MOJOK.CO – Setidaknya ada tiga hal yang dapat kita temukan dalam perseteruan antara Mbak Shandy Aulia dan emak-emak Instagram soal mpasi.
Biasanya sepulang kerja, hal pertama yang dibicarakan oleh istri saya adalah tentang kelucuan dan kenakalan anak kami sepanjang hari, namun, sore kali ini saya diajak berjulid berdiskusi terkait unggahan artis peran Shandy Aulia di akun instagramnya.
Awalnya saya menduga permasalahan itu tidak akan jauh-jauh dari urusan rumah tangga atau gaya hidup yang mewah. Mungkin Mbak Shandy Aulia baru saja beli tas branded seharga lima puluh motor Honda Beat atau semacamnya dan istri saya jadi panas hatinya karena itu. Agak insecure juga saya jadinya kalau begitu.
Alhamdulillah, ternyata saya keliru. Yang sedang ramai diperbincangkan oleh warganet rupanya tentang pola asuh anak. Lebih tepatnya lagi tentang polemik pemberian makanan pendamping ASI (Mpasi) dan madu yang tepat bagi bayi. Antara Shandy Aulia versus emak-emak Instagram.
Rangkaian uggahan tersebut mendapat respons yang luar biasa pedas terutama dari barisan emak-emak garis cadas Instagram. Jika digabung dari semua unggahan Mbak Shandy Aulia yang saling berkaitan dengan topik ini, maka setidaknya—hingga tulisan ini dibuat—ada lebih dari ribuan komentar dari warganet yang berserakan.
Alih-alih bersedih atau ikut-ikutan saling serang, justru ada satu hal yang sudah sewajarnya kita lakukan.
Bersyukur.
Eits, tunggu dulu. Jangan berpikir bahwa saya membenci Mbak Shandy Aulia atau bahagia melihat orang lain berada dalam masalah ya?
Tentu bukan itu yang saya maksudkan. Saya mengajak kita semua untuk bersyukur melihat betapa dinamika dan perkembangan kehidupan bermasyarakat warganet Indonesia telah menunjukkan perbaikan ke arah yang positif dengan cukup signifikan.
Setidaknya ada tiga hal yang dapat kita temukan dalam perseteruan tersebut sebagai buktinya.
Pertama, munculnya perilaku mengutip pendapat para ahli
Ketika Mbak Shandy Aulia mengunggah postingan pertamanya tentang pemberian mpasi, emak-emak Instagram yang kritis dengan sigap langsung mengingatkan pembaca yang lain untuk tidak serta merta menelan konten tersebut mentah-mentah.
Dan ketika mulai terjadi perdebatan sengit, mereka yang merasa telah mempelajari ilmunya, tak segan-segan untuk menge-tag akun dari dokter masing-masing sebagai penguatan dan kesahihan pendapatnya. Setelah diselidiki, memang benar bahwa akun tersebut adalah akun-akun dari dokter spesialis anak.
Tidak cukup sampai di situ. Di unggahan-unggahan selanjutnya, semakin banyak emak-emak yang tak segan-segan lagi untuk membagikan ilmu, pengalaman, hingga kutipan dan pendapat dari para ahli yang dirasa lebih valid dan bertanggung jawab daripada sekadar hasil googling atau “katanya-katanya”.
Bahkan sekelas WHO dan beberapa insitusi pendidkan dan kesehatan di Eropa pun ikut dijadikan sumber referensi dalam adu pendapat.
Positif aja deh bahwa kebiasaan warganet untuk menge-tag akun para tokoh dan ahli ini adalah salah satu bukti peningkatan kesadaran berliterasi di dunia maya yang telah di-upgrade. Karena jika mengikuti kaidah pengutipan yang baku malah akan terlihat wagu.
Setidaknya ini jauh lebih baik daripada debat kusir yang sama-sama ambyar karena sama-sama tak berdasar.
Kedua, dalam diskusi tidak harus ada tokoh antagonis
Walaupun perdebatan di kolom komentar seperti tidak ada habisnya, saya hakul yakin tidak ada tokoh antagonis dalam perseteruan ini.
