MOJOK.CO – Sebagai pemimpin di lingkungan terkecil dalam sebuah negara, tugas Pak RT tidak mudah. Apalagi sebagai admin Grup Whatsapp menjelang Pilpres.
Suatu hari, saya sedang mencabuti rumput di depan rumah. Lalu, saya didatangi oleh seorang pria. Beliau memperkenalkan diri sebagai Pak RT. Setelah chit-chat, Pak RT menanyakan nomor hape saya.
Besoknya, saya sudah diundang oleh Pak RT ke grup WhatsApp Perumahan yang beliau kelola. Pak RT jadi admin di grup WhatsApp itu. Saya yang bergabung ke dalam grup tersebut, menandakan telah diakuinya saya sebagai warga.
Saya jadi mikir, apabila suatu hari, saya bikin onar di grup, lalu di-kick oleh Pak RT. Apakah itu sama saja dengan pemuda yang diusir dari kampung?
Berkat grup Whatsapp, warga perumahan merasakan manfaatnya. Pedagang tidak perlu keliling kampung untuk menjajakan jualannya: cukup upload foto di grup, ketemu calon pembeli, lalu bisa COD. Warga yang butuh informasi pun bisa bertanya di grup, lalu dijawab warga lain.
Tugas Pak RT dalam penyebaran informasi menjadi lebih ringkas dan mangkus. Cukup sekali bikin pengumuman di grup Whatsapp, semua warga yang online bisa baca. Sebaliknya, warga yang punya uneg-uneg juga bisa langsung melayangkan protes di grup.
Namun, menjadi Ketua RT dan admin grup WhatsApp Perumahan adalah dua hal yang berbeda. Tidak mudah mengatur jari anggota grup yang jumlahnya 250 kontak. Apalagi kalau mereka mengirim pesan bersamaan dalam satu waktu. Kalau yang dipakai install Whatsapp adalah hengpon jadul, bisa nge-hang saat itu juga.
Suatu ketika, pernah terjadi gelombang protes dari beberapa warga. Mereka mempersoalkan tentang masalah sampah yang belum diangkut petugas kebersihan.
Mpok Minah: “Maaf, bukannya mau nuntut, bukannya mau protes. Tapi, maaf, sampah di depan rumah saya kapan diangkut, Pak RT? Maaf, baunya udah kecium sampai ke kampung sebelah.”
Mpok Oneng: “Mpok Minah masih mending dapat tong sampah. Lha saya? Buang sampah aja mesti ke rumah tetangga di blok depan.”
Mpok Leha: “Saran aja nih Pak RT. Sebaiknya setiap warga dapat satu tong sampah. Soalnya tong sampah di rumah saya jadi penuh karena warga lain numpang buang sampah di situ.”
Mpok Hindun: “Iya nih Pak RT. Saya juga belum ada tong sampah. Kapan Pak RT mau ke rumah?”
Pak RT: “Jangan tanyakan apa yang Pak RT berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada Pak RT.”
Mpok Oneng: “Maksudnya, apa itu, Pak RT? Saya nggak ngerti.”
Pak RT: “Ngerasa udah bayar iuran sampah, belum?”
Mpok Oneng: “Saya nggak mau bayar iuran sebelum saya dikasih tong sampah di depan rumah.”
Mpok Leha: “Kalau mikirnya begitu, gimana mau beres ini masalah sampah. Bayar kewajiban dulu, baru meminta hak.”
Mpok Minah: “Maaf, bukannya sok tahu, bukannya sok pinter, tapi maaf saya setuju sama Mpok Leha.”
Mpok Hindun: “Pak RT, saya mau bayar iuran sampah nih. Pak RT bisa ke rumah hari ini?”
Pernah juga ada warga kesurupan yang minta dicarikan ustad. Namun, Pak RT saat itu AFK (away from keyboard).
Mpok Minah: “Maaf, ada yang punya kenalan ustad? Maaf, anak saya, Sahili, kesurupan.”
Ucup: “Ada temen saya yang bisa bahasa Arab, mungkin bisa bantu.”
Ucup mention Sa’id.
Sa’id: “Ane emang bisa bahasa Arab, tapi ane bukan ustad, Cup. Coba Sahili dibawa ke acara ‘Siraman Qalbu Bersama Ustad Dhanu’ aja.”
Seperti Avatar, Pak RT menghilang saat dibutuhkan. Pak RT masih belum nongol juga ketika terjadi sesuatu yang lebih buruk dari warga kesurupan: warga debat tentang pilpres.
Inilah beban berat pemimpin di lingkungan terkecil dalam sebuah negara: mendamaikan warga yang berbeda pilihan capres. Warga yang disatukan Pak RT dalam grup Whatsapp, akhirnya dipisahkan oleh pilpres.
Pak Yanto upload meme tentang nomor 01 dua periode. Pak Yadi membalasnya dengan #2019GantiPresiden. Pak Yadi menuduh Pak Yanto dukung petahana karena takut dipecat. Pak Yanto berkilah karena pilihannya sudah terbukti kerjanya. Pak Yadi menyindir, “Buat apa kerja? Kalau yang nganggur aja nanti digaji.” Kemudian hoaks demi hoaks dilemparkan ke grup Whatsapp. Black campaign pun turut meramaikan.
Seorang warga bernama Mila yang menjadi guru PAUD mencoba mencairkan suasana dengan membagikan foto-foto keseruan muridnya yang belajar sambil bermain di PAUD dekat musala perumahan. Tampak bocah-bocah pakai baju tentara memamerkan kerajinan tangan masing-masing.
Namun, bagi bapak-bapak yang sudah kebelet merayakan capres jagoannya memenangi pilpres, menganggap hal itu sebagai pariwara belaka.
Ucup kesal melihat dua bapak-bapak di atas debat kusir. Saking kesalnya, Ucup sampai mengubah nama grup yang semula “Warga Perumahan” menjadi “Forum Debat Capres”.
Setelah itu, warga berduyun-duyun meninggalkan grup. Mungkin mereka merasa salah kamar.
Ucup: “Tuh kan banyak yang left. Ini gara-gara Pak Yanto sama Pak Yadi ribut copras-capres melulu, sih. Nggak usah bahas politik di grup. Fungsi grup ini sebagai ajang silaturahmi dan berbagi informasi. Makanya, lihat deskripsi grup.”
Sa’id: “Eh, Cup. Nggak ada salahnya bahas politik di grup. Kata paman ane yang di Cisarua, silaturahmi memang penting, tapi melek politik juga penting.”
Ucup: “Ya, tapi karena bahas politik, tali silaturahmi jadi terputus. Bukannya lebih baik kita menghindari pembahasan yang mengundang keributan?”
Sa’id: “Berpolitik itu hak setiap warga negara. Termasuk warga dimari.”
Ucup: “Bedakan berpolitik sama bahas politik. Yang kalian lakukan di atas itu bahas politik. Kalau mau berpolitik, sono nyalon.”
Sa’id: “Ane kan udah botak, Ucup!”
Ucup: “Nyalon jadi caleg, Onta. Bukan nyalon di Salon Mpok Oneng.”
Yang semula hanya debat pemilu di grup, akhirnya perdebatan melebar tentang perlu atau tidaknya membahas politik di grup.
Sementara itu, Pak RT masih offline.
Kalau pun nanti Pak RT online dan melihat keributan itu, tidak banyak yang bisa dilakukannya. Mengeluarkan warga yang debat politik dari grup Whatsapp, bukanlah langkah politis yang populer. Bisa-bisa Pak RT dicap fasis, lalu mulai muncul kampanye di perumahan: #2019GantiKetuaRT.