MOJOK.CO – Kecewa dengan Surabaya dalam hal apa saja itu nggak salah. Semua terjadi karena kota ini sudah banyak berubah. Ketimbang semakin kecewa, mending angkat kaki.
Maaf saja, kita harus mengakui kalau belakangan ini Surabaya sungguh mengecewakan. Dan, rasa kecewa itu bisa menjadi pertanda kalau kamu sebaiknya segera meninggalkan kota ini.
Banyak kawan saya, terutama yang sebelumnya tinggal di Jakarta, mengatakan kalau hidup dan tinggal di Surabaya jauh lebih manusiawi. Di sini semuanya masih terjangkau, akses ke mana-mana gampang, ditambah nggak perlu tua di jalan. Saya sepakat soal ini, sebab pembandingnya Jakarta, kota yang kelewat remuk. Kota Pahlawan jelas lebih unggul.
Akan tetapi, hal yang sama nggak berlaku kalau pembandingnya daerah lain. Lebih dari itu, sebagai orang yang sudah lama tinggal di sini, saya harus mengaku kalau sebenarnya Surabaya sebenarnya gitu-gitu aja. Bahkan, sekarang, kota ini mulai mengecewakan. Setidaknya ada 15 alasan yang mendasari kekecewaan tersebut.
#1 Teror maling motor yang bertebaran
Kasus curanmor di Surabaya akhir-akhir ini sedang marak terjadi. Saking seringnya, kasus pencurian nggak cuma terjadi di malam, tapi juga siang hari. Bahkan, pelaku nggak ragu melakukan aksinya di tempat-tempat yang ramai orang. Lebih parahnya, motor yang ada di parkiran kos pun nggak luput dari sasaran.
Saya nggak akan berkomentar soal bagaimana tindakan dari aparat penegak hukum, ya. Tapi, yang pasti teror curanmor saat ini mulai meresahkan. Jadi, seakan-akan nggak ada tempat aman di kota ini.
#2 Gangster yang perlahan tumbuh subur
Jika Jogja punya klitih, Surabaya punya gangster. Keduanya sama-sama brutal, meresahkan, dan aktif saat malam. Bedanya, gangster di Kota Pahlawan baru mulai muncul beberapa waktu terakhir. Sudahlah marak curanmor, ditambah ada muda-mudi yang jadi gangster lagi. Dua hal yang cukup untuk menyebut kota ini sebagai “miniatur” Meksiko.
#3 Di Surabaya, hanya ada mall sebagai tempat wisata
Sebenarnya, Surabaya punya beberapa tempat wisata. Misalnya, ada Kebun Binatang Surabaya, Romokalisari Land, pantai Kenjeran, dan lain-lain. Tapi, hampir semua wisata ini nggak optimal fungsinya. Beberapa masalah seperti kebersihan, mahalnya harga tiket, sampai cuaca yang kelewat panas kerap jadi hambatan untuk menikmati wisata yang ada.
Oleh karena itu, satu-satunya “tempat wisata” yang proper di kota ini, ya, cuma mall. Sekarang, bayangkan jika selama bertahun-tahun hidupmu liburannya cuma ke mall, mau?
#4 Kotanya “anyep” dan membosankan
Apakah kalian ingin tinggal di daerah yang nyeni sekaligus kalcer? Apakah kalian tipe orang yang senang berinteraksi di berbagai komunitas? Kalau iya, maka Surabaya bukan jawabannya. Sebab, kota ini cukup “anyep” untuk hal-hal yang berhubungan dengan seni dan komunitas. Di sini, yang lestari hanyalah kebosanan.
#5 Transportasi umum sudah oke, tapi belum memadai
Surabaya memang punya transportasi umum yang sedikit lebih maju daripada daerah di sekitarnya. Tapi, apakah pemanfaatannya sudah optimal? Jelas, belum. Transportasi umum di sini hanya melayani jalan protokol. Itu saja nggak semua.
Jadi, penggunaannya pun masih terbatas di rute-rute tertentu. Ini belum ngomongin masalah soal harga tiket, waktu tunggu antar kendaraan, dan berbagai kekurangan fasilitas lain, lho.
#6 Kondisi jalanan Surabaya itu semrawut
Masalah transportasi umum yang belum memadai memang masih bisa diselesaikan dengan transportasi pribadi, motor, atau mobil. Namun, masalah berikutnya datang dari sikap pengendara di jalanan Surabaya yang cenderung ngawur dan nggak sabaran. Hal ini terjadi terutama ketika di jam-jam sibuk. Selain itu, kondisi ini juga diperparah dengan jalanan yang banyak aspal tambalan atau berlubang. Rumit, ya? Memang.
