Perusahaan ingin melihat apa, sih, dari skor BI Checking pelamar kerja?
Pertama, dalam rangka mengurangi, sekaligus menghindari ketidaknyamanan manajemen dan/atau staf direksi saat ada penagih melalui telepon atau datang langsung ke kantor. Jika kalian anggap ini termasuk hal sepele, wajar, atau punya niatan normalisasi, lebih baik urungkan pikiran tersebut. Hal ini bisa menjadi bumerang bagi karyawan. Apalagi jika penagih sudah ada di tahap meneror. Serius, ini akan sangat menyebalkan sekali dan berpotensi bikin ramai seisi kantor.
Kedua, untuk posisi tertentu yang sangat rentan dengan kerahasiaan data, apalagi masih berkaitan dengan penagihan melalui telepon atau secara langsung, hal ini akan menjadi salah satu syarat. Sederhananya, masa, sih, mau menagih cicilan, tapi karyawan belum menyelesaikan tunggakannya? Jika sampai nasabah mengetahuinya, hal ini juga bisa jadi bumerang bagi perusahaan dan pekerja itu sendiri.
Ketiga, menjawab asumsi berseliweran di media sosial yang menyatakan bahwa, “Perusahaan ingin melihat, dari pinjaman yang diajukan oleh pelamar kerja, apakah yang bersangkutan cukup bertanggung untuk membayar secara rutin sesuai perjanjian atau malah sebaliknya, cicilan yang berakhir dengan status tunggakan. Gitu aja nggak tanggung jawab, apalagi sama kerjaan. Terus, nanti kalau fraud dengan alasan mau bayar cicilan, gimana?”
Asumsi tersebut bersifat 50:50. Tergantung sudut pandang penilaian dari masing-masing perusahaan. Alias, bisa iya, bisa juga tidak. Ya, namanya juga asumsi dan/atau kekhawatiran, kan.
Kelemahan yang muncul
Bagi saya, penerapan syarat skor BI Checking pun bukan tanpa kelemahan. Apalagi jika menjadikannya sebagai syarat mutlak tanpa pertimbangan lainnya. Sederhananya, pelamar kerja potensial dan memiliki kompetensi sesuai kebutuhan bisa lepas begitu saja tanpa pertimbangan mendalam. Jika sudah demikian, apa nggak sayang budget perekrutannya, tuh, Bos?
Pertanyaan saya, jika memang skor BI Checking menjadi syarat mutlak lolos atau tidaknya pelamar kerja, buat apa HRD atau rekruter susah-payah melakukan proses screening CV, wawancara, probing, psikotes, sampai melaju ke tahapan berikutnya? Buat apa, hayo? Kalau memang demikian, sejak awal ya langsung meminta BI Checking saja. Kemudian infokan lolos atau tidaknya berdasarkan skor BI Checking-nya.
Jika memang mau mencantumkan syarat skor BI Checking pada info lowongan kerja, mungkin akan lebih baik menjadikannya bahan pertimbangan, bukan sebagai penentu hasil akhir. Agar proses seleksi karyawan tidak flat, tidak menyia-nyiakan kandidat potensial, dan budget rekrutmen bisa tepat guna.
Ada sebuah win-win solution yang bisa menjadi pilihan. Jadi, kalau memang masih ragu dengan hasil skor BI Checking kandidat yang kurang mumpuni, perusahaan bisa mendiskusikannya dengan pelamar lalu membuat kesepatakan. Misalnya, apakah memang bersedia melunasi cicilan atau tidak. Menanyakan terlebih dahulu kendalanya di mana dan seperti apa. Kamu bisa memilih opsi ini jika kandidat memang potensial dan sesuai kebutuhan perusahaan.
Terakhir, apakah bersedia jika mengakhiri kontrak seandainya ada hal-hal yang terjadi dan termasuk ke dalam kategori tidak menyenangkan. Nggak perlu memaksakan, sih, apabila memang memang memberatkan bagi salah satu pihak dan tidak terjadi kesepakatan. Yah, ketimbang nggak membikin nyaman, kan.
Penulis: Seto Wicaksono
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 5 Jenis Utang Positif yang Perlu Kalian Tahu dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI