Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Jadi PNS atau Tidak Jadi PNS, Itulah Persoalannya

Gunawan Tri Atmodjo oleh Gunawan Tri Atmodjo
21 September 2017
A A
170921 ESAI LIKA LIKU CPNS menjadi PNS

170921 ESAI LIKA LIKU CPNS menjadi PNS

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

“Kalau tahu jadi buruh bakal sesusah ini, mending kita jadi PNS ya.”

Demikian rasan-rasan saya dengan istri pada suatu masa, ketika suasana pabrik memanas dan isu PHK santer merebak.

Peluang kami menjadi PNS pernah terbuka lebar, jauh sebelum rasan-rasan itu, tapi kami “menggagalkannya”. Barangkali terdengar sombong, tetapi begitulah adanya. Kami menganut falsafah: hidup sekali saja masak tidak sombong?

Ketika ujian CPNS, kami sengaja menyalahkan jawaban. Saya menyalahkan sekitar 50 persen jawaban, sedangkan istri saya, menurut pengakuannya, menyalahkan sekitar 25 persen. Kami tahu karena kami bekerja sebagai editor buku LKS yang setiap hari ngutek-utek soal berikut kunci jawaban dari berbagai mata pelajaran, mulai dari SD sampai SMA.

Apakah kami memubazirkan waktu guna ikut tes CPNS? Benar adanya. Saat itu beban kewajiban kami semata menyenangkan orang tua, sedang sunahnya adalah memeriahkan hajatan negara, dalam hal ini Pemkot. Kami ingin menjadi anak yang berbakti sekaligus warga kota yang berpartisipasi aktif. Tes CPNS bagi kami tak lebih perkara menguji ilmu kedigdayaan layaknya acara Uji Nyali.

Saat itu kami paham bahwa harapan orang tua sungguhlah besar. Mereka ingin anak-anaknya menjadi PNS supaya mapan, sejahtera, dan mendapat dana pensiun. Namun, hidup ini milik kami sendiri dan kami siap menjalaninya tanpa intervensi siapa pun, termasuk orang tua.

Kami menolak menjadi PNS.

Saat itu kami masih idealis-idealisnya dan sedang bergairah-bergairahnya bekerja sebagai buruh. Kami percaya bahwa kaum buruh adalah bahan bakar pembangunan negara.

Saya yang lahir di hari buruh merasa memang ditakdirkan sebagai buruh. Meski PNS sebetulnya buruh juga, tetapi mereka buruh pelat merah.

Kami kadung punya penilaian bahwa PNS itu lekat dengan citra kemalasan, suka keluyuran di jam kerja, tidak berdedikasi, menentukan jam istirahat seenak udelnya sendiri, online sepanjang hari, begitu SK turun langsung dijaminkan untuk kredit mobil atau rumah, dan aneka label tercela lainnya.

Kami percaya ketidakseimbangan antara gaji dan kinerja sebagai buruh pelat merah akan menjadikan rezeki kami tidak berkah. Kami bisa mati bosan dalam kehidupan nyaman yang melenakan.

Pada akhirnya, tes CPNS memperebutkan posisi guru bahasa Indonesia itu kami ‘gagalkan’. Tak ada nama kami di koran-koran yang memajang pengumuman penerimaan CPNS.

Beberapa tahun kemudian rasan-rasan itu terjadi dan tekanan hidup menyulap pandangan kami terhadap PNS menjadi kian terpuji.

Kesempatan datang dua kali. Setelah rasan-rasan itu, tes CPNS diadakan lagi. Kami yang telah merasakan beratnya menjadi buruh dengan antusias mengikutinya. Tapi kondisinya tak sama lagi.

Iklan

Kami sama-sama lulusan Fakultas Sastra dan Seni Rupa, jurusan Sastra Indonesia. Tahun itu, dari sekian banyak bidang kerja yang dibuka, lulusan Fakultas Sastra seakan mendapat diskriminasi. Hanya terbuka dua posisi kerja untuk kami isi: 1 posisi untuk pamong budaya, itu pun di kabupaten sebelah, dan 2 posisi untuk penyuluh KB. Karena terlalu cinta Kota Solo dan ingin tetap tinggal di kota ini, kami madep mantep mendaftar sebagai penyuluh KB, dengan harapan ada salah satu di antara kami yang terpilih, syukur-syukur bila dua-duanya jadi PNS. Kami mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kami belajar kelompok dengan giat.

