Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

Berislam dengan Ilmu Pengetahuan Jauh Lebih Penting Ketimbang Sekadar Berislam dengan Khilafah

Ronny P. Sasmita oleh Ronny P. Sasmita
3 Desember 2020
0
A A
Berislam dengan Ilmu Pengetahuan Jauh Lebih Penting Ketimbang Sekadar Berislam dengan Khilafah

Berislam dengan Ilmu Pengetahuan Jauh Lebih Penting Ketimbang Sekadar Berislam dengan Khilafah

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Islam menyambut baik modernitas, tanpa harus melepas ajaran dan budayanya.

Adu jotos, adu kuat, saling hajar, saling tikam, tentu saja bukanlah fenomena kontemporer, tapi nyaris sudah menjadi fenomena sejarah di timur tengah, sebagaimana juga terjadi pada peradaban lain, misalnya Ottoman, di mana Selim I (satu) digelari khalifah pertama Ottoman, prototipe pemimpin yang sedang ingin dihidupkan kembali oleh Erdogan, selain Mehmed II.

Gelar ini bukan gelar ujug-ujug, melainkan hasil penaklukan dunia Arab yang berdarah-darah. Selim I menyingkirkan bapaknya, Sultan Bayezid II, dari tampuk kekuasaan Ottoman, lalu menangkap dan membasmi saudara-saudaranya yang dianggap berpotensi menjadi ancaman kekuasaanya (Erdogan melakukan hal yang sama beberapa tahun belakangan).

Setelah berhasil mengonsolidasikan kekuasaan di internal Ottoman, Selim I mulai berekspansi dengan menaklukan Savafid, Persia, Iran sekarang, sampai benar-benar lumpuh dan tak lagi jadi ancaman. Kala itu Savafid diperintah oleh Shah Ismail, yang kalah dalam perang Chaldiran oleh Selim I.

Kemenangan terbesar Selim I adalah menaklukan Kesultanan Mamluk di Mesir (Abbashid Caliphate/Kekhalifahan Abbasiyah generasi kedua setelah generasi pertama takluk oleh Mongol di Bagdad). Salah satu sumber sejarah mengatakan bahwa sekitar 800 pejabat Mamluk yang tertangkap, dipisahkan dari kepalanya di depan Selim I. Kepala mereka dikoleksi sedangkan tubuhnya dibuang ke Sungai Nil. Transfer kekuasaan khalifah dari Abbasiyah ke Ottoman (Ustmaniyah) dilakukan dari Sultan Mutawakil III ke Selim I. Setelah itu, Mesir diturunkan statusnya hanya sebagai salah satu provinsi Ottoman.

Penaklukan Mamluk kemudian membawa Ottoman menjadi penguasa Mekkah dan Madinah. Inilah yang menjadi pelengkap Selim I menyandang gelar khalifah pertama Ottoman dan sebagai penjaga haji (setelah Saudi lepas dari Ottoman pasca-perang dunia pertama, Saudi kemudian jadi penguasa Mekkah/Ka’bah. Sebelumnya, Ottoman memercayakan urusan Ka’bah kepada keluarga Saud).

Selim I adalah simbol kekuasaan global Ottoman. Di tangannya, wilayah kekuasaan Ottoman bertambah satu setengah kali lipat dan menjadi salah satu imperium paling berpengaruh di dunia. Namun, hampir semua wilayahnya merupakan pencaplokan dari wilayah Islam lainya di Arab. Sementara Mehmed II, adalah simbol kemenangan Ottoman atas Eropa, sebab wilayah kekuasaannya mencapai Konstantinopel (Istanbul, Turki) hingga Romawi Timur atau Bizantium.

Kekaisaran Romawi Timur atau Kekaisaran Bizantium adalah salah satu kekaisaran terkuat. Ia sudah berkali-kali diserbu, termasuk oleh Islam (Seljuk) di abad 7 dan 8, namun hasilnya nihil. Di abad 9 dan 10, Bulgar Khan dan Thomas the Slav juga gagal menaklukannya. The Rus atau cikal bakal Kekaisaran Rusia juga berkali-kali mencoba di abad 9, 10, dan 11, namun hasilnya sama: gagal.

Mengapa? Pertama, karena tata kota untuk pertahanan Bizantium telah dipersiapkan dengan baik oleh Theodesius II di abad 5, yakni tiga lapis dinding dengan dikelilingi tiga sisi air (posisinya di peninsula atau semenanjung). Kedua, Bizantium punya senjata rahasia andalan, namanya “Greek Fires”. Ia semacam semprotan api mematikan dari kapal-kapal Bizantium. Dua faktor itulah yang sangat menentukan dalam kemenangan Bizantium dari serangan yang bertubi-tubi menghajarnya.

Lantas, mengapa Mehmed II bisa melewati keduanya? Inilah salah satu perang inovasi dalam peperangan antar kekaisaran. Ottoman di era Mehmed II juga punya senjata andalan yang mematikan. Sejarawan barat sering menyebutnya dengan istilah “Ottoman’s Siege Gun”. Apakah senjata ini dibuat oleh orang Ottoman? Tidak. Yang mendesain senjata andalan Ottoman tersebut justru orang Hungaria, bernama Urban.

Penampakan “Ottoman’s Siege Gun” tak jauh berbeda seperti meriam, hanya saja, ia punya ukuran yang super jumbo. Panjangnya sekitar 9 meter, bagian moncongnya sekitar 3 meter. Senjata ini mampu meluncurkan peluru seberat 500 kg sejauh 1,5 Km.

Di zaman itu, senjata tersebut terbilang sangat gila. Sekali tembak, dinding Bizantium bolong. Inilah salah satu kunci kekuatan Ottoman saat menaklukan Bizantium, selain jumlah pasukan dan kapal perangnya, tentu saja.

Setelah Bizantium Jatuh, Mehmed II memasuki tengah kota lantas berdiri di depan Hagia Sopia dan mendeklarasikan bahwa gereja Hagia Sopia, akan diubah statusnya menjadi Masjid.

Berapa jumlah korban dalam perang tersebut? kurang lebih 4.000 jiwa meninggal, 50 ribu dijadikan budak, dan tak sedikit yang memilih bunuh diri.

Jadi, jika hari ini Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, Qatar, dan sekutu Saudi lainnya tidak sejalan dengan Turki, maka itu bukanlah hal yang baru. Tidak sejalan dengan Iran dan Syiah juga bukan hal baru.

Bahasa dan budaya Turki berbeda dengan Bahasa Arab. Sunni dan Syiah pun tak sama dalam banyak hal. Jadi sangat bisa dipahami. Meminta mereka semua bersatu dengan baik-baik rasanya adalah hal yang kurang masuk akal.

Sejarah membuktikan, hanya dengan penaklukan hal tersebut bisa tercapai. Dunia Arab pernah berada di bawah Ottoman, tapi saat ada kesempatan untuk keluar dari kekuasaan Ottoman dengan cara berkolaborasi dengan kekuatan Eropa, hal tersebut benar-benar dilakukan. Ini pertanda bahwa Arab memang tak sejalan dengan Ottoman.

Dinasti Safawiyyah (Persia) pernah ditaklukan oleh Ottoman, tapi tak pernah menjadi pendukung Ottoman. Bahkan pemberontakan demi pemberontakan sering terjadi.

Sunni dan Syiah selalu berseteru, memperebutkan pengaruh di negara-negara Arab. Lihat saja Yaman, Suriah, Irak, dan Lebanon, termasuk Palestina. Sementara rebutan pengaruh Turki dan dunia Arab juga masih berlangsung di Libya, Suriah, dan Yaman.

Jadi, perkara kerajaan di Indonesia punya hubungan dengan Ottoman, itu memang fakta sejarah. Memang harus diterima. Namun, selayaknya sejarah, ia tak harus terus bertahan. Mesir dan nyaris seluruh Arab toh juga pernah berada di bawah Ottoman, bukan hanya punya hubungan, tapi jadi provinsinya, dan sampai hari ini, mereka tak mau kembali ke zaman saat mereka berada di bawah Ottoman.

Maka, kalau masih ada yang ngotot ingin khilafah-khilafahan, tengok saja timur tengah. Hanya Bagdadi yang menginginkan menjadi khilafah di Irak dan Suriah dengan ISIS-nya itu. Dan semua orang tahu, seperti apa tatanan pemerintahan di dalam ISIS.

Kata kunci dari Mehmed II, salah satunya adalah Inovasi dan menghargai inovasi. Ottoman di masa-masa pengakhirannya banyak bersentuhan dengan teknologi barat. Kereta api dari Jerman dan kapal modern dari pabrikan Inggris, misalnya.

Toh pada akhirnya, salah satu sebab kehancuran Ottoman juga karena ketertinggalan dalam teknologi yang mendukung militernya. Ottoman unggul karena teknologi, pun hancur juga karena faktor teknologi.

