MOJOK.CO – Izinkan saya mengirim doa untuk kamu yang sedang didera depresi, dorongan self-harm, sampai epilepsi. Kamu tidak sendirian, teman. Be strong.
Artikel di bawah ini murni karena saya ingin berbagi cerita tentang pengalaman dan mungkin dapat memicu dorongan self-harm bagi para pembaca. Kunjungi psikolog terdekat apabila Anda merasa memiliki ide untuk melakukan sesuatu seperti melukai diri atau bahkan bunuh diri.
Nama saya Banna Rosyid Madani. Pada kesempatan kali ini, saya ingin bercerita atau lebih tepatnya sih berbagi pengalaman. Sebuah pengalaman yang sangat membekas setelah sempat mengalami suatu keadaan yang dapat dikatakan sebagai gangguan mental. Depresi.
Pertama, saya kira sebaiknya kita kenalan dahulu. Saya adalah seorang Mahasiswa Psikologi di Universitas Negeri Malang (UM).
Yang belum kenal, UM itu tetangganya UB (Universitas Brawijaya). By the way, saat ini saya sedang menempuh semester enam.
Saya paham dan percaya pasti kebanyakan dari kalian sedang bertanya-tanya juga. Kok mahasiswa Psikologi malah ikut-ikutan depresi dan menderita sesuatu yang disebut kelainan mental kayak begitu, sih?
Jadi, sebelumnya, saya tidak pernah didiagnosa memiliki suatu kelainan mental. Dulu, saya memang tidak langsung mencari bantuan profesional ketika tekanan itu semakin berat saya rasakan.
Saya sendiri tumbuh di keluarga yang baik-baik saja. Saya menjadi anak yang bahagia tanpa mengenal suatu permasalahan. Ketika masih kanak, saya tidak pernah mengalami trauma. Masa kecil saya seperti masa kecil pada umumnya.
Namun, semenjak menginjak kelas empat SD, saya mengalami sebuah kejadian yaitu kelainan emosional untuk kali pertama. Dengan kata lain: depresi.
Kalian tidak salah baca. Menginjak kelas empat SD, saya dipindah ke pondok. Tiga bulan berjalan, rasa betah tak kunjung datang. Waktu itu saya belum bisa memahami apa itu pergantian suasana. Apalagi, waktu itu, untuk kali pertama, saja jauh dari orang tua, rumah, dan teman-teman sepermainan.
Yah, sebenarnya, sangat tidak baik ketika saya, secara sadar, menyebutnya sebagai depresi. Sekali lagi, waktu itu, saya belum pernah bertemu dengan tenaga ahli. Namun, saat itu saya tidak punya istilah lain untuk menggambarkan kegelisahan yang terjadi. Saya menentukan sendiri bahwa itu depresi.
Rasa tidak betah itu menjadi sangat asing karena desakannya sangat berat di dada. Linglung. Pening. Hampir setiap saat saya menangis. Memohon kepada penjaga pondak dan kepada orang tua yang “memaksa” saya masuk pondok.
Untuk dicatat, saya tidak membenci pondok. Saya hanya tidak bisa menemukan solusi dari rasa tidak betah yang menjadi kegelisahan yang teramat sangat.
Singkat cerita, setelah mengalami sebuah gejolak emosional yang teramat sangat, saya sampai kejang-kejang. Kesadaran saya hilang. Dada sangat sesak.
Setelah menjalani pemeriksaan, saya didiagnosa sebagai penderita epilepsi. Mulai detik itu, penderitaan mulai datang. Lebih berat untuk saya pribadi. Desakan yang teramat sangat itu menjadi epilepsi yang bersemanyam sampai hari ini.
Apa itu epilepsi?
Epilepsi adalah gangguan pada sistem saraf pusat akibat pola aktivitas listrik yang berlebihan di otak. Hal ini menyebabkan penderitanya mengalami kejang secara berulang pada sebagian atau seluruh tubuh.
Kejang-kejang yang terjadi bisa di mana saja dan kapan saja. Ketika kegelisahan datang, epilepsi saya bisa kumat sewaktu-waktu.
