“Guru Pendidikan Kewarganegaraan kok nggak nasionalis begini?” tanya seorang sejawat saat saya tidak telalu bersemangat mengikuti ajakan mereka untuk upacara dan karnaval 17 Agustus.
“Ukuran nasionalis kok cuma setinggi tiang bendera?”
Saya mulai menerawang. Saya nggak pernah punya ingatan yang wah atau heroik tentang 17an. Apalagi di bagian upacara benderanya.
Saya belum tahu di mana letak nikmatnya ketika toa sekolah mengumumkan, “Kepada seluruh siswa, esok hari kita akan mengikuti upacara bendera 17 Agustus di lapangan merdeka”. Karena setelahnya saya bakal langsung tepok jidat sambil pengin nangis, “Waduh, besok bakal merasakan penderitaan dijemur setengah harian.”
Teman-teman saya di salah satu komunitas malah sebaliknya. Padahal kalau saya perhatikan dari gaya mereka yang urakan, saya membayangkan pendapat mereka tentang 17-an, ‘Ah, apaan itu … nggak penting’. Apalagi kami yang di Aceh ini pernah merasakan hidup di masa konflik, merasakan represi negara sekian lama sebagai Daerah Operasi Militer.
Eh, mereka malah bilang, “Wah, dulu kita semangat sekali menyambut 17-an. Sehari sebelum upacara, baju malah suda disetrika rapi.” Tapi waktu saya tanya kenapa, mereka hanya menjawab, “Ya, semacam ngikutin pesta rakyat … senang betul kita melihat keramaian”.
Saya jadi mikir, ini soal nasionalisme atau apa sih?
Memang, kalau ada yang senang 7 Agustus-an karena ada panjat pinang dan macam-macam perlombaan, itu lebih mudah saya pahami dibanding orang yang beretorika nasionalisme—yang begitu ditanya apa itu nasionalisme, jawabannya nggak jelas-jelas amat. (Mirip-mirip orang yang ditanya kenapa senang kedatangan bulan Ramadan dan jawabannya selalu retorika religiusitas yang gimana-gimana, gitu. Padahal seneng aja ngebayangin bakal ada makanan super enak setiap buka puasa dan lebaran, main petasan, asmara subuh dan beli baju baru, serta selebrasi yang hanya bisa dijumpai di momen itu.)
Saya belum pernah merasakan acara seremonial berkedok nasionalisme dan patriotisme itu bisa meningkatkan rasa cinta tanah air, apalagi yang levelnya sampai mendarah-daging. Belum dapet feel-nya kali, ya.
Ingatan saya tentang upacara bendera benar-benar adalah ingatan yang nggak ada manis-mansinya. Berbaris dengan rapi selama berjam-jam di bawah terik matahari sambil mendengar teks dan pidato upacara yang itu-itu saja. Situ enak, dapat undangan duduk di podium VIP, terlindungi dari sinar UV—kulitmu nggak bakal tambah hitam dan kusam, apalagi pingsan.
Nah, justru yang paling saya ingat ya urusan pingsan itu. Di sekolah dulu, kalau lagi upacara upacara, saya heran betul kenapa ada siswa-siswi yang bukan hanya pingsan, tapi bahkan sering kesambet. Dan itu seringnya memang terjadi di momen-momen upacara bendera, entah itu hari Senin atau 17-an. Hal yang belum tentu kejadian di tempat dan waktu lain.
Makanya nggak heran kalau mobil ambulance dan PMI suka siaga satu di hari upacara. Yang pingsan dan didatangi roh, bisa ngadem di situ. Yang kuat jasmani dan rohaninya bisa sekalian donor darah (Ini malah sumbangsih yang jelas sebagai warga negara).
Apa jangan-jangan arwah para pahlawan lagi pada protes? Teman-teman saya kan banyak juga dari kalangan yang kurang mampu. Yang kadang harus mengikuti upacara bendera dalam keadaan perut lapar, tapi disuruh menyanyikan lagu kemerdekaan, lalu pingsan atau kesambet.
Jangan-jangan arwah para pahlawan itu kesal karena hal-hal seperti ini. Mereka dulu capek berjuang mengusir penjajah agar kita dapat menentukan nasib kita sendiri, lha kok cuma diperingati dengan cara beginian. Dengan perut lapar pula. Kalau saya jadi mereka, pasti juga bakal tersinggung. Mau beristirahat di alam kubur pun nggak bisa lelap.
Daripada mengajari dan meminta siswa menjemur diri menghormati simbol dan tiang bendera, kenapa tidak ajarkan saja mereka secara massif tentang kemanusiaan dan keadilan (begitulah tertulis di sebuah meme), agar siswa-siswa kita tidak lagi kesambet arwah para pahlawan setiap upacara bendera.
Dan setelah reformasi sekian lama, kok bisa orang bicara nasionalisme dengan cara yang sekering itu? Normatif, simbolis, serbaformalitas. Padahal gayanya anti Orde Baru.
Ketika orang tahu bahwa saya ini guru Pendidikan Kewarganegaraan, biasanya mereka bakal merespons, “Pasti kerjaannya suruh-suruh siswa menghafal Pancasila dan UUD 45”. Hadeeeh. Situ aja yang nggak tahu kalau sejak reformasi kurikulum PKn dan ilmu sosial lainnya itu (harusnya) sudah kontekstual. Kerjaan siswa, setidaknya siswa-siwa saya, menganalisis sistem politik dan kekuasaan, sistem hukum, perbandingan ideologi, bahkan hubungan internasional.
Di saat semua orang sudah tahu NKRI dan segala isinya ini harga tawar, nasionalisme harusnya nggak sekering dulu, Bos. Karena kamu nggak perlu membela mati-matian negara yang menindas rakyatnya. Apalagi kalau nasionalisme malah jadi hal yang bikin kamu lupa dan nggak sadar akan adanya penindasan yang dilakukan oleh para penguasa terhadap rakyat kecil—dan kamu malah sampai lempar lembing dan baku hantam demi membela mati-matian penguasa yang bikin kamu tetap miskin
Dan kamu yang mendiskriminasi orang-orang seenaknya atas nama agama, suku, atau pilihan politik, seolah-olah NKRI ini cuma punya leluhurmu, sini kamu saya bilas pakai mesin cuci.
Ngomong-ngomong, yang tertera di meme-meme itu serius, ya: perayaan kemerdekaan di istana negara sampai menggelontorkan biaya sebanyak 7.8 miliar?