih memproduksi teleque terus.
Geli banget kalau mendengar bahwa di Jakarta itu bakal ngos-ngosan hidupnya kalau sudah berkeluarga sementara penghasilan “hanya” ada di kisaran 20-30 juta saja. Katanya, aman tuh 50 juta. Ya itu sih kalo situ pelihara BMW dan Mercy, dan punya gaya hidup boros kayak hobi belanja-belanji, clubbing sana-sini dan nongki di coffei shop fancy minimal 3 kali sehari~ makanya hidup rasanya deg-degan terus. Coba kalo pelihara Vario dan Ayla, 20 juta juga sudah bisa hidup sejahtera asal bisa ngaturnya!
Rumah kontrakan atau rumah yang diperoleh melalui KPR, yang merupakan penyedot utama penghasilan, usahakan jangan lebih besar dari 30%. Lho ya nggak masalah kalau gaji 20 juta, tapi siap ngos-ngosan nyicil rumah sebesar 15 juta per bulan selama 15 tahun demi dapat rumah seharga di atas 1 miliar. Paling konsekuensinya setiap hari harus puasa agar pengeluaran lainnya tidak terganggu. Risikonya lemes, syukur-syukur bisa sakti.
Uang itu luwes. Misal di tahun ini buruh meminta kenaikan UMR di DKI sebesar 4 juta, berarti itu angka yang layak (pantas) menurut ukuran mereka. Sementara kelas menengah kita banyak yang berpikir bahwa angka sebesar itu dipandang terlalu wah untuk mereka. Buruh pingin sebulan sekali beli Starbuck nggak boleh, pemborosan nggak perlu. Bolehnya beli Starling saja: “Starbuck keliling”.
Di Jakarta, kos di tengah kota dan ber-AC dengan bandrol 1-2 juta masih cukup banyak. Apalagi yang tanpa AC, jauh lebih murah. Apalagi kalau sedikit menjauh dari pusat kota. Sekali makan 10 ribu pun sudah kenyang. Namun, kalau UMR sebesar kota Jogja dan harus hidup di Jakarta, tanpa cuaca Ethiopia pun bisa jadi “neraka”.
Sekali tempo memang perlu diadakan program uji nyali, bukan ala dunia lain di stasiun televisinya Pak Chairul Tanjung (CT). Tapi, antara orang yang menganggap 20-30 juta itu bukan angka yang aman untuk hidup di Jakarta dengan buruh gaji UMR. Di hari kedua, saya pastikan orang yang ngos-ngosan dengan penghasilan 20-30 juta tersebut akan mengibarkan bendera putih. Hahaha.
Kalau saya sih pengin tukar nasib dengan Pak CT saja. Saya jadi CEO Trans Corp, beliau jadi tukang bikin status di Facebook. Yang ini, saya pastikan juga, di hari ketiga saya bakal nangis-nangis di Facebook…