Bentuk tanggung jawab pemimpin
Padahal jika melihatnya dengan kaca mata positif, dhawuh ini adalah bentuk tanggung jawab pemimpin yang memikirkan masyarakatnya. Meski ya sebenarnya Nahdliyin di akar rumput itu militan sangat untuk memberikan segala yang mereka punya kepada NU.
Karena orang-orang NU di kampung itu memegang teguh dhawuh KH. Ridlwan Abdullah, “Jangan takut tidak makan kalau mengurus NU. Yakinlah! Kalau sampai tidak makan, datangi aku jika masih hidup. Tapi kalau aku sudah mati maka tagihlah ke batu nisanku.”
Sistem gotong royong adalah ciri khas NU. Lihat saja di kampung-kampung, di ranting-ranting. Kalau ada hajat besar, orang-orang NU siap sedia dan bahagia memasak berkat dan patungan.
Bukan lantas obral proposal di sana sini, demi nguri-nguri ajaran mulia para pendiri NU. Yang mereka butuhkan adalah mengurus NU tanpa peduli mereka akan diurus PBNU atau tidak.
Namun, langkah menerima tawaran Presiden Jokowi perihal tambang batu bara tentu menjadi keputusan yang progresif revolusioner. PBNU harus mandiri, supaya tidak ada lagi anasir-anasir kalau PBNU bisa disetir elite-elite politik.
Termasuk pendapat keliru Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Ibu Siti Nurbaya. Beliau mengatakan lebih baik ormas itu menjalankan bisnis secara profesional daripada setiap hari mengajukan proposal. Ini tidak benar, proposal yang diajukan ormas adalah ikhtiar untuk menyelamatkan dana supaya diserap oleh organisasi yang tepat, bukan dikantongi garong-garong yang berkeliaran bebas.
Percayalah, PBNU tidak akan merusak lingkungan
Mei 2015, PBNU mengeluarkan putusan bahtsul masail. Isinya, mengharamkan terhadap eksploitasi berlebihan kekayaan alam sehingga menimbulkan mudharat yang lebih besar ketimbang maslahat-nya. Hukum haram ini terletak bukan pada sisi legalitasnya, tetapi pada dampak yang ditimbulkan.
Putusan bahtsul masail ini berangkat dari keprihatinan para kiai. Mereka prihatin melihat kerusakan alam luar biasa. Apalagi dibarengi dengan pencemaran lingkungan. Misalnya seperti lubang-lubang raksasa di Kepulauan Riau, Papua, Kalimantan, Aceh, dan Sidoarjo akibat eksploitasi alam berlebihan.
Jika PBNU memegang tambang batu bara, tentu kita tidak perlu mengkhawatirkan konflik agraria dan kerusakan lingkungan. PBNU pasti tidak akan menambah jumlah konflik agraria struktural, yang pada 2023 menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) terjadi 32 konflik yang berdampak terhadap 48.622 keluarga di 57 desa.
Hal tersebut juga sudah ditegaskan Gus Yahya jika PBNU tidak mau disodori konsesi tambang yang merugikan warga. Artinya, akan ada komitmen serius untuk menjaga lingkungan dan menghindari konflik agraria.
Lagian, tidak mungkin PBNU mengeksploitasi alam. Sebaliknya, PBNU akan memanfaatkan alam sebagaimana sesuai ajaran agama. PBNU akan menjadi contoh pengelola tambang yang baik dengan dakwah-dakwah untuk menyadarkan para pemain tambang untuk segera melakukan pertobatan ekologis.
Tudingan PBNU tidak cocok mengelola tambang batu bara itu perlu diluruskan. Seperti yang diungkap Gus Yahya, Bendahara Umum PBNU adalah pengusaha tambang. Tentu Bendum tersebut tentu kompeten dan memiliki jaringan bisnis yang mumpuni.
Saatnya warga nahdliyin berpindah dari mempelajari batu akik, ke batu bara
Seseorang guru dhawuh, “bersiaplah”. Maka sebaik-baiknya yang dapat dilakukan Nahdliyin hari ini adalah mempersiapkan diri menjadi bagian dari pemilik tambang. Nahdliyin harus memulai untuk belajar soal produk-produk pertambangan dan mulailah meninggalkan dunia batu akik.
Sebab, batu akik tak mahal harganya jika tidak ada “isi” atau fafifuwaswewosnya. Sementara itu, hasil tambang akan selalu berharga dan hanya bisa digali dengan besi bukan aji-aji.
Bersiaplah menjadi reseller batu bara, reseller nikel, atau penjual tembaga. Teruslah menjadi tameng dan pembela untuk PBNU, walau sebenarnya NU akan terus baik-baik saja meski tak punya bisnis berupa tambang.
Penulis: Ibil S Widodo
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA PBNU Ciptakan Kegelisahan, Nahdliyin Minta Fokus Pada Pengawasan Kekuasaan dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.