Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Tuhan, Ongkos Memperoleh Keadilan Mahal Amat, ya?

Rusmanto oleh Rusmanto
25 Juni 2019
A A
Ongkos Memperoleh Keadilan MOJOK.CO
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Rasa-rasanya untuk memperoleh keadilan itu, selain mahal juga bisa rugi berlipat ganda. Akhirnya, Tuhan yang dibawa-bawa.

Bertahun lalu saya membaca anonymous quotes: Kalau dunia adil, tidak akan ada yang namanya lembaga peradilan. Saat itu umur saya baru beranjak remaja dan nggak tahu betul apa maksud dari ungkapan tersebut.

Namun yang saya ingat, zaman itu, untuk memperoleh keadilan biayanya sangat mahal. Mungkin, sebagian orang zaman itu masih ingat ungkapan: kehilangan ayam, kalau lapor malah akan kehilangan kambing. Prosedur formal zaman itu mengharuskan keluar biaya ekstra bahkan meski Anda adalah korban.

Kehilangan nggak seberapa, kalau lapor masih harus kehilangan waktu, pikiran, tenaga, dan tentu saja biaya untuk proses laporan. Sederhananya, kalau (zaman itu) Anda kehilangan KTP, bikin surat kehilangan saja harus bayar ongkos ketik.

Karena rumitnya birokrasi dan biaya “kenakalannya” yang luar biasa. Pernah suatu ketika, kenalan saya bawa mobil, mobilnya lagi diparkir. Eh, terus ditabrak dari samping sama anak SMP yang lagi belajar naik motor. Hadeeeh, bikin kaget saja!

Hebatnya, teman saya ini malah harus menanggung biaya rumah sakit sekalian dengan biaya perbaikan motor. Abi situ, mobilnya masih ditahan. Dan untuk “nebus” mobilnya tersebut, dia masih harus mengeluarkan biaya lagi. Yang tentu saja pas bayar nggak pakai nota.

Segala kesulitan yang dialaminya terjadi, karena sebelumnya dia memutuskan untuk bikin laporan kalau mobilnya habis ditabrak motor. Mungkin inilah yang disebut dengan apes. Udah jatuh, tertimpa tangga, masih kejatuhan genteng pula!!11!!1

Dengan pengalaman yang panjang dan berliku, sebagian masyarakat akhirnya berusaha memperoleh keadilan tanpa melalui proses formal. Dari bayar preman, aksi main hakim sendiri, sampai pergi ke tukang santet pun dilakukan untuk memperoleh keadilan yang diinginkan.

Kalau orang zaman itu bener-bener sadar, ketidakadilan juga terjadi dalam skenario film. Bagi Anda penggemar film Susana, pasti tahu entah berapa kali dia harus mati dan jadi hantu hanya untuk membalaskan dendamnya demi memperoleh keadilan.

Aktivis perempuan zaman itu sampai bilang: di Indonesia, perempuan kalau mau memperoleh keadilan, kenapa harus mati dulu terus jadi setan? Bila diamat-amati, memang nggak cuma Susana dan Katemi yang mengalaminya. Si Manis Jembatan Ancol, juga bernasib serupa. Sedih jadinya.

Di dunia nyata, yang tertindas dan disakiti tapi nggak bisa ngapa-ngapain, akhirnya pasrah dan (sebagian) terpaksa melakukan aksi ikhlas. Tunggu, memangnya bisa ya, ikhlas tapi terpaksa? Ya, mau bagaimana lagi? Mau ngotot juga tetap saja nggak dapat apa-apa.

Mungkin, ada juga sih yang betul-betul ikhlas. Akan tetapi, ketika yang menyakitinya dulu tertimpa musibah, kemudian akan teringat dengan luka-luka lama. Sembari bilang, “dia memang orangnya gitu, sekarang baru tahu rasa”, seolah petaka adalah obat untuk luka lama yang dimiliki.

Jadi, sebenarnya dia itu ikhlas apa nggak, ya? Jangan-jangan ingin membalas tapi nggak mampu? Yang akhirnya, menyimpan dendam membara. Terkadang, memaafkan memang sekadar basa-basi doang untuk kebutuhan sosial. Di dalam hati sih, masih terasa panas nggak ketulungan.