#7 Tukang parkir liar yang berlipat ganda
Persoalan tukang parkir liar di berbagai daerah memang tak pernah ada habisnya. Hal serupa terjadi di Surabaya.
Bahkan, mereka (baca: jukir liar) ini sebenarnya sering ditertibkan oleh pemkot melalui sejumlah teguran dan sanksi. Tapi, ya, mati satu tumbuh seribu. Lebih parahnya, di beberapa tempat, jukir liar ini berani mematok harga yang nggak ngotak, bisa sampai puluhan ribu per kendaraan.
#8 Panas menyengat di setiap musim
Sudah pengetahuan umum kalau kita nggak bisa memisahkan Surabaya dan panas. Bahkan, di musim hujan, cuaca di kota ini masih tetap sumuk, apalagi kalau musim kemarau. Saking panasnya, sampai ada kelakar kalau menerjang jalanan Surabaya di siang hari itu perjuangannya satu level di bawah jihad.
#9 Bahaya di musim hujan yang mengintai
Kalau musim kemarau di Surabaya itu menyebalkan, maka musim hujan di kota ini mengkhawatirkan. Bukan tanpa alasan, sebab akan ada potensi pohon tumbang di jalanan yang bisa saja mengancam nyawa pengendara. Selain itu, beberapa titik di kota ini juga masih sering banjir, bahkan bisa sampai setinggi betis orang dewasa, lho.
#10 Kualitas udara di Surabaya termasuk kurang baik
Merujuk pada data IQAir, kualitas udara di Surabaya termasuk dalam kategori sedang sampai tidak sehat bagi kelompok sensitif. Fakta di lapangan juga menunjukkan hal yang sama, polusi dari kendaraan, debu, dan berbagai aktivitas industri memang membuat bernafas di kota ini jadi sedikit nggak nyaman.
#11 Lelah dengan kehidupan serba cepat
Kalau kalian mendambakan kehidupan yang berjalan santai, maka itu adalah pertanda untuk meninggalkan Surabaya. Sebab, di sini kehidupan mulai berjalan serba cepat. Memang belum secepat di Jakarta, tapi saya yakin sebentar lagi kota ini juga akan sampai di titik itu. Jadi, coba segera pertimbangkan pindah daerah lain sebelum terlambat.
#12 Kualitas air yang buruk
Nggak tahu kenapa, kota besar cenderung identik dengan air yang kurang layak, termasuk di Surabaya. Air di sini itu kadang bau, keruh, juga rasanya aneh. Bayangkan, hal sepenting mendapatkan air yang benar-benar bersih aja masih bermasalah. Ditambah, sekarang, banyak pipa bocor akibat proyek gorong-gorong.
#13 Seandainya Kaesang beneran jadi wali kota
Belakangan, di Surabaya sedang viral banner dukungan pada Kaesang untuk menjabat jadi Wali Kota Surabaya. Kalau saja ini beneran terjadi, maka pastikan kalian segera mengemasi barang-barang dan pergi jauh dari kota ini. Bukannya saya kelewat benci dengan Kaesang.
Alasannya sederhana, Eri Cahyadi saja yang jelas-jelas warga lokal masih sering mendapat protes karena dianggap nggak ngurusin kota ini dengan benar. Apalagi Kaesang yang nggak ngerti seluk-beluk Surabaya.
#14 Muak dengan pencitraan dan polusi suara di lampu merah
Saya nggak tahu di daerah lain ada kayak gini atau nggak. Tapi, yang jelas lampu merah di Surabaya itu jadi tempat pencitraan wali kota. Bayangkan, di tengah terik matahari yang menyengat, kalian masih harus mendengar rekaman suara berisi janji manis dan hampir omong kosong. Sungguh inovasi yang nggak penting dan memuakkan.
#15 Kalau sudah terlanjur kecewa dengan Surabaya
Terakhir, saya hanya mau menyampaikan kalau nggak ada yang salah jika kalian kecewa dengan Surabaya dalam hal apa saja. Nggak perlu terus-terusan menutup mata sambil berharap kota ini selamanya baik-baik saja. Sebab, memang ada kemungkinan akan begitu, tapi juga ada kemungkinan sebaliknya. Lagi pula, bisa jadi kekecewaan adalah salah satu pertanda untuk mencari tempat dengan suasana dan tantangan baru.
Penulis: Dito Yudhistira Iksandy
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jalan Banyu Urip Surabaya Adalah Simulasi Neraka, Tidak untuk Pengendara Motor Cupu dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.