MOJOK.CO – Saya nggak pernah menyesal sudah membangun dan tinggal di rumah kontainer. Bagi saya, ini seperti mimpi yang menjadi nyata.
Sudah 2 tahun ini saya tinggal di dalam rumah kontainer ukuran 20 feet, tepatnya 6 x 2,4 meter persegi. Kalau kalian tinggal di Jogja, di area dalam benteng Kraton sisi timur, kalian akan menemukan sebuah kontainer warna biru di mana saya tinggal… yang kemudian kalian akan bertanya-tanya: “Lho gimana caranya bisa ada kontainer masuk sini,” yang mana juga senada dengan kegumunan banyak orang selain warga sini yang kebetulan lewat.
Saya besar di Jogja. Namun, setelah lulus S1, saya pindah ke Jakarta. Sejak 2017 lalu, saya putuskan untuk tinggal di kota ini lagi untuk menemani ibu saya yang sudah sepuh.
Ada beberapa alasan saya memilih untuk tinggal di rumah mungil yang tidak biasa ini. Intinya, saya butuh tempat yang cepat dan milik saya sendiri. Saya belum berumah tangga. Sebelumnya, kalau pulang ke Jogja, saya menumpang di rumah saudara.
Sayangnya, saya nggak paham apa-apa tentang mendesain dan membangun rumah serta pertukangan. Saya hanya punya sebidang tanah kecil pemberian orang tua. Lalu, terinspirasi dari pengalaman saya melihat langsung beberapa rumah atau kantor berukuran mikro hasil konversi dari kontainer dan gerbong kereta di luar negeri, saya pikir, sepertinya menarik nih kalau saya coba buat yang serupa di sini.
Saya membeli kontainer bekas ini di area pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Maunya sih saya beli 2, tapi karena keterbatasan lahan dan lokasi, akhirnya saya putuskan beli satu dulu saja.
Ketika kontainernya sampai ke sini, wah, ini satu cerita yang seru. Karena ini area kota, dari pihak penjual dan supir setuju untuk mengantar kontainer tepat pukul 12 malam biar jalanan sepi. Sebelumnya, saya infokan dulu rencana kedatangan ini ke RT/RW setempat dan beberapa tetangga sekitar. Seorang tetangga saya ada yang bilang, “Nanti kalau udah mau dateng, saya dikasih tahu ya, saya pingen lihat.”
Lahh… wqwqw
Tengah malam itu, saya agak syok ketika melihat ukuran truk trailer yang datang. Sementara itu, forklift sudah menunggu di lokasi. Karena kegaduhan yang ada, para tetangga pada bangun dan keluar menonton. Saat itu saya sangsi kalau kontainernya bisa masuk dan, beneran, di belokan terakhir, supir truk sempat menyerah. Seorang teman bilang kalau ada tetangga yang kira-kira nyeletuk, “Udah Mas, kontainernya digotong aja rame-rame.”
Badalaaah… seru juga tuh kalau warga sini ramai-ramai menggotong kontainer itu. Pasti viral.
Tapi alhamdulillah, nggak perlu sampai membangunkan semua warga buat menggotong. Dibantu beberapa teman di sini, proses “pendaratan” berlangsung selama kira-kira satu jam saja.
Pelan-pelan, saya dibantu beberapa teman dan tenaga tukang mengonversi kontainer ini menjadi rumah mikro hingga selesai pada 2019. Pelan-pelan itu maksudnya pelaaan sekali. Selain ada beberapa kali masalah keluarga, seperti yang saya bilang tadi, saya nggak tahu soal pertukangan. Jadi, semuanya harus saya pelajari dari nol.
Desain rumah kontainer ini adalah sebuah pengejawantahan dari diri saya, seperti sebuah mimpi yang menjadi nyata. Ini adalah hal yang paling saya sukai dari tinggal di rumah ini. Saya memang agak anti-mainstream dari kebanyakan orang lain di sekitar saya. Lalu, sejak kecil saya memang memiliki ketertarikan di bidang seni dan desain, tapi tidak pernah serius di situ. Alih-alih, saya kuliah di jurusan akuntansi yang, setelah lulus dan bekerja beberapa tahun sesuai jurusan saya, kok saya merasa apa yang kerjakan tidak riil dalam artian tidak ada sesuatu yang berwujud fisik yang saya hasilkan (kecuali gaji tentu saja), dan saya merasa ada yang “kosong” di situ.