Sehari sebelum tes digelar, kami survei ke lokasi tes di daerah Gawok, daerah pelosok Kabupaten Sukoharjo yang terkenal sebagai markas Seramania dan Vianisty yang supermilitan, seakan-akan Via Vallen dilahirkan di daerah ini.

Hari tes itu menjadi ajang reuni besar fakultas kami. Alumni jurusan Sastra Indonesia tumplek blek di sana. Jumlahnya ratusan. Rupanya mereka sama-sama mengincar posisi penyuluh KB, bidang kerja yang sebetulnya mengkhianati ijazah kami sebagai sarjana sastra yang sebetulnya lebih cocok menjadi penyair, prosais, dramawan, guru bahasa Indonesia, editor, penjual buku online, makelar, mandor bangunan, atau apalah pekerjaan yang masih bisa dinamai serabutan.

Bersaing dengan kakak dan adik tingkat tentu bukan perkara mudah. Kesaktian kami benar-benar diuji. Kami, saya dan istri, mengakhiri tes lebih cepat dan saya masih sempat melemparkan psywar lewat pertanyaan bervolume tinggi, “Tadi kamu salahkan berapa?”

Kiranya obrolan itu akan meneror mental mereka yang masih khusyuk menjawab soal-soal di dalam kelas, paling tidak membuat mereka panik. Tak masalah bila kami nanti dicap sombong. Hidup hanya sekali masak tidak sombong?

Buah kesombongan kami ternyata datang begitu dini. Kami memetiknya di dunia dalam wujud kegagalan menjadi PNS. Setelah tes itu, pemerintah mengumumkan moratorium PNS dan lebih memprioritaskan pengangkatan pekerja-pekerja kontrak dan honorer.

Berarti kami memang harus menabahkan diri sebagai buruh, semampu-mampunya, sehormat-hormatnya. Kami harus membarter dedikasi tinggi dengan penghasilan pas-pasan yang saldonya langsung minus drastis begitu musim kawinan datang. Undangan adalah petaka yang berwajah bahagia.

Tugas kami berikutnya adalah berjihad untuk keluar dari status buruh.

Kini lowongan CPNS kembali dibuka. Banyak kawan yang berbondong-bondong mendaftar dengan harapan perbaikan taraf hidup. Mereka rela berjibaku antar kota antar provinsi. Saya yang sudah berumur 35 tahun gembira-gembira saja melihatnya.

Bagi saya, perkara CPNS sudah selesai. Profesi buruh juga sudah saya pensiunkan dini. Kini saya hanya ingin mengembangkan karier sebagai pengamat mi ayam profesional; meneliti keunikan rasa dan estetika penyajian mi ayam di seantero Solo Raya, lalu menyusun sebuah buku kajian serius mengenainya.

Dengan ini, setidaknya saya, sebagai pembaca amatir Pramoedya Ananta Toer, telah mengamalkan nasihat ibu beliau bahwa sebaik-baiknya pekerjaan adalah menjadi majikan bagi diri sendiri.

Terakhir diperbarui pada 12 Mei 2021 oleh

Tags: buruhCpnsPegawai NegeriPegawai Negeri SipilPNS
Gunawan Tri Atmodjo

Gunawan Tri Atmodjo

Artikel Terkait

S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO
Esai

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
pekerja miskin, working poor.MOJOK.CO
Mendalam

In This Economy, Kerja Lembur Bagai Kuda Meski Gaji Tak Seberapa dan Tetap Miskin

27 November 2025
Nasib buruh usai Marsinah jadi pahlawan nasional. MOJOK.CO
Ragam

Suara Hati Buruh: Semoga Gelar Pahlawan kepada Marsinah Bukan Simbol Semata, tapi Kemenangan bagi Kami agar Bebas Bersuara Tanpa Disiksa

12 November 2025
Jadi dosen non PNS (honorer) di kampus swasta dapat gaji yang bikin nelangsa. Nyesel kuliah sampai S2 MOJOK.CO
Ragam

Berambisi Jadi Dosen biar Terpandang dan Gaji Sejahtera, Pas Keturutan Malah Hidup Nelangsa

18 Oktober 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

musik rock, jogjarockarta.MOJOK.CO

JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan

5 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.