MOJOK.CO – Di mata saya, Mami Lili, bekas PSK Gang Dolly, “makelar kelegaan”, pemandu karaoke, dan semua orang di sana adalah manusia sebagaimana mestinya.
Sebuah gang legendaris. Berisi wisma-wisma mungil peninggalan zaman Belanda. Konon, gang ini menjadi pusat prostitusi terbesar di Asia Tenggara. Mungkin kamu mengenalnya sebagai tempat lokalisasi yang pernah menampung seribu pekerja seks komersil saja. Namun, bagi saya, Gang Dolly menyimpan “kenangan romantis” bersama nenek saya. Seorang warok (mucikari) penuh kasih sayang dari Gang Dolly.
Bicara soal bisnis Gang Dolly pasti tak lepas dari istilah “mami”. Mereka adalah orang terpenting dalam bisnis prostitusi. Orang yang punya kuasa terhadap wisma dan punya tugas menyeleksi siapa yang bisa “ikut bekerja” dalam bisnisnya.
Dulu, waktu saya masih bocah, ada seorang mami yang lumayan powerful. Orang sana mengenalnya dengan nama Mami Lili. Ada juga yang menyebutnya Nenek Lili. Iya, dia adalah nenek saya.
Saya dan saudara-saudara saya memang memanggilnya Mami Lili. Namun, sebenarnya, dia bukan saudara sedarah. Karena kedekatan yang terjalin di keluarga, ibu menyuruh saya memanggilnya Nenek Lili, meskipun kalau ngobrol langsung, saya lebih nyaman memanggilnya Mami Lili.
Melihat Gang Dolly untuk kali pertama
Tahun 2010, untuk pertama kalinya, saya berkunjung ke rumah Mami Lili di Gang Dolly. Dulu, waktu masih bocah, tentu saya belum memahami betul kalau ternyata kawasan itu adalah tempat prostitusi.
Gang Dolly, seperti “biasanya” lokalisasi, disusun dari deretan rumah kecil yang memadati sebuah gang. Meskipun terbilang sempit, gang legendaris ini selalu ramai orang. Siang, malam, subuh. Suasananya seperti pasar malam yang dipindah ke gang sempit. Sebagai bocah, saya menyukai keramaian yang terbangun di sana. Semua orang selalu ramah kepada siapa saja, terutama anak kecil.
Jadi, rumah Mami Lili memang agak lebih besar dibandingkan tetangga. Mami menyatukan dua rumah jadi satu. Jadi, Mami bisa “menampung” banyak anak asuh di sana.
Tidur di rumah Mami Lili memberi “suasana baru” yang tentu bikin bingung anak kecil. Di sana, ada sekitar delapan perempuan muda. Usianya mungkin awal 20an. Tinggi jangkung dan tentu saja cantik. Mereka baru bangun tidur dan hanya mengenakan selimut pantai. Pemandangan yang sungguh “tidak terduga”. Saya pikir mereka anak Mami Lili.
“Mi, itu siapa?”
Saya pernah melemparkan sebuah pertanyaan dengan polosnya.
“Oh, mbak-mbak itu kerja sama Mami. Tidurnya di sini juga. Udah kenalan belum?”
Mami mengenalkan saya kepada mbak-mbak itu tadi dengan sedikit godaan ala-ala orang dewasa menggoda anak-anak. Saya, sih, senang saja karena mereka ramah. Selain baik kepada semua penghuni, mereka juga respect kepada cucu bosnya. Mungkin, sih.
Seperti yang saya singgung di atas, di rumah itu ada delapan “anak asuh”. Usia mereka antara 19 sampai 23 tahun. Rata-rata berasal dari Jawa Timur. Mereka merantau ke Surabaya dan berakhir di Gang Dolly dengan berbagai alasan.
Kegiatan di Gang Dolly di mata anak kecil
Jadi, Gang Dolly baru terlihat “hidup” di siang hari. Pagi harinya, selepas pukul enam pagi, biasanya malah masih sepi-sepi saja.
Menjelang siang, kegiatan yang saya saksikan ya seperti kampung pada umumnya. Mbak-mbak yang tinggal di rumah Mami Lili mulai mencuci, membersihkan rumah, lalu menonton televisi. Sisanya lebih banyak bersantai.
