MOJOK.CO – Jika di Indonesia dikenal ziarah kubur wali songo, di Libya juga dikenal ziarah wali tujuh. Gerakan ziarah yang sama-sama jadi benteng ide-ide khilafah.
Bagi warga Nahdlatul Ulama (NU), ziarah kubur merupakan tradisi penting. Lumrah seorang bapak yang sudah sepuh berwasiat pada anaknya untuk rajin ziarah. Mendoakan di kuburan jika nanti sang bapak wafat.
Warga NU yang di perantauan atau yang hidup di wilayah dengan mayoritas non-NU juga sering meminta untuk dikuburkan di kampung halaman saat ajalnya tiba. Tujuannya sama, agar ada yang menziarahi.
Bahkan, orang NU yang lumayan fanatik, kalau piknik setidaknya akan berpikir untuk ziarah kubur. Mau Ke Bali sekalipun harus ada ziarah kubur dalam rangkaian itinerary perjalanan itu. Piknik yang tidak ada ziarah rasa-rasanya kayak tidak berkah.
Sebelum kamu lemparkan tuduhan bidah sesat dan sebagainya, perlu kamu ketahui kalau kultur ziarah kubur seperti ini tidak hanya jadi amalan khas warga NU di Indonesia. Ia sudah jadi semacam gerakan trans-nasional.
Pada umumnya orang sudah kenal dan akrab dengan sejumlah gerakan atau aliran Islam yang menembus sekat-sekat perbatasan negara. Sebut saja Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Wahabi, Syi’ah, Ahmadiyah, dan semacamnya. Akan tetapi, tidak banyak yang tahu bahwa gerakan ziarah kubur pun sebetulnya juga masuk kategori itu.
Jika kita mengenal ziarah wali songo, di Libya juga dikenal ziarah wali tujuh. Ketujuh wali itu berada di bilangan Zelletin, sekitar tiga jam perjalanan darat dari Tripoli, Libya.
Kita tahu bahwa ziarah kubur bukanlah satu-satunya fenomena living Islam pada masyarakat NU. Ziarah kubur seperti satu paket dengan ritual seperti barzanji, tahlil, qunut, shalawatan, dan semacamnya. Pun demikian di Zelletin. Ziarah kubur selalu melekat bersama ritual lain seperti di kalangan nahdliyyin Indonesia.
Saya sempat kaget ketika menghabiskan summer break pada tahun 2007 di Zelletin. Menghadiri undangan masyarakat sekitar untuk peringati Maulid Nabi, (padahal waktu itu bukan bulan Maulid, persis seperti di Jakarta di mana perayaan Maulid bisa dilakukan di bulan apa saja) ternyata ada tahlil dan shalawatan seperti di Indonesia. Semua berdiri, bershalawat, dan ada “geleng-geleng kepala” mirip dengan barzanji di kampung saya.
Saat saya tanya, “tarian apa ini?”
Rupanya mereka menyebut itu sebagai Hizib. Sebuah ritual doa-doa yang diyakini memiliki kekuatan magis yang berbeda dari doa biasanya. Hanya saja orang secara otomatis menggerakkan badan sesuai irama doa yang dilagukan. Gerakan itu yang mirip gerakan joget tipis-tipis.
Saya mencoba menggali ritual-ritual lain dengan bertanya sana-sini, juga nginthil ngalor-ngidul untuk mengulik kebiasan lain. Sampailah saya pada ziarah wali tujuh tadi. Nuansa makamnya pun mirip dengan makam wali songo. Orang yang tidak akrab dengan ziarah kubur akan menyebutnya: keramat!
Dalam pencairan informasi, saya juga bertemu dengan seorang syaikh. Syaikh merupakan sebutan untuk guru Al-Quran. Khusus di Libya, mereka tidak suka disebut ustaz. Bagi mereka, ustaz adalah guru sekolah formal dengan jas dan dasi berbeda dengan mereka yang mulang alif ba’ ta’.
Sang Syeikh membawakan buku berjudul “Auliya’ Syarqil Ba’id” (Wali Timur Jauh) karangan Dr. Basyyar Al Ja’fari, seorang penulis sekaligus tokoh politik Suriah. Untuk diketahui sedulur-sedulur, Timur Jauh adalah penyebutan untuk wilayah Nusantara, Indonesia, dan Malaysia khususnya. Sebenarnya itu dari sudut pandang orang Eropa sih. Ada Timur Tengah yaitu negara-negara Arab, dan Timur Jauh yaitu kita-kita ini.
Yang disebut para wali di Timur Jauh itu tiada lain adalah wali songo. Covernya pun berisi lukisan wali songo yang marak diperjualbelikan di toko-toko kitab atau souvenir ziarah wali itu. Yang mengagetkan saya adalah ternyata pelajar dan mahasiswa Zelletin banyak yang sudah membaca buku itu. Kitab ini juga nampang di even tahunan pameran buku.
