Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Konsultasi Celengan

Gagal Wawancara Kerja Karena Terjebak Pertanyaan Gaji: Seberapa Spesial Sih Kamu Itu?

Haryo Setyo Wibowo oleh Haryo Setyo Wibowo
20 Juni 2019
A A
wawancara kerja MOJOK.CO
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Lulusan kampus ternama sering kalah bersaing dengan lulusan kampus “nggak jelas”. Kekalahan itu sudah terlihat ketika wawancara kerja dan ditanya mau minta gaji berapa.

Sahabat Celenger yang sudah nabung sejak kecil tapi uang tak kunjung menggunung,

Wawancara kerja bisa sangat menyiksa karena unsur subjektivitasnya tinggi. User bisa langsung memutuskan menolak hanya karena tampang kita seperti mantannya. Hih… Nyebelin! Apalagi kalau sudah sampai pertanyaan seputar penghasilan. Padahal, wawancara kerja tidak selalu berkaitan dengan benar dan salah, tapi juga soal hati. Maksudnya hati-hati….

Namun akui saja, sekolah, sampai saat ini, diyakini sebagai jalan terbaik yang dipilih manusia untuk mendapatkan pekerjaan. Ada pula yang menjawab sekolah adalah jalan mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, untuk mengisi waktu, bersosialisasi, menambah jaringan, dan bahkan agar ketemu jodoh. Namun, muaranya sudah hampir pasti, itu semua dilakukan untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus.

Tidak heran kalau sejak masih kanak-kanak sudah pada memproklamasikan cita-citanya dalam wujud profesi yang menghasilkan uang. Adakah dari ragam profesi yang disebutkan anak, mulai dari jadi polisi hingga astronot, bukan merupakan profesi yang mendapatkan uang?

“Oh, ya jelas ada, Om! Keponakan saya tuh ingin jadi super hero yang mempertahankan bumi dari serangan alien yang mengancam kelangsungan spesies manusia. Mulia sekali bukan?”

Itu jelas jawaban orang yang keracunan film, baik keponakan maupun omnya. Tidak bisa secara jelas membedakan mana keinginan untuk menjadi pemeran super hero atau benar-benar menjadi orang yang ingin bertarung dengan alien yang ingin memusnahkan manusia. Dalam benaknya belum terpikir apa yang lebih merisaukan para super hero setelah mereka menikah kelak.

“Mas Superman, ini beras tinggal untuk sarapan besok pagi. Mana parfum juga sudah tinggal sekali semprot. Belum setrikaan yang sudah nggak panas lagi. Maaf, makanya seragam terbangmu kurang alus. Izinkan mulai besok aku untuk bekerja lagi ya?” Superman, yang sedang terbang menuju sarang musuh, tiba-tiba langsung lemas setelah membaca Whatsapp seperti itu.

Realita seperti itu yang tidak dengan detail ditampilkan Hollywood. Seolah-olah, pahlawan super adalah manusia yang sudah selesai dengan dirinya; tidak butuh wawancara kerja lagi, tidak membutuhkan penghasilan, tidak membutuhkan asuransi kesehatan, tidak ingin membeli kendaraan sebagai penunjang aktivitas, dan hal-hal lain yang sifatnya materi.

Wajar sebenarnya kalau “cita-cita” hanya usaha untuk menitipkan idealisme pada satu jenis pekerjaan yang sebenarnya sangat berkaitan dengan menghasilkan uang. Sejak awal, mengenalkan cita-cita pada anak, secara metodologi sudah benar. Paling penting menonjolkan pada karya, bagaimana mereka bisa bermanfaat untuk orang lain. Bukan profesi mana saja yang menghasilkan banyak uang.

Sekarang tinggal kita lihat saja bagaimana desain pendidikan juga budaya orang Indonesia dalam mempersiapkan diri sebelum masuk ke kelompok usia produktif, juga pasar tenaga kerja. Umumnya, sebagian dari kita hanya memahami bahwa bekerja itu setelah kita lulus sekolah.

Oleh sebab itu, pikiran kita menjadi terlalu sederhana ketika melihat orang lain bisa sekolah atau kuliah sambil bekerja. Kebanyakan dari kita memandang mereka sebagai orang yang mandiri, ulet, dan memerlukan tambahan uang. Tidak lebih.

Kita melupakan hal yang teramat penting. Bekerja memerlukan latihan secara bertahap dan terus menerus. Maka tidak heran anak-anak muda di kota besar cenderung memiliki rasa percaya diri yang lebih tumpah ruah dibandingkan dari kota kecil. Mereka sudah lebih awal mempersiapkan diri terjun ke dunia kerja.

Saya pribadi dulu tidak berproses seperti itu, tetapi menjadi saksi bagaimana ketangguhan teman dari luar daerah yang bekerja paruh waktu. Merasa nyaman tinggal bersama orang tua, dan juga merasa kebutuhan sudah tercukupi sebenarnya keliru. Saat masuk kelompok usia produktif, sementara masih ada orang tua yang membiayai, sebenarnya merupakan media belajar bekerja yang ideal.

Iklan

Kita kerap menyorot kehidupan anak muda di barat hanya dari sisi kehidupan liarnya saja. Seks bebas misalnya, atau saat banyak dari mereka yang memutuskan keluar dari rumah begitu sudah kuliah. Ketika melihat keadaan seperti itu, kita juga kerap terjebak dalam simplifikasi yang tidak perlu.