Menjelang sore, “kegiatan lain” mulai bergeliat. Mereka mulai berdandan dengan cekatan. Dandan menor. Waktu itu saya mengira mereka hendak menyanyi di orkes kampung. Maklum, pengalaman saya akan dandanan menor waktu itu masih terbatas ke penyanyi orkes. Ya beda, sih, kalau pengalaman saya yang sekarang. Lumayan “paham”, ya. Hehehe….
Selepas dandan, mereka mematut diri di depan cermin. Menyandang tas kecil, memilih sepatu hak tinggi, dan biasanya sambil mengempit rokok di jari-jari tangan. Selesai dandan, kompak mereka “pamitan” ke Mami Lili untuk berangkat kerja menembus Gang Dolly yang mulai pikuk. Mereka bersalaman dengan Mami Lili sampai cium tangan. Seperti anak kecil pamit mau sekolah.
Pukul delapan malam, saya diajak Mami Lili jalan-jalan menelusuri Gang Dolly. Hampir setiap rumah memasang lampu cabe warna-warni. Sungguh menyenangkan di mata anak kecil. Musik dangdut berkumandang dengan volume kencang. Seakan-akan setiap rumah berbenturan suara musiknya.
Mami Lili menjelaskan bahwa dia punya rumah lagi yang hanya berjarak tiga petak dan satu warung dari rumah yang pertama. Titik tersebut jadi lokasi mbak-mbak tadi untuk bekerja.
Waktu itu, saya melihat kerja mereka untuk menemani orang yang mau karaoke. Di sana saya juga melihat banyak perempuan muda duduk di sofa panjang, mengobrol, merokok, dan ada satu atau dua orang lelaki yang berdiri di depan teras, sambil menawarkan orang untuk masuk ke ke sana.
Itu pengalaman saya waktu masih kelas enam SD. Namun, suasana gemerlap dan ingar bingar manusia di sana sangat berbekas di kepala. Banyak pertanyaan yang bergelayut tentang Gang Dolly yang tak pernah saya tanyakan ke Mami Lili. Sampai remaja, pertanyaan-pertanyaan itu saya simpan.
Yah setidaknya, soal kehangatan dan kasih sayang dari “pekerja” yang dipandang miring oleh masyarakat berhasil saya rekam. Di tengah cibiran, mereka selalu baik kepada sesama dan itu cukup.
Ingatan saya tentang warok Gang Dolly
Beberapa tahun lalu saya sempat bertemu lagi dengan Mami Lili. Setelah lama tidak bersilaturahmi, saya kangen betul sama Mami Lili.
Salah satu obrolan di tengah kangen-kangenan kami adalah tentang status warok atau mucikari yang disandang Mami Lili. Dan baru beberapa tahun yang lalu saya tahu kalau bisnisnya di Gang Dolly terbilang cukup besar.
Mami Lili membangun usahanya pada 2004. Rumah pertama di Gang Dolly langsung dipakai untuk “usaha”. Bagian depan terdapat dua kamar yang digunakan untuk “main”. Bagian belakang hanya berupa kamar berukuran kecil sebagai tempat istirahat Mami Lili. Waktu itu dia hanya punya lima pekerja yang belum menetap dan satu “makelar”.
Dua tahun berjalan, bisnisnya berkembang sangat pesat. Hanya dalam waktu dua tahun itu, Mami Lili berani membeli wisma di samping rumah. Mami menyatukan dua rumah itu supaya tempat usahanya di Gang Dolly jadi lebih nyaman dan profesional.
Rumah pertama direnovasi, ditambah beberapa kamar untuk tempat tinggal “anak asuhnya”. Kata Mami, “Kasihan, kan. Perantau semua. Daripada kos, mending tinggal sama Mami aja. Yang penting listrik diisi, makannya beli patungan, dan bersihin rumah secara bergantian.”
Mami makin semangat bercerita ketika masuk ke bagian masa jayanya di Gang Dolly. Di puncak bisnis, Nenek punya lebih dari 12 pekerja dengan keunggulan semuanya masih muda. Mereka semua juga diberi jatah untuk ke salon setiap bulan. Katanya untuk hiburan dan sebagai usaha menjaga kualitas kecantikan. Yah, tentu biar makin banyak pelanggan.
