Orang Indonesia memang suka membingungkan. Katanya pengen ada warganya yang punya prestasi di dunia internesyenel, namun ketika ada yang mumpuni, eh malah diributkan se-Tanah Air karena membutuhkan modal gede. Ya, kita sedang membicarakan soal Kak Rio Haryanto, pembalap Indonesia yang berhasil menembus jagat Formula 1 itu.
Semua dimulai dari keperluan pendanaan balapan Kak Rio yang konon mencapai 100 milyar rupiah. Kontroversi dan perdebatan di Indonesia pun menyeruak ketika Pak Menpora mengatakan akan bersedia menalanginya lewat dana APBN. Sebagian besar masyarakat menilai dana tersebut kelewat besar untuk olahraga individu, padahal masih banyak yang dapat dilakukan dengan uang 100 milyar itu.
Saya kira, Kak Rio tak usah memikirkan para pencaci tersebut dan lebih berkonsentrasi saja di sirkuit F1. Sebab para penentang itu tidak paham bahwa F1 sesungguhnya adalah olahraga yang paling bergengsi di muka bumi! Di antara mereka bahkan ada yang bilang kalau F1 tidak lebih dari hobi. Ealah, sungguh sebuah ucapan yang sangat menyepelekan dunia otomotif.
F1 adalah kasta tertinggi dalam dunia otomotif. Oleh karena itu, dapat berkecimpung dalam F1 tentunya adalah pencapaian paripurna bagi seorang pembalap.
Para pengkritik itu mungkin berpikir bahwa nyetir mobil F1 sama dengan main karambol yang asal punya kekuatan jari dan ketahanan begadang. Mereka seolah tidak memperhitungan betapa seorang pembalap F1 membutuhkan kombinasi antara ketahanan fisik, konsentrasi pikiran, kecepatan berpikir dan kecerdasan otak. Selain itu, demi menjaga kualitas, F1 pun membatasi hanya 11 tim yang boleh berpartisipasi dalam ajang ini. Dan satu tim hanya boleh diisi oleh 2 orang pembalap.
Maka bayangkan: di seluruh dunia hanya ada 22 orang pembalap F1! Jika jumlah total penduduk dunia sebanyak 7,4 milyar manusia, persentase pembalap F1 jadinya adalah 0.000000297%! Perhitungan matematis macam inilah yang tidak dipahami oleh para pengkritik itu. Mereka tidak mempedulikan fakta betapa superiornya menjadi pembalap F1.
Bahwa pembalap harus membawa dukungan sponsor personal juga bukanlah hal baru dalam dunia F1. Sang legenda F1 Michael Schumacer pun dulu mulainya dari tim semenjana (Jordan) dan dia juga wajib membawa sponsor pribadi untuk tim pertamanya.
Lalu jika pemerintah menalangi dana pembalap F1 pun juga bukan hal yang wah. Simak saja apa yang terjadi dengan Pastor Maldonado dari Venezuela yang juga merasakannya. Dalam sekian hal, saya kira antara Maldonado dan Kak Rio memiliki beberapa kesamaan.
Keduanya sama-sama berasal dari negara yang kaya sumber daya alam, sama-sama dari negara selatan yang terancam hegemoni negara-negara neoliberal Barat, dan terakhir, tentu sama-sama memiliki tujuan mengharumkan nama bangsa di kancah dunia.
Seperti Kak Rio, Maldonando juga merasakan bagaimana beratnya perjuangan menjadi pembalap F1. Sebelum masuk arena F1, Maldonado harus memulai karirnya dari Formula Renault pada tahun 2003 dan berlanjut sampai Formula Renault 3.5. Sayangnya, prestasi Maldonado kurang apik untuk naik kelas ke Formula 2 atau GP2 yang merupakan kompetisi balap selapis di bawah F1. Sampai di tahun 2007, dia memulai langkah besarnya di tim Trident.
