MOJOK.CO – Banyak orang hanya melihat Surabaya sebagai kota yang cantik. Namun, di sisi lainnya yang gelap, kota ini justru paling pandai membuat resah warganya sendiri.
Pernah bepergian ke banyak daerah di Indonesia memungkinkan saya bertemu dengan banyak orang. Mulai dari berbagai latar belakang ras, suku, agama, dan status sosial yang berbeda-beda. Namun, mereka memiliki satu kesamaan, saat saya mengatakan tinggal di Surabaya, mereka kompak memuji Surabaya meskipun dengan narasi yang berbeda.
Mereka banyak menyanjung tata kota dan banyaknya ruang terbuka hijau di Surabaya. Namun, sebagai orang yang tinggal di Surabaya selama kurang lebih 20 tahun, izinkan saya memberikan pandangan yang berbeda tentang kota ini.
Saya mengibaratkan hubungan manusia dengan kotanya seperti sepasang kekasih yang kemudian memutuskan menikah. Saat seseorang datang ke Surabaya sebagai wisatawan atau bekerja beberapa hari saja, relasi yang terbangun seperti orang pacaran. Yang terlihat hanya indah-indahnya saja. Orang tersebut akan melihat jalanan yang luas, deretan pepohonan yang rindang, UMK yang relatif tinggi, hingga taman cantik yang jumlahnya ratusan.
Akan tetapi, saat seseorang memutuskan menikahi (menetap di) Surabaya selama puluhan tahun, hubungannya berubah layaknya suami istri. Bagian tersembunyi yang awalnya tidak terlihat mulai nampak. Termasuk jerawat di pantatnya atau bekas luka menganga di dadanya. Surabaya yang rupawan dan tampak memiliki masa depan cemerlang bagi wisatawan, bisa terlihat buruk rupa bagi warganya sendiri.
Transportasi umum di Surabaya membuat warganya putus asa
Bulan lalu, sebuah cuitan orang Jakarta di X sempat membuat heboh netizen Surabaya. Dia mengeluhkan soal sulitnya mengakses transportasi umum (transum) di Surabaya. Jangankan orang Jakarta, warga sendiri kalau berurusan dengan transum banyak juga yang kecewa dan kapok, kok.
Enak ya hidup di Jabodetabek. Tinggal di Bogor, maen bisa ke BSD naik KRL turun rawa buntu & naik ojol 2km sampe BSD.
Tinggal di Priok, masih bisa PP ngampus ke UI. On time pun.
Di Surabaya? Mau jalan-jalan naik transum cuma bisa naik Suroboyo bus. Pulang waktu rush hour…
— 🐄 (@angewwie) August 28, 2023
Selain jumlah armada yang sedikit, rute yang terbatas, headway lama, halte busnya banyak yang ala kadarnya (tidak memiliki tempat duduk dan kanopi). Pelayanan transum di Surabaya juga kurang banget.
Sederet hal menyebalkan tersebut masih ditambah rute yang berubah atau berganti sesuka hati penyedia jasa. Pernah juga tuh, bus SB meninggalkan saya begitu saja dengan alasan bus penuh. Benar-benar menjengkelkan.
Sudah? Belum! Semakin sedih ketika warga menyampaikan keresahan di Instagram milik Pemkot atau Dishub. Jadi, admin Pemkot atau Dishub malah menghapus komentar dengan nada keluhan. Yang sering terjadi adalah admin mengabaikan keresahan warganya sendiri.
Saya sendiri pernah bertanya via DM di akun resmi SB tentang aplikasi Gobis yang tidak berfungsi di iOS. Namun, saya tidak mendapatkan jawaban. Sementara itu, mereka malah membatasi kolom komentar di bagian feed Instagram. Semakin menyedihkan ketika mereka menambahkan keterangan “tidak menerima DM” di bagian bio. Lah terus, memangnya fungsi membuat akun Instagram untuk apa? Apakah biar terlihat keren saja?
Bagus di teori, bobrok di eksekusi
Memang, kota kami ini sering membuat program yang bagus secara teori tapi bobrok dalam eksekusi. Contohnya, meresmikan kendaraan listrik dengan alasan ramah lingkungan. Tapi, seminggu setelahnya, busnya berhenti beroperasi. Meluncurkan Feeder Warawiri dan Suroboyo Bus, tapi kota ini tidak pernah melakukan evaluasi. Kalau busnya sepi, pejabatnya beralasan warga malas naik transum dan lebih suka naik mobil pribadi.
Padahal, selama ini, yang membuat warga Surabaya tergantung dengan mobil pribadi adalah kebijakan Pemkot yang car sentris. Pemimpin kita membangun kota ini dengan spirit menyenangkan kendaraan pribadi. Kita bisa melihat buktinya di Jalan Ahmad Yani. Jalan ini dulunya hanya ada 4 jalur, sekarang bisa lebih dari 10 jalur demi menampung jumlah mobil dan motor yang terus bertambah.
Tahun depan, rencananya, Pemkot juga akan membangun flyover Ahmad Yani dengan alasan mengurai kemacetan. Piye sih, memangnya pelebaran Jalan Ahmad Yani yang ekstrem dan berkonflik dengan warga tidak cukup menjadi pelajaran kalau solusi kemacetan itu bukan pelebaran jalan dan penambahan jalur, tapi transum yang berkualitas.
