MOJOK.CO – SBY merintis dua jalan karier, militer dan politik, yang diteruskan oleh dua anaknya. AHY bertekun di jalan militer, Ibas di politik. Ketika kemudian AHY ikut masuk politik, digadang jadi gubernur dan, sekarang, presiden, kita tahu kutukan nasib anak kedua juga menimpa Ibas Yudhoyono.
Menilik cara Susilo Bambang Yudhoyono membesarkan kedua putranya membuat saya teringat dengan Son Goku di manga “Dragon Ball”. Seperti halnya keluarga berencana pada umumnya, SBY memiliki dua orang anak, yakni Agus Harimurti Yudhoyono dan Edie Baskoro Yudhoyono. Son Goku punya dua putra juga, Son Gohan dan Son Goten. Namun, Gohan punya cita-cita yang berlainan dengan kemauan sang ayah. Gohan ingin menjadi ilmuwan. Padahal takdirnya sebagai keturunan bangsa Saiya adalah menjadi petarung.
Sebagai ayah, Goku tahu profesi apa yang cocok untuk anaknya. Goku melihat Gohan bisa menjadi petarung yang tangguh jika dilatih dengan tepat. Goku menaruh harapan ke pundak kepada anak pertama untuk menyelamatkan dunia. Maka, Goku pun percayakan pendidikan putra sulungnya tersebut kepada makhluk Namec, Piccolo. Setelah dipelonco habis-habisan oleh Piccolo, Gohan yang cengeng pun berubah menjadi pahlawan yang berjasa atas keselamatan dunia.
Andai saja Goku bersikap lembek terhadap anaknya, Gohan bahkan tidak akan bisa mewujudkan cita-cita menjadi ilmuwan atau profesi apa pun sampai kapan pun karena Bumi sendiri sudah tak tertolong dan hancur. Begitulah seorang ayah. Ayah selalu ingin yang terbaik untuk anaknya. Di saat anak tidak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan, ayah pegang kemudi dan mengantarkan ke depan gerbang kesuksesan. SBY yang dikenal sebagai TNI dan politisi, mewariskan jalannya kepada anak-anaknya. AHY berkecimpung di dunia militer dan menjadi tentara, Ibas yang kebagian mengurus Partai Demokrat didampingi oleh orang tuanya.
Kedua pangeran Cikeas dapat pelajaran hard skill yang diturunkan oleh sang ayah. Di TNI Angkatan Darat, AHY melaju cepat. AHY menyabet berbagai prestasi dan penghargaan di jalur militer. Hemat kata, karier militer AHY sangatlah cemerlang.
Ibas pun lancar jaya menyusuri jalan ninjanya di dunia politik. Ibas pernah menjadi Sekretaris Jenderal partai politik termuda di Indonesia. Ibas juga sempat mencatat rekor sebagai anggota DPR RI peraih suara terbanyak se-Indonesia pada pemilihan anggota legislatif tahun 2009.
Namun, rupanya SBY melihat dengan sudut pandang berbeda. Semua ini berawal dari Pilkada DKI Jakarta 2017. Untuk melawan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, AHY rela memutuskan pensiun dini dari karier militer yang sedang lucu-lucunya. Tentunya langkah besar AHY untuk terjun ke ranah politik praktis sudah mendapatkan restu dari SBY. Atau malah SBY yang meminta AHY untuk meneruskan perjuangannya.
Padahal saat itu AHY belum punya pegangan pekerjaan tetap di luar militer. Orang biasa seperti saya, pastilah tidak diizinkan resign oleh orang tua sebelum punya pekerjaan pengganti. Namun, SBY seakan sudah yakin betul anaknya bisa lebih sukses di dunia politik: AHY bisa jadi gubernur DKI Jakarta. Padahal jika mau bersabar sedikit saja, AHY sebentar lagi naik pangkat jadi letkol. Dari sini saya jadi sadar perbedaan mencolok antara keluarga saya dan keluarga Cikeas. Di keluarga saya, kalau mau resign harus menunggu sesudah Lebaran, biar dapat THR dulu.
Berbeda dengan sang adik, AHY masih baru di dunia politik. Di saat AHY baru bisa mengeja kata politik dengan terbata-bata, Ibas sudah pernah memanggil netizen di Twitter dengan seruan, “Wahai rakyatku dan saudara-saudaraku!” Namun, ketimbang Ibas, tetap saja SBY lebih percaya kepada AHY untuk mewakili partai berlambang Mercy di lantai dansa Pilgub Ibu Kota. Apakah keputusan ini diambil oleh Pak Beye berdasarkan respons warganet yang tak terima dipanggil sebagai rakyat dan saudara oleh Ibas?
Jika boleh meminjam sepatu Ibas, saya merasa apa yang dirasakan Ibas yang tiba-tiba disalip kakaknya dalam waktu singkat dan didukung orangtua sangat related dengan apa yang umumnya dirasakan anak kedua. Bagi anak kedua, mendapat kepercayaan orangtua dan meredam dominasi kakak pertama adalah problem seumur hidup. Padahal, kurang berdedikasi apa ia pada orangtua? Pada jalan karier dan cinta yang mereka pilihkan?
AHY kadung terseret arus politik yang deras. Usai kegagalan di pilkada, mulai muncul spanduk “AHY The Next Leader”. Mungkin menurut pembuat spanduk, AHY dinilai tidak berhasil jadi gubernur DKI karena lebih cocok jadi capres. Para pembuat spanduk pun ikut zalim pada anak kedua.
Sesungguhnya sejarah pemimpin Indonesia sudah sangat diskriminatif kepada anak kedua. Lihat, Sukarno anak tunggal, Soeharto juga, Habibie anak pertama, Gus Dur anak pertama, SBY anak tunggal, dan Jokowi anak pertama. Dari tujuh presiden, kita hanya punya satu presiden yang anak kedua: Sang Ibu Banteng.
Ibu Banteng telah menunjukkan jalan, kita yang harus membuktikan dukungan. Demi prinsip keadilan kepada semua anak, ini saatnya kita mendukung seorang capres yang bukan anak pertama. Maka dengan ini, saya memulai deklarasi,
“Kami para anak kedua se-Indonesia, menolak dipimpin anak pertama! Bosen!”