MOJOK.CO – Iman adalah perkara sunyi, sementara wabah dan antivaksin adalah persoalan kita semua. Jangan kritik penghafal Al-Quran karena menutup telinga!
Belakangan saya sedang gemar sekali mendengarkan lagi musik Emo. Barangkali karena tema kebanyakan musik Emo adalah patah hati. Lirik, musik, dan ekspresi estetik mereka pas di telinga saya. Meski demikian, ya kadang saat share beberapa band emo di Twitter, ada saja yang komentar.
“Kok udah umur segini masi dengerin emo kaya bocah.”
Bagi saya, musik bukan sekadar penanda usia. Misalnya karena sudah lebih dari 30 tahun, saya harus dengerin jazz, atau karena pindah di Jogja mesti suka campursari. Musik semestinya memberi pengalaman personal dan tentunya memberi kebahagiaan.
Kemarin Twitter ramai karena video santri Ma’had Tahfidz Quran yang menutup telinga ketika melakukan vaksinasi. Banyak yang mengkritik para penghafal Al-Quran ini karena dianggap berlebihan. “Mau menjaga iman kok sampai antimusik musik, sampai menutup telinga.” Beberapa menuduh bahwa mereka berlebihan, kalau emang tidak suka ya ditinggalkan, dan musiknya dimatikan.
Sentimen semacam ini lahir bisa jadi karena mengingatkan kita banyak musisi hijrah yang lantas mengharamkan musik. Mantan personel Noah, Uki misalnya, menganggap musik sangat mengganggu karena ada di mana-mana. Maka ketika ada santri yang menutup telinga saat mendengar musik, imaji kita menganggap mereka sebagai kelompok antimusik.
Padahal anggapan ini bisa jadi salah. Yenny Wahid, melalui akun Instagramnya, menjelaskan bahwa bagi penghafal Al-Quran, musik memang bisa jadi berpotensi menyulitkan proses hafalan.
Menurutnya, menghafal Al-Quran bukan pekerjaan mudah, banyak yang mencoba sejak usia dini. Proses mengingat ayat-ayat Al-Quran butuh lingkungan yang tenang dan kondusif, proses konsentrasi, membaca bait demi bait ayat suci, dilakukan secara repetitif dan butuh kerja keras.
Jadi kalau para santri yang menutup telinga untuk menjaga dan hafalan Al-Quran yang dimiliki, ya sah saja. Menutup telinga saat mendengar musik toh bukan indikator radikal atau konservatif, bisa saja musik yang diputar memang jelek. Saya juga kalau harus mendengar glam rock atau hair metal agak gentar juga meski tak sampai menutup telinga.
Seharusnya, di tengah kondisi masyarakat yang super cemas ini, adanya kelompok yang mau divaksin mesti diapresiasi. Bisa saja malah jadi kampanye yang bagus. “Vaksin di tempat kami, tak ada musik, petugasnya dibedakan laki-laki dan perempuan, bagi 100 peserta vaksin pertama akan diberikan rekaman pengajian gratis.” Kita bisa menyasar kelompok konservatif agama yang ragu vaksin dengan lebih baik.
Di kampung saya Bondowoso, untuk mendukung program vaksinasi, pemerintah daerah melakukan pendekatan agama kepada masyarakat setempat. Pendekatan agama dimaksud dengan menyebarkan foto tokoh-tokoh agama yang telah menjalani vaksinasi Covid-19. Tujuannya untuk mengedukasi masyarakat bahwa vaksin aman dan halal. Sekaligus menangkal kelompok antivaksin yang sering menyebarkan berita bohong di media sosial.
Warga, bekerja sama dengan Puskesmas, berupaya melawan kelompok antivaksin dengan menggelar vaksinasi di halaman musala, bukan di tempat-tempat formal milik pemerintah. Hasilnya, masyarakat tertarik dan mau ambil bagian untuk vaksin. Dari berita yang saya baca, diketahui jika sebenarnya banyak masyarakat yang ingin divaksin namun terkendala misinformasi. Banyak warga yang percaya setelah vaksin kita akan sakit dan langsung mati.
Maka, jika dengan menyelenggarakan pengajian, ketimbang memutar musik, akan mendorong warga untuk vaksin, hal ini layak dipertimbangkan. Bukan hanya kita bisa mencegah kematian akibat Covid, kita bisa mengakomodasi kepercayaan warga tanpa harus menghakimi pilihan personal para penghafal Al-Quran ini.
Mengapa ini penting? Januari lalu, BBC menurunkan laporan yang menyebutkan jika Aceh dan Sumatera Barat adalah dua provinsi dengan jumlah penolak vaksin terbesar. Kesediaan menerima vaksin Covid-19 di Aceh hanya 46% sedangkan di Sumatera Barat sebesar 47%. Kebetulan dua provinsi ini sebagian besar penduduknya adalah umat Islam yang taat. Jika bisa mengajak ulama dan tokoh masyarakat untuk vaksin, barangkali target satu juta vaksinasi per hari bisa tercapai.
Mereka yang antimusik sejauh ini tidak punya dampak buruk terhadap masyarakat. Artinya, pilihan keyakinan ini merupakan hubungan personal antara umat dengan Tuhan-nya, sementara antivaksin bisa merepotkan banyak orang. Satu orang yang tidak divaksin berpotensi menulari yang lain, lebih rentan sakit, dan lebih dari itu jika mereka terdampak akan lebih susah sembuh karena mutasi virus yang ada.
Saat ini, ada yang lebih penting daripada mendebat soal haram-halal musik, atau pilihan seseorang untuk tak mau mendengar lagu seperti para penghafal Al-Quran, yaitu keselamatan bersama. Iman adalah perkara sunyi, sementara wabah adalah persoalan kita semua. Hanya karena menurut saya keyakinanmu itu konyol, aneh, dan tak masuk akal, tidak lantas memberikan saya hak untuk merendahkan dan menghina keyakinanmu.
Keyakinan dan imanmu adalah proses pencarian, berpikir, dan refleksi jiwamu. Tapi jangan lupa, ini berlaku dua arah. Kamu juga tak berhak menghina iman dan keyakinan orang lain, apalagi keyakinan para penghafal Al-Quran tersebut.
Saya tak akan memaksamu untuk menerima musik apalagi dengan kekerasan, ancaman, juga teriak kebencian. Tapi jika dengan tidak mendengar musik akan membuatmu mau vakisn, menggunakan masker, dan tetap di rumah. Maka ayo matikan musik yang diputar ini.
BACA JUGA Kenapa sih Pengin Banget Buru-Buru Jadi Penghafal Alquran? dan artikel menarik lainnya di rubrik ESAI.