MOJOK.CO – Nggak cuma kebijakan PPDB yang pakai sistem zonasi. Jauh sebelum ada perdebatan ini, anak harokah sudah akrab sama zonasi nikah.
Belakangan kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berdasarkan zonasi kembali menjadi perdebatan. Tujuan PPDB zonasi ini sebenarnya baik, yakni memberikan akses pendidikan bagi semua kalangan masyarakat. Biar tidak ada lagi istilah sekolah favorit dan semisalnya yang menciderai keadilan pendidikan bagi rakyat.
Tidak cukup dengan perdebatan perihal sistem zonasi pendidikan itu, penduduk negara ber-flower turah energi pun memunculkan tema debat turunan: bagaimana kalau dalam hal jodoh pun dilakukan sistem zonasi? Menurut saya, sebagian teman-teman jomblo yang cukup reaktif (meski bercanda) soal isu zonasi jodoh ini semata menetapi hakikat kejombloan mereka untuk numpang curhat dalam setiap isu hangat. Padahal sebenarnya zonasi jodoh begitu bukan hanya wacana online sebab saya sudah sering menemuinya di dunia nyata.
Bagi anak harokah macam saya, konsep “Zonasi Jodoh” bukan hal yang baru. Dan kebetulan, eh qadarullah, sistem perjodohan ala harokah mirip-mirip sistem pendaftaran sekolah ala PPDB. Jadi kalau ada praktisi pendidikan yang masih meragukan PPDB sistem zonasi, sekiranya bisa belajar dari kebijakan zonasi perjodohan ala harokah ini.
Sebagaimana sistem zonasi sekolah yang hanya membolehkan mendaftar ke sekolah dengan radius domisili tertentu, begitu pula dalam zonasi nikah ala anak harokah. Oh ya, harokah itu istilah buat semacam organisasi pergerakan Islam. Konon nggak semua anak halaqoh adalah anak harokah. Sehingga yang biasanya dikenai anjuran zonasi ini hanyalah kader dan bukan simpatisan secara umum. Kebijakan tiap harokah pun berbeda-beda, jadi saya hanya akan menceritakan pengalaman di sekitar saya tanpa bermaksud menggeneralisasi.
Pada umumnya jalur nikah bagi anak harokah adalah lewat taaruf. Itu pun jarang yang mandiri alias langsung menghubungi sendiri, melainkan lewat murobbi/ah (guru ngaji) calon bribikan. Sebagaimana daftar sekolah pakai formulir, daftar nikah ala anak harokah pun pakai semacam proposal atau biasa disebut CV Taaruf yang dikumpulkan ke murobbi/ah masing-masing untuk disampaikan pada petugas yang berikhtiar khusus mengakhiri kesendirian para singlelillah.
Nah, biasanya dalam proses perjodohan ini murobbi/ah akan mencarikan pasangan dengan kader dari zona (amanah) yang sama. Misal si akhwat megang banyak binaan di Solo, akan dicarikan ihwan dari zona tersebut. Bukan berarti keduanya harus ber-KTP Solo, tetapi secara “administratif” memiliki amanah di zona yang sama. Sebab dalam beberapa hal, pengertian “zona” di sini melampaui makna geografis.
Kebijakan satu zonasi begitu konon biar nggak repot membagi energi dan fokus. Bisa dimengerti, sih. Menikah kan tujuannya untuk mendekatkan dua insan. Apalagi dalam dunia pergerakan, pernikahan antar-kader tidak jarang menjadi putusan politis, bukan sekadar romantis karena saling suka dan ingin hidup bahagia bersama sehidup sesurga.
Persatuan dua insan adalah sekaligus persatuan kekuatan untuk membina pasukan kemenangan Islam (ehm). Sehingga daripada mesti repot mengadakan penyesuaian karena perbedaan zona amanah sampai-sampai melalaikan amanah itu sendiri, diberlakukanlah sistem zonasi ini. Bagi beberapa pihak “zona amanah” bahkan menjadi parameter sekufu atau tidaknya dua insan.
Meskipun tujuannya bagus dan selama ini terbukti berjalan baik, kebijakan sistem zonasi perjodohan ini bukannya tanpa pergolakan. Para kader favorit (wkwk) merasa program ini lebih menguntungkan kader medioker. Lantaran ditekankan untuk menikahi kader satu zona, mereka tidak diperkenankan berikhtiar pada kader favorit yang bersinar di luar zona amanahnya.
Maksudnya mungkin untuk pemerataan asmara bagi seluruh kader, sekaligus melaksanakan program “pembinaan internal” dan menghapus favoritisme kader sebagaimana PPDB zonasi. Padahal kalau para kader medioker bisa legawa menerima kedatangan kader favorit impor hasil pernikahan lintas zonasi, bukan tidak mungkin peringkat dakwah zona mereka akan meningkat.
Protes pun bermunculan sehingga muncullah konsep semacam “rolling tenaga pengajar” ala kebijakan sistem zonasi sekolah. Dalam hal perjodohan harokah, rolling ini memungkinkan kader berpindah zona untuk menikah. Sayangnya, kebijakan ini bagi saya agak bias gender.
Pasalnya, kader ikhwan cenderung dipertahankan di zona asal atas nama penjagaan amanah. Sehingga mereka bisa dengan mudah “mengimpor” bribikan mereka ke dalam zona melalui program “Dibina Lalu Dibini”. Sedangkan yang biasanya “dilempar” ke wilayah lain adalah kader akhwat. Konsekuensinya mereka harus rela pergi dengan mengantongi izin keluar zona amanah selama ini.
Sayangnya, izin keluar zonasi ini terkadang tidak hadir bersama ridha pimpinan. Apalagi jika zonasi yang dimaksud bukan lagi berbeda amanah melainkan berbeda harokah. Dalam beberapa kasus, mereka yang nekat keluar zonasi bahkan “dipecat” dari segenap amanah struktural karena dinilai tidak lagi tsiqoh (loyal).
Di situ kadang saya merasa sedih. Bukannya tidak bersyukur mendapat izin keluar zonasi perjodohan untuk memperjuangkan ikhwan favorit beda zonasi yang diinginkan. Tapi rasanya mendapatkan sesuatu dengan dikirimkan langsung ke rumahmu berbeda dengan mendapatkannya setelah pergi ke luar dan tidak boleh kembali lagi ke rumah. Semacam: diulurkan versus dilempar. Para pelakunya juga harus berbesar hati menerima “bully berjamaah” dari teman-teman harokah lainnya.
Hmpf. Mungkin kesannya mau nikah, kok ribet banget? Nggak pakai sistem zonasi saja sudah sulit cari pasangan, ngapain harus mempersulit diri dengan sistem begituan? Tapi ya gitu deh, kenyataannya tradisi ini masih banyak berlaku sampai hari ini.
Yah, setidaknya, sekalipun ribet, yang diperjuangkan adalah sistem zonasi nikah alias marriage zone. Jauh lebih pasti daripada friend zone, kakak-adik zone, tukang ojek zone, teman curhat saat bosan zone. Ataupun, aku suka kamu tapi belum siap komitmen zone, saling sayang tapi tidak saling bilang zone, dan zona-zona lain yang selain juga ribet, melelahkan, tapi tidak berujung pada kepastian.