Soal gaji, para pekerja di Gang Dolly, rata-rata menerima 25 persen, ada yang lebih, dari total pemasukan. Sisanya untuk Mami dan makelar yang berhasil membujuk orang untuk “datang berkunjung dan pulang dengan lega”. Paham, kan….
Oya, soal latar belakang para pekerja belum saya ceritakan. Rata-rata, mereka bekerja karena faktor ekonomi. Ada yang broken home sampai ada yang tidak bisa melanjutkan sekolah karena faktor biaya. Mereka datang tanpa paksaan. Mami Lili sendiri selalu memastikan pilihan, sampai titik terakhir, untuk dipertimbangkan betul ketika mereka mau jadi “anak asuh” Mami.
Jika dideskripsikan, Mami Lili adalah sosok orang tua dengan style kebarat-baratan. Jika berdandan selalu menor dengan warna bibir merah merona. Dia senang bermain kartu ramalan, kadang juga bermain togel kalau pengin, menjadi perokok aktif walau usianya sudah di atas 60 tahun, ugal-ugalan jika berbicara, suka memutar lagu jazz lawas tahun 70an.
Setelah delapan tahun mengepakkan sayap di Gang Dolly, di penghujung 2012, Mami menutup segala bisnisnya. Saya tidak tahu alasannya sampai sekarang. Mami juga enggan bercerita.
Setelah menutup bisnisnya, Mami menjalani hidup seperti nenek-nenek pada umumnya di Surabaya dan masih di Gang Dolly. Sesekali dia berkunjung ke rumah saya di Jember. Mami tinggal sendirian. Anak-anaknya entah ke mana. Saudara-saudaranya juga menghilang tidak ada kabar pasti.
Saya sempat bertanya untuk terakhir kalinya perihal Gang Dolly dan kehidupannya dulu. Terutama soal alasan Mami mulai usaha prostitusi, lalu tiba-tiba menutup usahanya.
“Alasannya apa dulu tiba-tiba buka bisnis seperti itu?”
Mami menjelaskan, “Ya dulu tiba-tiba kepikiran aja karena prostitusi di gang Dolly banyak peminatnya. Nekat renovasi rumah, terus membuka karaoke awalnya, lalu diubah menjadi prostitusi.” Dia menjawab dengan gayanya yang khas. Santai dan tenang.
Sebetulnya, Mami Lili sangat paham kalau bisnisnya di Gang Dolly itu tidak baik. Namun, karena sudah jalan, ya sudah kepalang tanggung. Tinggal dijalani sebagaimana mestinya.
Kalau bicara baik atau buruk, ya pasti buruk. Namun, dari usahanya, Mami bisa menghidupi orang lain yang sudah pasrah, bahkan menyerah dengan kehidupannya. Baginya, kenyataan itu sudah cukup membuatnya bahagia.
Saya hanya terdiam. Mami Lili terlihat begitu emosional ketika menceritakan bagian terakhir itu. Entah apa yang ada di benaknya. Mungkin antara penyesalan atau malah kehilangan.
Sekarang Mami Lili tak lagi di Gang Dolly. Dia tinggal panti jompo di dekat rumah saya. Keluarga saya yang mengurus dibantu beberapa tetangga. Tidak ada keluarga dari Mami yang mau menjenguk, apalagi mengurusnya. Mungkin malu akan pekerjaan Mami.
Tapi ya sudah. Hidup tetap hidup meski dulunya seperti itu. Semua manusia hidup berkalang dosa. Menanggung beban kenangan masing-masing. Paling tidak, Mami Lili berhasil mengubah penderitaan orang lain menjadi kebahagiaan dengan caranya sendiri.
Mereka, yang hidup dari Gang Dolly, tidak seluruhnya murni berdosa. Mereka orang-orang baik, ramah, sayang kepada sesama… dengan caranya sendiri.
Di mata saya, Mami Lili, bekas PSK Gang Dolly, “makelar kelegaan”, pemandu karaoke, dan semua orang di sana adalah manusia sebagaimana mestinya. Mereka hidup dalam kenangan terbaik saya.
Sehat selalu, Mami Lili.
BACA JUGA Sejarah Gang Dolly di Atas Makam dan Jejak Lokalisasi di Surabaya dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Ricky Karunia Ramadhan
Editor: Yamadipati Seno