Saya tidak boleh sampai lupa minum obat anti-kejang. Harus minum sesuai dosis yang diberikan. Tidak boleh lupa. Jika lupa dan kejang-kejang datang, saya harus “mengulang” pengobatan. Syarat mutlak untuk “dianggap sembuh” adalah selama satu tahun penuh saya tidak kejang-kejang. Obat yang diminum secara rutin membantu untuk menekan potensi tersebut.
Rutin minum obat. Dosisnya sudah disiapkan. Semua tampak mudah. Namun, pada kenyataannya, seminggu sekali, epilepsi saya kumat. Penyebabnya juga sangat random. Bahkan sering terjadi ketika saya sedang mengendarai sepeda motor.
Betul, kamu tidak salah baca. Sudah terlalu sering saya kecelakaan karena tiba-tiba saja epilepsi saya kumat.
Dulu, kadang saya bingung sama kondisi ini. Seperti yang sudah kalian ketahui, epileksi “kumat” ketika terjadi kejadian yang emosional, mengganggu, bahkan mengguncang seperti stres dan depresi. Sementara itu, depresi saya dari kelas empat SD sampai kuliah tak benar-benar tuntas.
Jadi, ketika begitu banyak pikiran menekan isi kepala dan dada, gejala depresi muncul. Kejang-kejang terjadi. Lalu depresi. Tak lama kejang-kejang lagi. Lalu depresi lagi. Semuanya seperti berputar di lingkaran setan.
Ketika semua doa, segala obrolan, beragam obat, tak berhasil menenangkan semua tekanan ini, melukai diri sendiri jadi terlihat sangat menarik. Saya putus asa. Saya ingin hidup saya lebih ringan. Percobaan pertama. Melukai tangan dan lengan menggunakan cutter ternyata menjadi pilihan paling manjur.
Waktu itu belum lama saya masuk kuliah. Saya belum tahu sama sekali soal bahayanya self-harm. Intensitasnya mulai lebih sering seiring waktu. Saya tidak bisa berpikir jernih.
Pernah suatu kali. Kejadiannya di rumah makan dekat kampus. Selepas kuliah, saya makan sendirian. Saya selalu merasa lebih nyaman jika sendirian. Belakangan, saya punya kepribadian introvert setelah melewati tes psikologi MBTI (Myers-Briggs Type Indicator).
Ketika sedang makan, pikiran-pikiran dengan tema penyesalan dan merutuki diri sendiri tiba-tiba muncul.
“Kapan saya tidak perlu minum obat lagi?”
“Sampai kapan saya merasa kesepian?”
“Sampai kapan saya harus melukai tangan dan lengan?”
“Kapan saya jadi normal?”
Saya merasa kesepian.
Sedetik setelah rasa kesepian itu muncul, tiba-tiba saya kehilangan kesadaran. Saya terbangun dengan kondisi terbaring di lantai rumah makan dan diberi sebuah bantalan tas.
Dalam benak saya, “Aduh, pasti habis kejang-kejang lagi.”
Saya terbangun dengan kondisi kepala berdarah dan gigi depan copot. Saya langsung terbangun dan buru-buru berterima kasih kepada mereka yang telah baik hati dan menangani saya setelah epileksi saya kumat.
Mereka sempat menahan saya, ketika saya berusaha berdiri dan ingin langsung pergi. Namun, menjadi pusat perhatian, berada di bawah tatapan banyak pasang mata, malu, sakit, semua perasaan negatif masih terbayang, membuat saya tidak nyaman. Meski belum stabil, saya memaksa untuk pergi setelah menyorongkan sejumlah uang untuk membayar makanan saya. Saya tidak ingat nominal uang yang saya sorongkan. Semoga saja tidak kurang.
Kejadian seperti di atas sering terjadi. Di rumah makan, sampai di tengah jalan. Sesampainya di rumah, gejala depresi selalu terasa lebih kuat. Pilihan self-harm semakin menarik saja setiap harinya. Dan sialnya saya, self-harm justru ampuh mengurangi tekanan di dada. Rasa sakit di tangan dan lengan jadi terasa lebih indah.
Darah yang mengalir dari lengan itu seperti membawa beban yang luber dari dada. Sesuatu yang bagi saya terasa sangat “ekstrem” itu harus dikeluarkan. Dan aliran darah dari lengan seakan-akan jadi solusi mengurangi tekanan dari dalam bendungan gejala depresi berat.
Pilihan untuk menyakiti diri sendiri itu berlangsung agak lama. Saya mulai bisa belajar meredam dorongan self-harm setelah banyak belajar di Fakultas Psikologi tempat saya kuliah.
Dari banyak teori dan penelitian, ada banyak alasan dorongan self-harm muncul. Salah satu yang cocok dengan saya adalah tekanan emosional yang tidak terselesaikan sejak kanak. Apalagi setelah itu dilanjut epilepsi, kejang-kejang yang menambah tekanan ke gejala depresi saya.
Self-harm yang saya lakukan jadi semacam kanalisasi aliran depresi itu. Saya ingin merasa “lebih hidup” di tengah depresi ini. Dan rasa perih dan sakit, segala darah yang mengalir itu memberi solusi.
Jujur, saya agak beruntung diterima di Fakultas Psikologi. Saya bisa belajar sendiri tentang gejala depresi, pengaruh epilepsi, hingga self-harm. Selain itu, saya bisa bertemu beberpa orang, yang kompeten di bidangnya, untuk menjadi teman berdiskusi, ngobrol apa saja, sampai curhat. Ingat, jangan melakukan self-diagnosis, ya.
Perlu waktu agak lama bagi saya untuk “perlahan sembuh” dari dorongan self-harm. Kini, tentu masih terus belajar, saya mulai bisa menerima diri saya sendiri apa adanya.
Menerima diri sendiri, sebagai orang dengan epilepsi, yang harus siap menghadapi kejang-kejang kapan saja, di mana saja. Menerima diri sendiri, dengan depresi dan sesaknya tekanan di dada.
Buat kamu, pembaca yang baik, yang ingin mencoba, setidaknya mengurangi beban di dada, bisa mencoba cara sederhana yang saya pakai. Cara yang saya maksud adalah metode gratitude journal.
Gratitude journal adalah sebuah buku kecil tempat kamu fokus menuliskan satu kebaikan atau rasa syukur dalam satu hari. Bagi saya, gratitude journal adalah sebuah buku kecil, atau apa saja medianya, untuk menuliskan perasaan dan emosi yang sedang saya rasakan.
Setelah menuliskannya, saya tumpahkan perasaan saya di saat itu juga. Intinya adalah mencatat emosi yang sedang kamu rasakan, lalu menghadapinya. Bukan “barang asing” di dalam diri, tapi juga bagian dari dirimu. Apa adanya.
Metode ini, perlahan menjauhkan saya dari dorongan untuk melakukan self-harm. Setidaknya menjaga pikiran saya untuk tidak lagi asing dengan “sesuatu” di dalam diri. Membantu saya menghadapi “lingkaran setan” depresi-epilepsi-depresi.
Begitulah teman-teman, curhat pendek ini. Mungkin ini lebih kepada saya yang ingin mengeluarkan emosi. Tulisan ini juga bisa dianggap sebagai gratitude journal yang berhasil tayang di Mojok.
Cerita saya hanya sebagian kecil dari beratnya depresi yang banyak dari kalian hadapi setiap hari. Mungkin, tulian ini tidak bisa menjadi jalan keluar. Masing-masing punya depresi, yang kedalamannya berbeda dan masing-masing punya cara untuk menghadapinya.
Oleh sebab itu, izinkan saya menutup tulisan ini dengan doa sederhana. Untuk teman-teman semua yang sedang bergumul dengan depresi masing-masing.
Hang in there, my friend. Kamu tidak sendirian. Mari saling menguatkan. Semoga kita semua diberkahi dengan kesehatan dan kekuatan batin setiap harinya. Semoga hari-hari kalian diberkahi dengan kebahagiaan dan kecukupan cinta.
BACA JUGA Hari Kesehatan Mental Sedunia yang Sepi dan cerita menyentuh lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Banna Rosyid Madani
Editor: Yamadipati Seno