Bekerja apa pun di sana itu enak; cuci piring pun akan dibayar mahal. Di sini, di negara +62, gaji dari cuci piring mana cukup untuk menambal keperluan mahasiswa?

Padahal, nilai moralnya bukan jenis pekerjaan, maupun kecukupan finansialnya. Nilai moralnya terletak pada bagaimana orang mendapatkan manfaat dari pengalamannya bekerja, mulai dari menghargai uang, meningkatkan kemampuan mengatur waktu, memperbaiki komunikasi dengan orang, dan usaha untuk membangun karier. Itu yang tidak didapatkan di bangku kuliah.

Maka tidak perlu heran kalau anak-anak muda dari universitas bergengsi di daerah, begitu masuk pasar tenaga kerja di Jakarta, mudah dilibas anak-anak muda dari universitas “nggak jelas statusnya”. Ya, katakan penyebutan itu berlebihan. Namun, profil sukses di Jakarta lebih ditentukan oleh jam terbang yang sudah tinggi jauh sebelum mereka lulus.

Seberapa spesial kamu ketika wawancara kerja?

Benar bahwa lulusan perguruan tinggi negeri jauh unggul kalau kita membicarakan dunia Ke-PNS-an. Rasanya memang tidak banyak lulusan swasta yang menjadi PNS, telanjur terkapling lulusan perguruan tinggi negeri (PTN). Namun, untuk urusan percaya diri dan kemampuan memvisualkan mimpi-mimpinya, anak PTN harus banyak belajar dari “anak swasta”.

Berangkat dari pengalaman, mereka lebih paham cara menghargai dirinya saat wawancara kerja. Sama-sama menjadi sales asuransi, misalnya, saat wawancara kerja mereka akan tahu berapa nilai yang disebutkan saat mendapatkan pertanyaan, “Anda mau gaji berapa?”

“Saat bekerja di PT X, saya mendapatkan gaji 15 juta di luar allowance dan bonus. Terakhir di PT Y, gaji saya sudah 20 juta. Saat ini yang lebih saya butuhkan, selain gaji 30 juta, mendapat COP, program kepemilikan mobil.”

Tangkas, percaya diri, riwayat pekerjaan jelas dapat ditelusur, dan pandai bernegosiasi ketika wawancara kerja. Padahal, disebutkan di lowongan kalau pekerjaan itu untuk fresh graduate dan S1 semua jurusan. Kualifikasi yang sepintas lalu dapat dipenuhi oleh semua orang.

Bandingkan dengan yang belum punya pengalaman, walaupun berasal dari universitas bergengsi dan tahu berapa gaji senior-seniornya yang telah sukses. Namun, saat menghadapi wawancara kerja dan ditanyakan mau minta gaji berapa, jawabannya akan tertatih-tatih dan sering harus bertanya balik.

“Boleh tahu standar gaji fresh graduate di sini, Bu? Pada dasarnya saya siap digaji sesuai kebijakan perusahaan. Siap ditempatkan di mana pun, dan siap memberikan kontribusi penting pada perusahaan.”

Untuk jawaban “ngambang kebingung-bingungan” ketika wawancara kerja seperti itu, kemungkinannya hanya dua. Pertama, Langsung ditolak. Kedua, diberi masa percobaan karena dipandang punya riwayat pendidikan bagus, dipandang secara psikologi memiliki potensi untuk jadi aset penting perusahaan, dan berasal dari universitas yang sama dengan usernya. Ya begitulah, keadilan itu memang hanya milik Tuhan. Hehehe…

Pernah juga ada satu kejadian di mana si pencari kerja yang berasal dari PTN ternama saat ditanya mau minta gaji berapa, jawabannya “Sebesar UMR saja.” Sementara kebijakan di perusahaan tersebut gaji untuk fresh graduate sebesar dua kali UMR. Sebagai orang Sunda, dia sepertinya terpukau pada satu tagline minuman yang legendaris, “Apa pun wawancaranya, jawabannya teh UMR.”

Ini belum kalau diberlakukan zonasi di dunia kerja. Semua lowongan di Jakarta hanya boleh diisi penduduk DKI, termasuk gubernur yaaa. Kalian yang di daerah akan semakin menangysss.

Terakhir diperbarui pada 20 Juni 2019 oleh

Tags: fresh graduategajiumrwawancara kerja
Haryo Setyo Wibowo

Haryo Setyo Wibowo

Artikel Terkait

Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO
Ragam

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Gaji pertama membuat beberapa orang menangis MOJOK.CO
Ragam

Momen Terima Gaji Pertama bikin Nangis dan Nyesek di Antara Perasaan Lega

14 November 2025
UMR Jogja 2025 Sungguh Menyiksa, Fresh Graduate Stres MOJOK.CO
Esai

Fakta Penderitaan Fresh Graduate di Jogja: Harus Double Job Hanya Demi Bisa Hidup Layak dan Menabung Mengingat UMR Jogja 2025 Ini Terlalu Menyiksa

7 Oktober 2025
Sesal fresh graduate selama mahasiswa tak pernah magang, pas lulus kuliah kalabakan karena tak tembus lowongan kerja MOJOK.CO
Ragam

Penyesalan Tak Pernah Magang: Lulus Jadi Fresh Graduate “Kosongan”, Kelabakan Puluhan Kali Ditolak Kerja hingga 2 Tahun Jadi Pengangguran

19 September 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.