Saking buruknya pengelolaan transum di Surabaya, kota ini bahkan tidak memiliki bus bandara. Boro-boro punya kereta bandara seperti di Bandara Soetta, YIA, atau Kualanamu. Bandara Juanda itu hanya memiliki bus Damri, itu saja jam operasionalnya hanya sampai pukul 19:30 WIB dengan rute mentok ke Terminal Bungurasih saja.
Banyak pohon tumbang meresahkan pengguna jalan raya
Banyak orang memandang Surabaya sebagai kota yang cantik. Salah satu alasannya adalah ada banyak taman dan pepohonan rindang. Kita Surabaya juga yang menginisiasi aksi menanam pohon tabebuya di trotoar. Banyak kota dan kabupaten lantas mencontoh aksi ini. Kota ini memang juara bersolek.
Selain terlihat indah, pepohonan memang salah satu solusi mengurangi polusi. Namun, pohon-pohon rindang tersebut kini berubah menjadi sosok yang meresahkan lantaran sering tumbang. Dalam satu bulan saja, yaitu Desember 2023, ada 73 pohon tumbang. Beberapa kasus pohon tumbang di Surabaya juga kerap menewaskan pengendara jalan raya.
Pada Jumat lalu, saya juga hampir saja meregang nyawa di Jalan Banyu urip lantaran ada pohon yang patah dan tumbang tepat di depan kap mobil yang saya naiki. Pengalaman tersebut membuat saya trauma. Sampai detik ini, saya belum berani berkendara sendiri di jalan raya.
Menanam pohon memang bagus, tapi kalau tidak ada yang merawatnya secara berkala justru berbahaya dan meresahkan warga. Lha daripada membuat warganya celaka, mending digundulin saja, kan? Nggak usah sok-sokan cantik kalau nggak mampu merawatnya.
Warga Surabaya hidup dengan genangan air
Awal Januari kemarin ini, Pak Walikota sempat menggegerkan warga. Jadi, dia bilang kalau Surabaya tidak banjir, cuma tergenang saja. Pernyataan tersebut tentu saja memicu keributan di media sosial.
Saya, sih, sebenarnya tidak masalah Pak Wali mau menyebut pakai istilah apa. Namun, yang jelas, saat hujan deras mengguyur Surabaya, perjalan saya dari kantor yang berlokasi di Ngagel menuju tempat tinggal saya di Kebonsari akan lebih berat dari biasanya. Jalan yang saya lewati terdapat genangan air yang tingginya di atas mata kaki.
Kalau ada orang yang mengatakan Surabaya indah dan cantik, mungkin mereka belum pernah terendam air di Dukuh Kupang saja. Coba deh, saat hujan lebat, sesekali main-main ke Simo, Gunung Anyar, atau Bratang. Kemungkinan besar kalian akan meralat pernyataan soal yang indah-indah itu.
Kualitas air buruk
Selain kerap banjir, kota kami krisis air bersih. Air PDAM di Surabaya sering berbau amis dan bau besi berkarat. Sudah gitu, warna airnya kuning. Kalau tidak rajin membersihkan kamar mandi, lantainya juga ikutan kuning. Kalau lagi apes banget, airnya juga pliket, teksturnya sedikit berminyak.
Orang dengan kulit sensitif seperti saya sangat tersiksa dan merana dengan kondisi air tersebut. Saya kalau cuci muka dengan air PDAM pasti jerawatan. Akhirnya sekarang saya cuci muka menggunakan air galon.
Desember 2023 kemarin, beberapa warga mengirim petisi ke PDAM supaya meningkatkan kualitas airnya. Tapi, seperti sebelum-sebelumnya, PDAM selalu bilang kualitas airnya sudah sesuai standar. Lama-lama capek sendiri warga yang mengeluh soal air dan pasrah menerima apa yang ada.
Hal yang paling indah di Surabaya bukan tata letak kotanya, tapi warganya
Jika ditanya apakah ada yang perlu dipuji di Surabaya? Saya akan menjawab warganya. Meskipun terlihat kasar, ceplas-ceplos dan misuhan, sesungguhnya orang Surabaya cukup mudah diatur dan tidak begitu rewel.
Selama bisa bekerja, kami ini opo jare penguasa, nggak nuntut aneh-aneh. Karakter inilah yang membuat banyak program kerja yang dibuat Pemkot berhasil, meski program tersebut absurd.
Di Surabaya, ada program yang namanya Kampung Madani dan Kampung Pancasila. Tujuan pemerintah membuat kampung tersebut untuk mengatasi kemiskinan, konsepnya subsidi silang antar-kampung. Jadi, kampung yang kaya akan membantu kampung yang miskin.
Secara ide memang bagus, menekankan asas gotong royong. Tapi, kalau kita telaah lebih dalam, fungsinya pemerintah apa kalau kemiskinan di Surabaya diatasi oleh warga kampungnya sendiri? Konsep seperti ini menghilangkan peran pemerintah kota, kan?
Tapi, lantaran warga Surabaya pada dasarnya memang baik hati, tidak pelit dan santai, program-program absurd tetap berjalan. Unik, kan? Ya itulah Surabaya. Pada akhirnya, hal yang paling indah di Surabaya justru bukan tata kota dan taman-tamannya, melainkan karakter warganya yang mudah diajak kerja sama.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Sebenarnya, Surabaya Maunya Jadi Apa? dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.