Di zaman sekarang, tak penting lagi khilafah-khilafahan. Penguasaan teknologi untuk kemajuan bangsa jauh lebih prinsipil. Negara-negara Arab yang hari ini mentereng kota-kotanya, adalah negara-negara yang mampu memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, meskipun datangnya dari Eropa, China, bahkan Israel. Mengeluarkan minyak dari perut bumi membutuhkan ilmu dan teknologi. Jika mereka tak punya, mereka tak segan menggandeng negara yang punya teknologi yang memadahi. Ingat, Mehmed II menggunakan senjata buatan orang Hungaria untuk mengalahkan Bizantium.

Riyadh, Abu Dhabi, Kuwait, Doha, dan kota-kota maju di negara Islam timur tengah lainnya senantiasa menerima modernitas dan ilmu pengetahuan. Islam menyambut baik modernitas, tanpa harus melepas ajaran dan budayanya.

Silakan jalan-jalan ke timur tengah. Cobalah tanya ke banyak penduduk di sana tentang apakah mereka mau kembali menjadi negara khilafah? Pastilah sebagian besar jawabannya adalah tidak. Dan kita, di Indonesia, seharusnya bisa seperti mereka, yang tak pernah ribut dan berharap kepada khilafah, yang cenderung mengundang kebisingan sosial politik di ruang publik kita.

BACA JUGA Ada Khilaf dalam Khilafah

Terakhir diperbarui pada 3 Desember 2020 oleh

Tags: IslamKhilafahTimur tengah
Iklan
Ronny P. Sasmita

Ronny P. Sasmita

Penikmat Kopi dan Penggemar Berat Billy Joe Amstrong. Analis Senior di Indonesia Strategic and Economic Action Institution.

Artikel Terkait

Dinamika Politik di Masjid Istiqlal dan Fenomena Muslim Tanpa Masjid
Movi

Dinamika Politik di Masjid Istiqlal dan Fenomena Muslim Tanpa Masjid

30 Maret 2025
Dakwah Kreatif ala Miko Cakcoy Lewat Wayang, Jembatani Tradisi dan Agama di Era Modern
Movi

Dakwah Kreatif ala Miko Cakcoy Lewat Wayang, Jembatani Tradisi dan Agama di Era Modern

15 Maret 2025
Bashar Al Assad Minggat, Suriah Dikuasai Alumni Al Qaeda MOJOK.CO
Esai

Ketika Alumni Al Qaeda Memimpin Pemberontakan terhadap Bashar Al Assad di Suriah dan Mereka Menang

10 Desember 2024
Makna Khodam dalam Perspektif Islam dan Kejawen
Movi

Makna Khodam dalam Perspektif Islam dan Kejawen

3 Agustus 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Smartfren luncurkan Sarah, yakni AI untuk layani pelanggan 24 jam setiap hari MOJOK.CO

Smartfren Luncurkan “Sarah”: Asisten Virtual AI yang Siap Layani Pelanggan 24 Jam Setiap Hari, Bukan Sekadar Chatbot

9 Juli 2025
4 Dosa Warteg Mempermainkan Menu demi Untung Besar, tapi Bikin Rugi Pelanggan Mojok.co

4 Dosa Warteg Mempermainkan Menu demi Untung Besar, tapi Bikin Kapok Pelanggan

15 Juli 2025
Festival Literasi Jogja 2025 di Yogyakarta: Contoh kegiatan literasi yang mengajak masyarakat berpikir aras tinggi MOJOK.CO

Festival Literasi Jogja 2025 Ajak Masyarakat Berpikir Aras Tinggi di Tengah Tantangan Literasi Indonesia di Tingkat Dunia

9 Juli 2025
Iseng jadi pengamen liar di Jogja: sehari bisa Rp300 ribu-Rp500 ribu, bantu bertahan hidup saat puluhan lamaran kerja tidak ada yang tembus MOJOK.CO

Iseng Jadi Pengamen Liar di Jogja: Sehari Dapat Cuan Menggiurkan, Tolong Saya saat Luntang-lantung karena Puluhan Kali Gagal Kerja

11 Juli 2025
Pacu Jalur Direcoki Pemerintah Jadi Cringe dan Nggak Seru Lagi MOJOK.CO

Saat Negara Turut Campur Aura Farming Pacu Jalur, Semua Jadi Terasa Cringe dan Nggak Seru Lagi

14 Juli 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.