Saat itulah saya menarik kesimpulan bahwa ada persamaan ideologis antara warga Zelletin pada umumnya dengan warga Nahdliyyin di Indonesia. Menariknya, kedua-keduanya (NU dan corak Zelletin) malah jadi semacam tameng untuk isu-isu khilafah di negara masing-masing.
Di Indonesia, kita tahu, kelompok Islam yang menolak keras keberadaan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah NU. HTI memang mengusung ide Khilafah, NU berada di sisi yang berlawanan. Begitu pun yang terjadi di Libya.
Hanya saja, pengusung khilafah di Libya sebelum Arab Spring sebenarnya terbatas pada perang pemikiran. Juga kurang mendapat tempat di Libya karena rezim Mummar Qaddafi amat represif pada kelompok yang berpotensi mengancam negara. Jangankan pengusung khilafah, kelompok Salafi pun tidak leluasa.
Qaddafi sendiri lebih condong pada kelompok Sufi. Tidak heran, Libya amat marak dengan apa yang disebut dengan Zawiyyah. Sebuah lokasi yang berarti pojok zikir, tempat para Sufi beraktifitas.
Zawiyah ini pada kemudian hari berkembang menjadi pesantren, sekolah formal, bahkan universitas. Zawiyah ini pula yang menjadi pusat kegiatan ritual-ritual seperti tahlil, shalawatan, ziarah kubur, dan semacamnya. Muktamar yang diijinkan pun hanya muktamar-muktamar sufi.
Represi dari rezim Qaddafi mengakibatkan keterbatasan ruang gerak kelompok pengusung khilafah. Seingat saya, bahkan semacam buletin pun tidak pernah muncul.
Ini berbeda dengan HTI di Indonesia yang “menguasai” masjid-masjid kampus dan buletinnya bisa tetap disebar setiap jelang jumatan. Di Libya, ide khilafah hanya dituturkan dari mulut ke mulut. Itu pun dengan amat hati-hati dan implisit.
Sebenarnya kondisi seperti itu bak api dalam sekam. Setelah meletus Arab Spring di Libya yang juga menewaskan Qaddafi, pengusung khilafah mendapat momentum kebangkitan. Rupanya pengusung khilafah di Libya jauh lebih ekstrem dan nggilani dari yang ada di Indonesia.
Ada afiliasi pada kekhilafahan ISIS. Yang berarti hobinya merusak dan meneror. Mereka ingin menjadikan Libya sebagai salah satu provinsinya ISIS.
Sebuah zawiyah di Zelletin diserbu langan ekstremis pengusung khilafah tersebut. Zawiyah itu bernama Zawiyah Yayasan Asmariyah. Kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di Asmariyah, seperti yang saya sebutkan di atas, memang tidak disukai kalangan ekstremis. Dianggap banyak praktik bid’ah dan khurafat.
Kala itu, 23 Agustus 2012, sedang berlangsung pameran buku dan foto klasik. Selain korban jiwa, teroris juga membakar aset-aset berharga. Banyak manuskrip tua dan mushaf tulisan tangan turut hangus. Api bergejolak lama karena membakar kertas.
Para syeikh pengasuh Yayasan terpaksa mengamankan diri. Beberapa harus ke luar negeri dan belum pulang sampai sekarang, salah satunya teman saya yang mengungsi ke Tunisia.
Dari sana, kita bisa ambil dua pelajaran.
Pertama, keberadaan kaum Islam tradisional itu ternyata sangat penting sebagai benteng negara kesatuan. Tradisi simbah, bapak, pakde, tetangga masih semangat ziarah ke mana-mana tanpa disadari mempersulit ide khilafah menyebar di kampung-kampung.
Beda kalau sudah bicara di kampus-kampus. Perbincangan Islam ideologis dibicarakan secara “berat”, dan kurang menyentuh umat muslim di kehidupan sehari-hari.
Kedua, jangan terlalu represif secara fisik kepada kelompok “liyan”.
Meski tidak setuju dengan ide khilafah, baiknya tetap tersedia ruang kongkow, ngopi bareng, dan dialog. Mari hargai ide-ide itu sebagai keragaman ideologi untuk dipelajari bersama-sama. Jangan ditutup menjadi api dalam sekam yang bisa membakar jauh lebih besar.
Soalnya, kalau kamu terlalu mengeksklusi mereka secara fisik, yang terjadi mereka bakal semakin eksklusif. Suatu saat akan “muntab” dan ngamuk. Digencet terus lama-lama bakal meleduk juga nantinya.
Dan itu situasi yang sangat ngeri kalau mengingat dengan apa yang hampir terjadi di Libya.
BACA JUGA Bagaimana Saya Menjadi Penggemar Berat Felix Siauw atau tulisan Miftakhur Risal lainnya.