Ya iyalah, namanya juga jurusan ilmu sosial… serba ngawang, serba relatif dan (kadang) membutuhkan imajinasi tingkat dewa.
Lalu karena ukurannya mikro, tidak perlu waktu lama untuk membersihkan rumah kontainer ini. Karena dari awal ukuran rumahnya sudah kecil, maka saya dari awal sudah dipaksa untuk tidak memiliki banyak barang. Jadi, nggak perlu merapikan barang-barang dengan metode ala Marie Kondo itu. Lha wong barangnya aja dikit, kok.
Bagusnya lagi, no tikus dan no bocor-bocor kalau hujan. Lebih tahan gempa pula (insyaallah). Enak kan?
Rumah kontainer saya ini seperti sebuah apartemen studio. Dapur mungil, ruang tamu/makan dan ruang tidur di ruangan open plan seluas 14 meter persegi tanpa sekat (hanya ada partisi untuk bilik shower). Tempat tidurnya kecil model lipat kustom dan ada hammock untuk leyeh-leyeh kalau lelah.
Namun, karena open plan, kalau ada tamu, entah kenapa, kadang saya merasa terekspose karena sang tamu juga otomatis berkunjung ke kamar tidur saya. Ini adalah satu hal di mana saya butuh waktu untuk terbiasa.
Kemudian, karena kecil, hanya ada bilik shower di dalam. Saat dulu dibangun, saya pikir-pikir, agak riskan soal bau dan kerumitan membangun sistem pembuangan WC di dalam rumah kontainer. Jadi, WC hanya ada di kamar mandi di luar. Oleh karena itu, kadang kalau tengah malam kebelet pipis, saya mesti keluar rumah ke kamar mandi belakang. Kadang berasa agak spooky karena sepi. Ya masak saya mesti tidur pakai pempers ya kan.
Lalu, rumah kontainer ini mengusung konsep ramah lingkungan… ya, sebisa mungkin sih ya. Karena itu, saya tidak pasang AC. Jadi, terlepas dari lapisan insulasi yang sudah dipasang, kalau pintu dan jendela tidak dibuka lebar-lebar, saat siang bisa lumayan gerah. Bagusnya, pintu masuk utama rumah ini mengarah ke halaman samping dan bukan ke arah jalan. Nggak besar, tapi ada rumput dan beberapa tanaman. Jadi, kalau pintunya dibuka lebar-lebar, malah lumayan dapat sedikit pemandangan ijo royo-royo.
Saya senang menjelaskan kalau ada yang bertanya tentang latar belakang dibangunnya rumah kontainer ini. Menurut saya, ada sedikit unsur mengedukasi bahwa tidak selamanya bentuk rumah tinggal itu ya seperti itu, dan bahwa yang paling utama dibutuhkan adalah i-ma-ji-na-si seperti kata Spongebob (selain uang ya).
Namun demikian, saya paham betul kalau rumah berukuran mikro itu bukan untuk semua orang, apalagi rumah kontainer. Buat sebagian orang itu menarik, tapi untuk sebagian lainnya tampak aneh dalam artian jelek, kurang layak, dan sejenisnya. Cukup adil sih ya. Dan iya, kadang saya berandai-andai seandainya saya membangun rumah konvensional dengan ukuran yang lebih luas dengan kamar-kamar di dalamnya.
Menyesal?
Ya nggak lah. Terlepas dari semua kekurangannya, pengalaman membeli, membangun dan tinggal di rumah kontainer ini sungguh sebuah proses pembelajaran yang sangat berharga buat saya dan, seperti yang saya bilang tadi, ini ibarat sebuah mimpi yang menjadi nyata. Dan saya adalah seseorang yang suka mengejar mimpi.
Tapi setelah itu, saya sadar dan terpikir, lha besok kalau saya memutuskan untuk berumah tangga, istri sama anak saya mau ditaruh mana coba? Masak dititipkan di rumah saudara lagi.
BACA JUGA Derita Rumah Pinggir Jalan dan Usaha Bersyukur Udah Nggak di Kontrakan dan tulisan menarik lainnya di rubrik ESAI.