Usaha Maldonado untuk menjadi pembalap F1 hampir terwujud di tahun 2009 dengan menjadi pembalap di tim Campos Meta. Hanya saja, kondisi tim Campos Meta sedang berantakan dan karena alasan finansial inilah yang membuat Maldonado tersingkir oleh Karun Chandhok yang notabene hanya urutan ke-18 di GP2. Namun, batal menjadi pembalap F1 tidak membuat Maldonado patah semangat, di tahun 2010 dia berhasil menjadi jawara GP2.
Prestasi Maldonado, selain jelas menjadi kebanggaan keluarga, juga untuk nusa bangsa Venezuela dan mendiang Presiden Hugo Chavez tentunya. Maldonado ingin menunjukkan kepada dunia bahwa seorang dari negara kecil yang ditindas oleh negara neolib macam Amerika Serikat dan sekutunya, ia ternyata mampu bersaing di bidang olahraga yang paling bergengsi di muka bumi.
Melalui Maldonado pula, Chavez juga ingin menyampaikan pesan kepada dunia bahwa Venezuela adalah negara yang penuh potensi. Selain kaya sumber daya alam, khususnya minyak bumi, memiliki wanita-wanita rupawan yang berprestasi (7 kali wakil Venezuela menjadi juara Miss Universe), dan kini juga memiliki pemuda yang mampu bersaing dengan insan-insan terbaik di dunia.
Sementara itu, persoalan dana yang menjadi kendala Maldonado pada tahun 2010 juga telah mendapatkan solusi ketika Chavez memerintahkan PDVSA (Pertamina-nya Venezuela) untuk mendukung Maldonado. Hampir mirip bukan dengan situasi yang dialami Kak Rio?
Trauma berurusan dengan tim kecil, Maldonando pun memilih berlabuh ke Williams. Menurut BBC, sekitar 30-45 juta dolar (sekitar 400-580 milyar rupiah) dikucurkan Venezuela ke Williams demi terwujudnya cita-cita memiliki pembalap F1 di era 2000-an. Dibandingkan dengan angka 100 milyar rupiah yang dibutuhkan Kak Rio, pendanaan Maldonado jelas jauh lebih besar.
Apakah Indonesia tidak malu melihat fakta tersebut?
Kepercayaan dari Chavez dijawab dengan baik oleh Maldonado. Di musim pertamanya, dia meraih 1 poin (menurut fans berat Kak Rio, 1 poin sudah sangat berprestasi). Di musim ke-2, dia meraih 45 poin dan meraih peringkat ke-15. Lalu di musim ke-5, Maldonado yang telah bergabung dengan tim Lotus, meraih prestasi terbaiknya: mencapai urutan ke-14, kendati dengan perolehan 27 poin lebih sedikit dari prestasi di musim ke-2.
Sayang seribu sayang, langkah Maldonado harus terhenti di musim ke-6 karena PDVSA–yang selama lima tahun menjadi sponsor tunggal dan selalu memberikan dana dengan besaran yang hampir sama–tak lagi dapat membantu. Hal ini disebabkan oleh jatuhnya harga minyak dunia yang membuat ekonomi Venezuela memburuk. Pemerintah memutuskan untuk melakukan rasionalisasi dan tentu program pendanaan Maldonado pun harus terhenti.
Prestasi Maldonado di kancah F1 juga tidak mampu menolong ekonomi Venezuela, sebab inflasi mencapai 180% dan barang-barang pokok menjadi langka. Pariwisata yang juga menjadi salah satu strategi utama pembangunan ekonomi Venezuela ternyata juga tidak sesuai ekspektasi. Kunjungan wisatawan asing ke Venezuela tidak bisa menembus 1 juta orang per-tahun.
Tapi, tenang saja Kak Rio, kondisi ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih baik dari Venezuela. Kalaupun ada target-target ekonomi atau promosi yang meleset, tentu bukan salah dirimu. Itu semua salah pengambil kebijakan. Maju terus saja Kak Rio, harumkan nama bangsa di atas indikator apalah-apalah itu.