Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

PKS dan PAN Bukan Muhammadiyah, PKB Bukan NU, Sebagaimana Gethuk Bukan Ketela

Dani Ismantoko oleh Dani Ismantoko
27 Juli 2019
A A
PKB PAN PKS
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Di negeri minim tabayyun ini, asumsi begitu mudah terbentuk, termasuk perihal Muhammadiyah, NU, dan partai politik.

Beberapa waktu yang lalu, saya ngobrol dengan seorang teman. Dalam sebuah obrolan yang tiba-tiba bergeser secara mendadak, dari yang sebelumnya ngobrol soal musik dan akhirnya menjadi politik, teman saya bilang, “PKS itu Muhammadiyah.”

Saya kontan menyanggah statement teman saya itu, “Belum tentu. Sebuah partai politik, kan, tidak bisa disamakan dengan ormas tertentu.”

Dia kemudian menceritakan bahwa ada tokoh-tokoh di dalam partai tersebut yang menjadi anggota Muhammadiyah, baik tokoh dalam skala nasional ataupun skala lokal di wilayah kecamatan dan kabupaten tempat tinggal kami. Belum selesai sampai di situ, ia memperkuat asumsinya dengan penyamaan yang lain.

Katanya, “PAN itu juga Muhammadiyah, PKB itu NU karena banyak tokoh-tokoh dari ormas tersebut masuk ke partai tersebut.”

Saya tidak menambah sanggahan saya. Karena, mungkin saja kalau dilanjutkan, akan menjadi debat kusir. Saya tidak mau meneladani perilaku cebong dan kampret yang beberapa waktu lalu sudah bikin onar seantero negeri.

Saya paham dengan apa yang dipahami oleh teman saya itu. Sebagaimana yang sering terjadi, asumsi, di negeri minim tabayyun sebagaimana negeri kita ini, begitu mudah terbentuk. Dan sering kali, ia terjadi secara serampangan yang sedikit banyak menimbulkan keonaran-keonaran yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Misalnya saja, sampai sekarang, kalau ada orang mengkritik Jokowi lewat media sosial, pasti langsung dianggap benci Jokowi. Ujung-ujungnya, ia dilaporkan ke pihak yang berwajib, lalu dijerat dengan UU ITE.

Padahal, itu kan belum tentu. Bisa jadi, orang yang mengkritik Jokowi itulah yang benar-benar peduli dengan pemerintahan Jokowi. Bagaimana tidak, ha wong orang tersebut menggunakan waktu, kesempatan, dan tenaga yang lebih untuk mencari kekurangan dari kepemerintahan Jokowi, kok. Hanya orang peduli yang mau mencurahkan waktu, kesempatan, dan tenaga untuk hal semacam itu, loh.

Yah, namanya juga cinta, ya kan?

Selain logika cocoklogi, logika gebyah uyah (menyamaratakan sesuatu hanya karena satu sebab) semacam itu juga sama berbahayanya jika digunakan secara serampangan. Ia bisa mengakibatkan kerusuhan yang tak kalah menyebalkannya dengan kerusuhan yang dibuat oleh cebong dan kampret yang konon sudah pensiun beberapa waktu lalu.

Berkaitan dengan pengidentikan antara partai dengan ormas akan menjadi lebih runyam jika yang dipakai sebagai trigger untuk menyamaratakan adalah kecerobohan orang yang ditokohkan itu. Bisa-bisa, kepribadian orang yang ditokohkan disamakan dengan karakter ormas atau partai tertentu.

Contohnya seperti ini: Ada orang bernama anu dari sebuah partai anu mengeluarkan statement politik yang absurd, tidak logis, lucu, dan menyebalkan, lantas tersebar di media online maupun cetak.

Jika yang digunakan untuk menyikapi hal tersebut adalah logika cocoklogi dan gebyah uyah gaya bebas, biasanya beralur seperti ini: Logika cocoklogi akan menggiring orang mencari riwayat si orang yang ditokohkan dalam berbagai hal. Setelah ketemu riwayatnya dan diketahui bahwa si orang yang ditokohkan juga masuk ormas tertentu, logika cocoklogi yang dikolaborasikan dengan logika gebyah uyah gaya bebas akan menggiring seseorang membuat simpulan: “Karena tokoh anu ikut ormas anu, maka sudah pasti ormas anu adalah ormas yang ceroboh, sama dengan orang yang ditokohkan itu.”

