MOJOK.CO – Dari quick count, Gibran dan Bobby unggul jauh dari lawan-lawannya di pilkada. Wah, saatnya kasih selamat ke Pak Jokowi nih.
Salam, Pak Presiden Joko Widodo yang selalu dirahmati Tuhan Yang Maha Esa.
Sebelumnya perkenalkan, Pak Jokowi, saya adalah orang yang dikelilingi para pemuja Bapak di sini. Baik ketika Bapak pakai kemeja kotak-kotak, sampai baju putih bersih nan mbois.
Bagaimana kabar Bapak? Semoga senantiasa diberikan tubuh bakoh dan kokoh ya, Pak?
Nggak seperti saya dan lingkungan. Terhitung sampai tanggal 9 Desember 2020, sudah ada tiga orang terdekat di rumah saya yang dinyatakan positif Covid-19. Biarkan saya dan lingkungan sekitar saya saja yang menderita, Bapak dan segenap jajaran jangan sampai merasakan apa yang kami rasa ya, Pak. Jangan.
Sudah sarapan, Pak, pagi ini? Semoga sudah ya?
Jangan seperti orang-orang di sekitar rumah saya ya, Pak. Mosok to, Pak, ada yang kesulitan mencari uang sampai anak-anaknya terlantar. Bahkan sampai melibatkan warga sekitar. Mereka saling bahu-membahu memberikan santunan. Bantuan sosial dari Bapak—atau dari negara—malah nyasar ke orang-orang yang punya mobil meling-meling.
Sungguh aneh kan, Pak? Tapi lupakan saja. Itu nggak penting. Yang penting pilkada tahun ini bisa berjalan dengan lancar jaya. Begitu kan, Pak?
Gini, Pak Jokowi. Saya hanya ingin mengucapkan selamat, Pak. Sebuah ucapan yang paling tulus dan ikhlas menyambut selesainya pilkada. Sebuah ucapan yang bahkan sampai bikin saya menitikkan air mata buaya kala mengetik surat ini.
Akhirnya, jejak langkah Bapak Jokowi yang ngosak-ngasik perpolitikan negeri ini diikuti juga oleh anak dan mantu (yang menurut quick count setempat sudah unggul jauh dari lawan-lawannya dan diprediksi kuat bakal menang pilkada).
Bangga, Pak? Harusnya berbangga dong. Bapak mana yang nggak bangga lihat anaknya sukses di dunia.
Saya jadi teringat bapak saya yang teriak di tengah lapangan ketika saya diterima masuk SMP negeri di Jogja. Maklum lah, Pak, itu bentuk ekspresi rasa bangga bapak saya saja. Cara merayakan “kemenangan” rakyat jelata di sudut Bantul yang nggak perlu Pak Jokowi tiru tentu saja.
Oke, barangkali dari kemarin sore sampai pagi ini Pak Jokowi dicitrakan sedang membentuk politik dinasti lewat pilkada oleh berbagai media? Sudah, Pak, jangan didengar. Bapak baca ini saja, sebuah tulisan yang saya jamin nggak bakal bikin hati Bapak sakit.
Pun nggak mengurangi euforia kemenangan Mas Gibran dan Bang Bobby. Tenang saja, saya ada di pihak Pak Jokowi tanpa bayaran dan cicilan laiknya buzzer istana kok. Santai aja.
Lagian, saya sungguh maklum jika cara “nebeng nama besar Jokowi” memuluskan langkah Mas Gibran dan Bang Bobby di pilkada. Apalagi Bapak sekarang masih menjabat sebagai presiden di negeri yang katanya tongkat dan batu bisa jadi tanaman ini.
Bahkan, konon prestasi Mas Gibran dan Bang Bobby ini jadi sebuah rekor: presiden pertama yang anak plus menantunya sukses jadi kepala daerah pada periode yang bersamaan. Rekor yang baik tentunya.
Syukur, Pak. Saya ikut bersyukur.
Terus perayaan apa yang hendak dilaksanakan, Pak? Adu banteng seperti di Spanyol? Atau arak-arakan seperti Liverpool yang waktu itu menjuarai Liga Champions?
Ah, itu urusan Bapak dan segenap jajaran partai yang bersuka cita, gegap gempita, dan riang gembira. Saran saya hanya satu, Pak, semoga amanah. Itu.
Soalnya ya, Pak Jokowi, kontestasi pilkada tahun ini diadakan ketika pandemi. Ketika Bapak berkali-kali muncul di televisi, iklan layanan masyarakat, dan tempat-tempat publik lainnya memberikan woro-woro stay at home, di rumah saja, hingga jargon-jargon wangun lainnya. Urusan jargon, ah, Bapak dan jajaran ahlinya.
Ketika masyarakat masih bersembunyi dalam duka bernama pandemi Covid-19, ketika tenaga kesehatan berjibaku di garda terdepan, pilkada seakan pilihan wahid untuk tetap diadakan.
Menangis saya mengetik ini, Pak. Bapak sungguh presiden sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Bahkan kinerja Bapak, ditetapkan untuk masyarakat seperti saya: kerja, kerja, kerja.
Dengar-dengar ada panitia khusus pilkada yang mendatangi pasien Covid-19 di rumah sakit dan tempat karantina ya, Pak? Wah, kalau begitu harusnya asas-asas pemilu bukan hanya LUBER dan JURDIL, Pak. Tambah satu lagi, yakni BAJINGAN. Akronim dari bawa janji di kerongkongan.