Mbak Shandy Aulia? Jelas bukan dong. Mana ada orang yang mengunggah sesuatu dengan harapan akan mendapat kebencian karenanya. Emak-emak Instagram yang julid? Tidak juga. Elite global? Dajjal? Mbahmu salto.
Jika kita simak dengan cermat, sebenarnya perdebatan jadi panjang hanya karena beda pendekatan penerapan ilmunya saja. Bukan karena ingin saling menjatuhkan. Misal dokter M bilang gini, menurut dokter T seperti ini, berdasarkan WHO disarankan demikian. Dan sebagainya itu.
Lalu siapa tokoh antagonisnya? Ya, tidak ada. Bahkan tidak perlu ada.
Selama ini perdebatan panjang antar warganet di jagat media sosial harus diakui ujung-ujungnya adalah untuk menjatuhkan seseorang. Sosok itu bisa jadi adalah publik figur itu sendiri, publik figur lain yang ikut berseteru, atau dari para haters yang dianggap sudah kelewatan.
Namun, kali ini berbeda. Tidak ada orang yang harus dijatuhkan. Warganet pun tidak memiliki alasan dan pembenaran untuk melakukan hal itu. Karena pada dasarnya semua perdebatan dalam masalah ini hanya memiliki satu tujuan.
Ya, tujuannya jelas sekali. Kebaikan untuk si anak itu sendiri.
Kenyinyiran dan kejulidan yang bermunculan di kolom komentar pada dasarnya adalah bentuk kepedulian dari warganet baik terhadap anak dari si pengunggah maupun anak warganet yang lain apalagi anak mereka sendiri.
Intinya, mereka cuma sedang berlomba untuk saling mengingatkan walaupun kalimat dan intonasinya terdengar ngegas dan tidak santai. Yah, soal ini kita khusnudzon aja mungkin yang suka ngegas itu emang karena habis diservis.
Ketiga, meningkatnya pemahaman kalau ilmu itu harus disampaikan dari mulut orang yang tepat
Dari sekian ribu balasan yang beredar, yang paling sering muncul salah satunya adalah komentar yang mengingatkan warganet lain untuk mencari sumber referensi yang lebih valid. Tentu tidak lupa dengan mencantumkan akun dari tokoh-tokoh yang dianggap lebih mumpuni dalam masalah tersebut.
Bagi saya, ini adalah kedewasaan berpikir yang patut dibanggakan dari warganet Indonesia. Ternyata masih ada segilintir orang yang waras dan bahkan mampu mengingatkan orang lain untuk tidak begitu saja mengamini konten-konten yang dibuat oleh para selebritas. Terlebih jika materi yang dibawakan merupakan hal yang berurusan dengan nyawa.
Maka ketika dokter spesialis anak Mbak Shandy Aulia turun gunung dan turut membantu memberikan jawaban, perselisihan antar emak-emak Instagram pun mereda. Nggak tahu kalau sesama profesi dokternya nanti bakal seperti apa.
Dan memang harusnya seperti itulah sikap warganet sebagai garda terdepan dalam penjaringan konten-konten yang dianggap riskan untuk disalahgunakan dan disalahartikan oleh para pemirsanya. Tegur, ingatkan, lalu jika masih bebal dan semakin berbahaya laporkan.
Begitu pula sebaliknya. Jika ada konten yang dirasa berfaedah, maka jangan ragu untuk ramai-ramai memviralkannya. Biarkan semua orang mengetahuinya dan dapat manfaatnya.
Toh, untuk urusan selera tidak ada yang berhak mengatur. Boleh-boleh saja kalau kita ingin sedih dan tersentuh ketika ada selebritis yang pura-pura jadi gembel demi membantu orang lain. Tidak salah juga jika kita ikutan tertawa saat idola kita berbuat usil kepada teman-temannya.
Meski begitu, perlu digarisbawahi, tidak semua konten yang dibuat oleh selebritis, utamanya yang bukan merupakan bidang keahliannya, lantas bisa ditelan begitu saja. Cari sumber lain yang lebih sahih dan bertanggung jawab.
Ingat, untuk urusan negara bolehlah pemerintah coba-coba, tapi untuk anak ya jangan.
BACA JUGA Orang Miskin Dilarang Punya Anak atau tulisan soal ANAK lainnya.