Iklan

Dalam diri seseorang, tidak harus tokoh politik atau tokoh ormas, pasti ada banyak posisi dan peran yang harus dipilah-pilah. Ini berlaku untuk kita semua, baik sebagai anak dari orang tua, alumni sekolah tertentu, masyarakat sebuah dusun atau kampung, anggota ormas tertentu, atau bahkan anggota parpol tertentu.

Di setiap posisi tadi, kita punya peran yang berbeda-beda. Nah, begitu juga dengan orang yang ditokohkan itu. Posisinya di sebuah partai tentu berbeda dengan posisinya di sebuah ormas. Jika si tokoh sebagai politisi terkesan tidak ramah, tidak lantas kita bisa memberi stigma bahwa ormasnya tidak ramah. Bahkan kita juga tidak bisa lantas memberikan stigma bahwa partai itu tidak ramah. Bisa jadi itu sekadar ekspresi pribadinya. Cuma, kebetulan ia bermukin di partai tertentu, juga ormas tertentu.

Kita semua tahu bahwa dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan NU, berkomitmen untuk netral dalam urusan politik. Kedua ormas itu mempersilakan setiap anggotanya untuk menentukan pilihan politik masing-masing: Boleh masuk di partai mana pun, juga boleh mendukung calon siapa pun.

Saya yakin kalau disurvei di setiap daerah, ada orang Muhammadiyah atau NU masuk di banyak partai: PDI, Golkar, Demokrat, PSI, serta partai-partai lain yang ada di Indonesia. Dan bisa jadi yang dianggap identik dengan Muhammadiyah malah lebih banyak orang NU-nya. Atau sebaliknya, yang dianggap identik dengan NU malah lebih banyak orang Muhammadiyahnya. Di daerah saya, ada orang Muhammadiyah masuk PSI, dan ia menempati posisi cukup penting tingkat kabupaten.

Kalau kita cari analogi yang lain lagi, kira-kira seperti ini. Di Jogja, dan di beberapa wilayah Jawa lainnya, ada makanan yang disebut gethuk. Gethuk ini berasal dari ketela. Untuk menjadi gethuk, ada banyak bahan yang harus ditambahkan, beberapa di antaranya adalah pemanis dan pewarna.

Setelah melalui proses tertentu dan akhirnya jadi gethuk, apakah bisa kita samakan antara gethuk dengan ketela? Tentu saja tidak! Itu, kan, dua makanan yang berbeda. Walau gethuk bahan dasarnya ketela, gethuk tidak bisa disebut sebagai ketela. Gethuk, ya, gethuk. Ketela, ya, ketela.

Plis, deh. Kita saja tidak mau disamakan dengan orang tua kita, kok. Buktinya, sewaktu masih SD dulu, kalau dipanggil dengan nama bapak atau ibu kita, kita pasti marah. Iya, kan???

Terakhir diperbarui pada 27 Juli 2019 oleh

Tags: cebongkampretMuhammadiyahnuormaspanparpolpkbPKS
Dani Ismantoko

Dani Ismantoko

Penulis. Tinggal di Bantul.

Artikel Terkait

Keindahan Semu di Kaki Gunung Semeru, Lumajang saat erupsi. MOJOK.CO
Aktual

Keindahan Semu di Kaki Gunung Semeru

21 November 2025
wisuda, tuli.MOJOK.CO
Kampus

Sering Dibilang Bodoh karena Tuli, Kini Membuktikan Diri dengan Menjadi Wisudawan Tunarungu Pertama di Kampusnya

24 Oktober 2025
Apa yang Terjadi Jika Muhammadiyah Tidak Pernah Ada? MOJOK.CO
Esai

Fakta Menyeramkan Jika Muhammadiyah Tidak Pernah Lahir di Indonesia

5 Oktober 2025
intoleransi, ormas.MOJOK.CO
Ragam

Pemda dan Ormas Agama, “Dalang” di Balik Maraknya Intoleransi di Indonesia

19 September 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.