Bawa janji-janji peserta kontestasi, walau nyawa sudah sampai kerongkongan. Nyawa urusan belakangan karena yang terpenting adalah kemenangan.
Bukan begitu, Pak? Ya anggap saja begitu. Toh Bapak juga nggak perlu setuju sama rakyat jelata kayak saya kok.
Lagian, sudah terbukti kiprah Mas Gibran di pilkada dalam hitung cepat jauh unggul dari “wong cilik” yang merupakan kompetitornya. Sukses besar, Pak. Sukses. Mashoook.
Lha ya ini ibaratnya Emyu lawan Persiba Bantul je, Pak, Pilkada Solo itu.
Sejelek-jeleknya Emyu yang kayak sekarang, ketika bersua Persiba yo jelas beda kualitas. Untungnya Gibran, eh, maksud saya Emyu nggak ketemu lawan sepadan, kayak Celsi atau Siti misalnya.
Daripada menang lawan kotak kosong to ya, Pak? Blas nggak ada hormat-hormatnya. Tapi ya jauh lebih wagu kala menang lawan calon non-partai sih, Pak. Tapi ya begitulah roda nasib calon politisi. Kadang di tangan Tuhan, kadang di tangan partai.
Toh kualitas dan pengalaman Gibran sebagai pejabat itu bagus. Buktinya saja… bentar saya searching dulu di Google…. anu, besok saya akan melengkapi kolom ini, Pak. Jika Gibran sudah ada prestasi jadi kepala daerah nanti tentunya.
Apalagi Bang Bobby, menantu Pak Jokowi yang super-keren di Pilkada Medan itu. Makin moncer lagi.
Menikah saja dirayakan satu negara. Saya kira blio bakal jualan risoles, tahu bulat, atau cakwe. Ngikutin bisnis kuliner Mas Gibran dan Mas Kaesang gitu. Weladalah, jebul blio daftar juga jadi pemimpin daerah.
Saya pun nggak ragu dengan kualitasnya. Sungguh. Pak Jokowi ini saya lihat-lihat jago juga sebagai pencari bakat yang lihai, bisa memantau mantu yang sudi terjun ke ranah politik.
Saya pun yakin pilihan Bapak tidak pernah meleset. Saya yakin itu.
Kayak milih Terawan sebagai garda nomer satu melawan pandemi misalnya. Lihat saja efek yang dihasilkan.
Benar, Pak, Terawan adalah salah satu menteri yang menghasilkan banyak meme di media sosial. Dan ini sangat bagus untuk meningkatkan imunitas masyarakat di negeri gemah ripah loh pandemi ini.
Ingat, Pak, dijadikan bahan meme itu adalah prestasi ketika menteri kesehatan di negara lain berdarah-darah. Itu kan mainstream. Biasa. Normal. Nggak wangun. Ya mbok nge-indie gitu loh kayak Terawan. Beda dari yang lain.
Pun pilihan Bapak yang kasih jabatan Mensos ke Juliari Batubara. Anak emas partai yang sempat jadi DPR dari Dapil I di “kandang banteng” alias Jawa Tengah. Orang ini dibilang kurang ajar sih nggak sampai hati ya, Pak. Barangkali keblinger. Nah, itu kata yang tepat.
Ketika masyarakat melawan pandemi dengan kembang-kempis, blio malah dapat jatah potongan 10 ribu dari tiap bansos dengan mawis-mawis ke pemenang tender. Woalah, lamis tenan, lamis tenan.
Eh, semua ini Bapak Jokowi kan yang memantau dan mencari bakat pejabat gemilang itu tadi?
Nggak mungkin ah kalau Ibu Megawati yang menentukan. Lagian Bu Mega juga sudah saatnya istirahat di rumah, menikmati madu perjuangan yang selama ini blio kejar sampai tinggi.
Pak Jokowi nggak bosan kan membaca ini? Saya ngetik ini di sela-sela kesibukan makani lele lho, Pak. Sambil ngurus sayur yang gagal panen karena hujan deras di bumi Yogyakarta, dan berjualan kembang.
Ya gimana ya, Pak, saya sadar bahwa saya bukan anak presiden. Pun saya bukan mantu presiden.
Kalau saya daftar jadi kepala dukuh atau lurah, ya remoook saya karena politik dinasti di daerah saya sekental susu cap enak. Lagian saya juga nggak punya nama besar keluarga yang bisa saya jadikan modal untuk naik kontestasi. Jadi ya harap maklum kalau akses kualitas saya segini-segini aja.
Ah, saya sudahi dulu surat ini, Pak. Takut ganggu waktu Bapak yang lagi senang-senangnya. Jangan lupa istirahat, Pak. Kalau capek atau pegel-pegel, boleh lho Pak saya kerokin kapan-kapan. Ya, siapa tahu bisa nostalgia jadi wong cilik lagi kaaan?
Btw, selamat ya, Pak, sukses terus buat oligarkinya keluarganya.
Tabik.
BACA JUGA Yang Tidak Disadari Megawati Saat Izinkan Bobby Nasution dan Gibran Jadi Politisi dan tulisan Gusti Aditya lainnya.