Tidak sedikit orang yang terkadang akhirnya meremehkan kata “maaf”. Seolah-olah, setelah minta maaf semua jadi beres. Padahal, maaf bukan sekadar jadi prosedur untuk menggugurkan dosa karena berbuat salah. Tentu saja, maaf jadi kata yang diobral murah.

Iklan

Bahkan sering kali orang meminta maaf meski tidak merasa bersalah. Untuk memperpendek urusan, orang bakal bilang: ya sudah, saya minta maaf. Lalu biasanya, di belakangnya akan ada embel-embel, “padahal kalau…”, yang menunjukkan dia tidak merasa betul-betul bersalah apalagi menyesalinya.

Akan menjadi semakin menyebalkan, jika kemudian ditambah kata, “gitu doang aja, marah.” Meskipun, orang lain kalau melakukan hal yang “gitu doang”, dia bisa berang minta ampun. Ngomong ke sana ke mari, terus ditambah-tambahin biar lebih dramatis supaya merasa jadi orang yang teramat sangat terzalimi.

Pertengkaran antara pihak yang “setara” pun terkadang bisa berakhir dengan saling mengacuhkan, meski tidak bermusuhan. Akan tetapi, ya nggak masalah. Dengan saling tidak acuh, setidaknya mereka akan berhenti saling menyakiti.

Yang menyebalkan, kalau yang terjadi adalah pertengkaran yang “tidak adil”. Sudah salah, ngotot, menang lagi. Tentu saja, hanya akan bikin korban kelara-lara (tersakiti). Sebel nggak, sih? Dia yang salah, kok malah gue yang disalah-salahin orang sekampung?!

Lebih sebel lagi malah kita (Hah? Kita??) yang disuruh minta maaf. Mungkin inilah yang disebut kalau dunia itu kejam. Di sini mungkin orang akan lebih memilih untuk berhenti jadi makhluk sosial. Nggak penting banget, cuma bikin sakit hati.

Yang lebih seru lagi, ada yang ngedem-demi (mendinginkan/menenangkan). “Udah, tenang saja, biar nanti Tuhan yang balas”, terus ditambah lagi, “Tuhan akan balas berkali lipat dari perbuatan yang dia lakukan. Tuhan nggak tidur.” Gitu katanya.

Hadeeeh, ini orang pede banget bawa-bawa Tuhan untuk “kepentingan” pribadi. Emangnya kalau dia celaka itu (((hanya gara-gara))) Tuhan membalas karena dia sudah menganggu hidupmu, po? Lagian, darimana dia tahu kalau itu balasan dari Tuhan? Bukankah bisa jadi, dikira cobaan karena ia terlalu beriman?

Saya paling sebel, kalau Tuhan sudah dibawa-bawa untuk mengancam. “Lah, saya kan sudah minta maaf, kalau kamu nggak maafin, kamu yang dosa.” Tentu saja ngomongnya nggak ada nada menyesal sama sekali. Seolah-olah, pokoknya Tuhan harus nurut sama dia, buat mengancam maupun doa yang jelek-jelek.

Ujung-ujungnya, Tuhan diancam, “Kalau tidak mengabulkan doaku, aku takut tidak akan ada lagi yang menyembahmu.”

Hadeeeh, gini amat ya kalau pengin memperoleh keadilan ke manusia. Saking mahal, ribet, dan budrek-nya, Tuhan harus dibawa-bawa~

Terakhir diperbarui pada 25 Juni 2019 oleh

Tags: keadilanmemperoleh keadilanmengancam tuhanongkos mahal
Rusmanto

Rusmanto

Dirahasiakan biar nggak diculik.

Artikel Terkait

keadilan
Pojokan

Ada Keadilan Dalam Setiap Lelaki Jelek yang Mendapatkan Istri Cantik

1 Desember 2018
Moknyus

Korban Pemerkosaan di Jambi Dipenjara, Maksudnya Gimana Yang Mulia?

31 Juli 2018
Fredrich_Mojok
Pojokan

Bagaimana Rasanya Jadi Fans Fredrich Yunadi?

25 November 2017
Esai

Sitok Enye

16 September 2014
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.