Setiap memasuki bulan puasa Ramadan, di beberapa daerah di Jawa terdapat tradisi padusan.
Biasanya tradisi ini dilakukan oleh masyarakat dengan mendatangi sumber mata air murni dan kemudian di sana mereka melakukan bersih diri, membersihkan badan dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Tradisi ini bertujuan untuk membersihkan diri baik secara lahir dan batin guna menyongsong datangnya bulan Ramadan.
Ada banyak tafsir dan makna bisa diberikan seputar pelaksanaan padusan ini, di luar kontroversi yang menyertainya, misalnya tentang apakah aktivitas itu ada dalilnya atau tidak, juga kontroversi benarkah tradisi tersebut dulunya diinisiasi oleh Wali Songo atau bukan.
Secara umum sebenarnya aktivitas “pembersihan diri” sebelum menjalani laku sakral keagamaan ini dapat ditemukan dalam berbagai agama. Dalam Islam, ritual yang tegas menunjukkan hal ini adalah wudu, mandi wajib, maupun tayamum.
Dalam dunia tasawwuf, dikenal tahapan takhalli-tahalli-tajalli. Ketiga tahapan ini menegaskan bahwa proses menuju Allah itu harus diawali dengan takhalli (pengosongan/pembersihan), kemudian tahalli (pengisian dengan aneka kebaikan) untuk nantinya membuahkan tajalli, ketercerahan.
Tentu saja takhalli yang dimaksud dalam tradisi sufisme ini tidak berarti sekadar membersihkan badan dari hadas dan najis, namun lebih dalam yang dimaksud adalah pembersihan batin dari segala kotoran dan cela.
Itulah mengapa di hampir semua tahapan laku dalam tasawuf (maqamat) hal pertama yang harus dilakukan adalah “tobat”.
Tobat adalah langkah pertama sebagai pembersihan diri, sebelum seseorang menjalankan tahapan suluk yang lainnya, karena dalam tobat, seseorang menyesali segala kesalahan yang sekaligus menbuang jauh semua kekotoran perilaku yang telah dilakukan sebelumnya.
Menarik logika “membersihkan” ini, jika dilihat dengan perspektif mistisisme Jawa, maka kita akan menemukan kategorinya dalam dua macam, yaitu wadah dan isi.
Wadah merepresentasikan alam, tubuh, rakyat maupun syari’at; sementara isi merepresentasikan Tuhan, ruhani, raja dan hakikat. “Bersih-bersih” wadah penting dilakukan sehingga layak menerima isi.
Mengapa wadah harus dibersihkan sebelum diberi isi? Mengapa harus takhalli dulu sebelum tahalli?
Karena wadah yang kotor, ketika diisi dengan sesuatu yang bersih, maka kotornya wadah tersebut akan mencemari isinya.
Kalau jiwa sedang gelap dan kotor, kemudian tanpa dibersihkan diisi dengan kebenaran-kebaikan, kemungkinan besar kebenaran-kebaikan tersebut akan tercemari oleh kekotoran jiwa.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menyaksikan betapa seseorang yang memiliki ilmu tinggi, wawasan yang luas, namun perkataan atau perbuatannya ternyata tidak menjadi sumber manfaat atau maslahat, namun justru menjadi sumber masalah dan mudharat.
Lebih jauh karena ilmu yang dimilikinya, ia mampu mengajukan dalil pembenar bagi kekacauan dan mudharat yang dibuatnya. Dalam contoh ini, ilmu yang murni dan jernih dimanfaatkan untuk kepentingan yang kotor atau untuk mendukung pandangan yang merusak.
Kemungkinan semacam ini dapat terjadi tidak selalu karena ada bias kekotoran dalam ilmu yang dipelajarinya, namun sering terjadi justru karena jiwa orang ini sedang kotor.
Sering pula kita saksikan perbuatan-perbuatan baik atau amal yang terpuji, namun dipergunakan untuk tujuan yang kotor dan tidak terpuji. Tidak jarang pula kita saksikan kalimat-kalimat indah bijaksana yang dipergunakan untuk menyindir, menyerang dan menyakiti orang.
Bahkan tidak mustahil terjadi ajaran-ajaran agama yang penuh cinta dan kasih sayang sesama, digunakan sebagai senjata untuk melakukan kekerasan, kerusakan dan kezaliman.
Dalam kasus semacam ini, tentu saja bukan perbuatan baik tadi memiliki sisi cela, atau kalimat-kalimat bijaksana tadi ternyata palsu, atau agama yang penuh kasih-sayang itu ternyata salah, namun justru jiwa pemakainya-lah yang sedang gelap dan kotor.
Ritual-ritual pembersihan diri sebagaimana wadu atau mandi yang dijelaskan di atas, secara hikmah dapat dikatakan merupakan tanda dan isyarat pembersihan diri (baik lahir maupun batin) dari kekotoran-kekotoran jiwa yang menutupi.
Jangan sampai kita memasuki ranah sakral-suci dengan jiwa yang masih kotor bergelimang nafsu duniawi, apalagi jika kemudian kita kontaminasi kesakralan itu dengan segala kepentingan dan keinginan kotor kita.
Tradisi padusan sebelum Ramadan sebagaimana disebut di atas semoga bisa membantu membangkitkan kesadaran pembersihan diri, sehingga lahir-batin bersih memasuki bulan Ramadhan.
Semoga kita menjalani puasa dalam kondisi jiwa yang relatif bersih, sehingga mampu mempersembahkan puasa Ramadan yang utuh, jernih, hanya kepada Allah saja, tidak terkotori oleh aneka ambisi duniawi atau kekotorann hati.
Puasa yang diwarnai oleh aneka kekotoran hati tentunya tidak akan berbuah takwa dan kehilangan buah manfaat-maslahatnya. Dalam diri seorang yang sombong-tinggi hati puasa bisa menjadi sarana menunjuk-dada dan membanggakan kesalehan diri.
Dalam diri seorang iri-pendengki puasa bisa menjadi jalan untuk merendahkan dan menyakiti orang lain yang dibenci. Dalam diri seorang tukang pamer, puasa bisa menjadi sarana melakukan riya’, memamerkan keunggulan diri. Dalam diri seorang pendulang suara massa, puasa bisa hanya jadi sarana untuk membangun citra.
Maka, sebelum Ramadan tiba bersihkan wadahmu sebelum diisi puasa dan ibadah lainnya.
Sepanjang Ramadan, MOJOK menerbitkan KOLOM RAMADAN yang diisi bergiliran oleh Fahruddin Faiz, Muh. Zaid Su’di, dan Husein Ja’far Al-Hadar. Tayang setiap waktu sahur.