Pemerintah Maluku Utara berencana membangun sebuah kebun binatang terbesar se-Indonesia timur di Halmahera. Kebun binatang itu akan menampung segala macam binatang-binatang endemik dari seluruh Nusantara.
Rencana tersebut disambut gembira oleh masyarakat. Pemerintah lalu melakukan survei minat. Hasilnya, gajah jadi binatang yang paling diminati. Tentu saja, karena gajah tidak ada di Indonesia timur.
Untuk kepentingan promosi dan sosialisasi, pemerintah lalu mengadakan berbagai perlombaan. Salah tiga jenis lombanya adalah menyuruh gajah berdiri, bikin gajah menggelengkan kepala, dan buat gajah menangis.
Seekor anak gajah didatangkan dari Sumatra. Peminat lombanya membeludak, mereka datang tak hanya dari Halmahera, tapi dari penjuru Indonesia lainnya. Namun, setelah seleksi, hanya dipilih tiga orang peserta lomba. Ada Safar yang datang dari Banggai, Geril dari Gorontalo dan Maruf asal Halmahera. Mereka bertiga akan berkompetisi memenangkan perlombaan ini.
Menyuruh Gajah Berdiri
Lomba pertama adalah membuat gajah berdiri. Si gajah duduk di tengah lapangan. Peserta lomba, apa pun caranya, jika berhasil membuat si gajah berdiri, ia pemenangnya.
Geril sebagai bekas pekerja di kebun binatang Ragunan Jakarta dengan sombongnya maju duluan. Ia lalu memberi berbagai macam instruksi kepada gajah. Sayang, gajahnya enggan berdiri. Saking kesalnya, ia menampar sang gajah. Geril menyerah.
Lalu si Safar, nelayan berbadan kekar ini maju setelah Geril. Ia mencoba mengangkat sang gajah, mendorongnya, bahkan meninju kaki si gajah. Tetap saja gajahnya enggan bergerak. Safar mengaku kalah.
Terakhir giliran Maruf. Pria kurus putus sekolah ini pun maju sembari berpikir. “Wah kita harus cari akal ini. Kita tra pengalaman deng gajah nih, Safar yang badan basar saja tra bisa angka nih gajah.”
“Ahaaa!” teriak Maruf menemukan ide.
Maruf lalu berjalan ke belakang si gajah, kemudian meraba lalu mencubit si gajah punya “perkakas” dengan kuku tajamnya. “Napa rasa ngana eee!”
Kaget, si gajah langsung meloncat berdiri berteriak.
Maruf pun memenangkan lomba ini.
Menyuruh Gajah Geleng Kepala
Lomba selanjutnya adalah membuat gajah mengelengkan kepalanya. Peraturannya masih sama, semua bebas menggunakan cara apa pun.
“Ceh ini gampang saja,” kata Geril yang merasa berpengalaman sebagai instruktur kebun binatang sombong. Geril lalu maju ke depan dan memberi instruksi dan kode-kode. Sedikit pun si gajah enggan menggelengkan kepala. Bahkan walau sudah dirayu dengan kacang. Jangan harap.
“Memang e gajah pe anak ini kabaratang bagus lagi e,” ucap Geril sambil menyerah.
Lalu maju si Safar dan langsung menarik hidung si gajah kiri ke kanan. Tapi sama saja, cuma hidung, kepalanya tidak bergerak. Emosi, Safar meninju si gajah. Namun percuma, dengan kulit setebal itu gajah tidak merasa sakit. Akhirnya ia menyerah lagi.
Maruf masih duduk diam mencari akal.
Setelah beberapa saat, ia berdiri lalu berjalan menuju ke arah gajah, kemudian berbisik ke telinga gajah, “Woe, ngana mau kita cubit ngana pe gosi (“perkakas”) lagi?”
Si gajah dengan spontan menggelengkan kepalanya sambil berteriak, yang jika di-translate artinya, “Ampooong jangaaannnn!!!”
Maruf kembali memenangkan ini lomba kedua.
Membuat Gajah Menangis
Pada kompetisi terakhir ini tersisa dua peserta, yakni Maruf dan Safar. Geril memilih pulang Gorontalo karena merasa sia-sia dengan pengalamannya itu.
“Pulang jo kita, napa pe gampang-gampang tadi saja tara mempan. Apalagi mo bikin ni binatang manangis. Keode !” ucapnya pada panitia.
Safar berpikir, pada perlombaan terakhir ini ia harus memenangkannya. Dengan kekuatan yang telah disiapkan, Safar memilih akan menghajar habis-habisan si gajah sampai menangis.
Ia kemudian maju dan langsung fight. Berjurus-jurus tendangan dan pukulan ia hantamkan tanpa jeda. Rentetan pukulan pokoknya. Namun, si gajah diam saja. Jangankan menangis, bergerak pun tidak.
Sekitar 20 menit menghajar si gajah, kelelahan bermandi keringat, Safar akhirnya menyerah.
Tiba giliran Maruf. Maruf kurus lalu maju ke depan. Mendekati telinga gajah, ia lalu berbisik, “Woe, gajah. Kasiang, ngana pe nene so meninggal ….”
Mendengar kabar itu, si gajah langsung menangis tersedu-sedu ingat neneknya.
“Mampos, ngana e dapa tipu turus,” gumam Maruf sambil tertawa.
Maruf akhirnya menjadi pemenang lomba. Sejak saat itu Maruf jadi populer. Ia menjadi perbincangan hingga ke pelosok Halmahera dan diberi julukan “Si Kurus Penakluk Gajah.”
***
Antusias masyarakat menyambut pembangunan kebun binatang masuk hingga sekolah-sekolah. Salah satu sekolah di Halmahera Selatan bahkan menerapkan aturan bermain tebak-tebakan nama binatang sebelum pulang sekolah.
“Oke, anak-anak, sebelum pulang torang bermain tebak-tebakan nama binatang e.”
“Iyooo, Ibu Guru!” jawab anak-anak serentak.
“Kalo bagitu, coba tebak nama binatang dengan huruf pertama G?”
Ungke dengan cepat mengangkat tangan dan teriak, “Gajah! Gajah! Gajah, Ibu!”
“Iya, Ungke benaar. Seratus. Sekarang, sapa bisa tebak nama binatang dengan huruf pertama M?”
Semua anak diam mencari jawaban. Dua menit berlalu, anak-anak masih saja diam.
“Mungkin gajah, Ibu! Mungkin gajah, ibu!” jawab Ungke memecah keheningan, disambut tertawa oleh anak-anak.
“Ungke, ngana kaluar! Bikin tamang-tamang baribut saja,” perintah Ibu Guru sambil menenangkan anak-anak lainnya.
“Oke, anak-anak, ini yang terakhir sebelum torang samua bubar. Sapa bisa tebak nama binatang dengan huruf pertama J?”
“Jangan-jangan gajah, Ibu! jangan-jangan gajah, Ibu! Jangan-jangan gajah, Ibu!” teriak Ungke dari jendela.